Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 akan digelar akhir pekan ini. Dari jadwal yang telah ditetapkan, belahan benua Afrika, tepatnya Afrika Selatan, sebagai tuan rumah. Dan akan berlangsung di Johannesburg, Afrika Selatan, 22-23 November 2025. Sebagaimana kita ketahui, forum ini merupakan pertemuan pimpinan negara-negara dan akan membahas rencana ekonomi global ke depan, dan tentunya di antaranya akan membahas perdagangan global termasuk sumber daya alam, dalam konteks solidaritas global dalam menghadapi berbagai tantangan seperti perubahan iklim, ketimpangan, dan kemiskinan, sebagaimana seruan yang menjadi tema KTT tersebut, “Solidarity, Equality, Sustainability”.
Tentu, selain agenda COP 30 di Brazil, gelaran konferensi internasional ini akan menjadi penentu arah transisi energi global, yang secara langsung atau tidak, berimplikasi pada arah kebijakan tata kelola sumber daya alam Indonesia dalam konteks transisi energi.
Sebagai presidensi, Afrika Selatan melihat critical mineral sebagai sesuatu yang penting. Critical mineral sebagai penopang transisi energi harus membawa kesejahteraan dan kedaulatan negara berkembang dalam menentukan rantai pasok global. Saat ini, Afrika Selatan sebagai presidensi G20 2025 tengah Menyusun Critical Minerals Framework. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia sebagai produsen nikel nomor satu dunia tidak boleh hanya sekadar menjadi penonton. Momentum G20 ini bagai dua mata koin bagi Indonesia dalam konteks critical mineral. Sebagai negara yang kaya dengan mineral kritis yang dibutuhkan untuk transisi energi, Indonesia memiliki modal atau kesempatan untuk menjadi rule shaper. Di saat yang bersamaan, Indonesia bisa saja hanya menjadi rule taker.
Yang Penting Diperhatikan
Memiliki sumber daya alam yang dibutuhkan untuk transisi energi tak sepenuhnya menyimpan kebaikan. Justru sebaliknya, membawa kerusakan alam bila tata kelolanya berantakan. Realitas di lapangan terhadap eksploitasi nikel untuk baterai mobil listrik misalnya, masih memprihatinkan.
Ekspansi tambang mineral kritis Indonesia berlangsung begitu kilat sejak narasi transisi energi dibumikan. Sementara, tata kelola masih tertinggal jauh. Ini melahirkan permasalahan kompleks hingga kini. Persoalan-Persoalan yang terjadi sebagai dampak dari eksploitasi sumber daya alam tersebut seyogyanya harus menjadi sorotan utama Indonesia dalam fórum internacional tersebut.
Setidaknya, ada enam persoalan akibat eksploitasi nikel maupun sumber daya alam yang begitu masif dalam mendorong transisi energi. Pertama, korupsi perizinan dan pengawasan yang masih rawan kolusi politik-bisnis. Kedua, masifnya deforestasi. Studi menunjukkan kerusakan hutan di kawasan tambang nikel hampir dua kali lipat dibandingkan area kontrol izin.
Ketiga, terjadinya polusi air, limbah tailing beracun, serta ancaman bagi ekosistem pulau-pulau kecil dan kesehatan masyarakat pesisir. Keempat, adanya konflik lahan, kriminalisasi masyarakat, pelanggaran hak masyarakat adat, serta marginalisasi perempuan yang secara sistematis menanggung risiko tertinggi namun manfaat terendah. Berikutnya, benefit sharing yang timpang. Nilai tambah mengalir ke luar negeri, sementara kerusakan lingkungan dan sosial ditanggung masyarakat lokal. Keenam, transparansi rendah: kontrak, izin, dan aliran pembayaran masih belum terbuka.
Persoalan di atas harus mampu dijawab. Jika risiko itu diatasi, maka ini akan berpotensi menjalar dari hulu ke hilir. Dan ini bisa saja menjadikan hilirisasi yang kita banggakan hanya akan menjadi versi baru dari “resource curse”.
Dorongan Masyarakat Sipil
Critical Minerals Framework yang sedang disusun harus diubah. Dari sekadar sebagai alat mengamankan pasokan negara maju menjadi instrumen keadilan global. Dalam diskusi bertemakan “Menguatkan Peran Indonesia di G20 untuk Tatanan Global yang Adil dan Seimbang” pada 17 November lalu, kami mengusulkan tiga agenda prioritas yang wajib dibawa Pemerintah Indonesia ke KTT G20 di Johannesburg itu.
Pertama, global traceability mechanism yang wajib dalam Critical Minerals Framework G20. Mekanisme ini harus mencakup data real-time lokasi tambang, asal bahan baku, jejak emisi dan limbah, standar lingkungan, hingga penerima manfaat ekonomi yang sebenarnya. Tanpa traceability transparan dan dapat diakses publik, akuntabilitas hanyalah ilusi.
Kedua, standar Enviromental, Social, and Governance (ESG) plus benefit sharing yang mengikat sepanjang rantai pasok. Bukan ESG kosmetik, melainkan ESG yang diperluas dengan kewajiban nyata: royalti berbasis nilai tambah, akses teknologi hijau, kepemilikan saham komunitas (community equity), dana reklamasi dan transisi yang memadai, serta jaminan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang sungguh-sungguh. Ini adalah redistribusi kekayaan, bukan sekadar kompensasi dampak.
Ketiga, penguatan kerja sama Selatan-Selatan antar negara pemasok utama. Indonesia, Afrika Selatan, Republik Demokratik Kongo, Chile, Brasil, dan lainnya. Kita harus membentuk blok bersama untuk memperkuat daya tawar: pusat pelatihan teknologi mineral kritis, pemetaan sumber daya bersama, serta mekanisme negosiasi perdagangan regional yang adil. Hanya dengan solidaritas ini, global south tidak lagi menjadi “hulu yang kotor, hilir yang miskin”.
Dengan dominasi pasar nikel dan pengalaman kebijakan larangan ekspor bijih, Indonesia memiliki legitimasi penuh untuk menjadi rule shaper, bukan lagi rule taker. Jika kita berhasil mendorong tiga agenda ini, G20 Johannesburg tidak hanya melahirkan komitmen kosong, tetapi kerangka global baru yang menempatkan masyarakat di sekitar tambang yang selama ini menanggung beban terberat sebagai penerima manfaat utama.
Sebagaimana tema G20 tahun ini, “Solidarity, Equality, Sustainability”. Indonesia punya tanggung jawab moral dan strategis untuk memastikan kata-kata itu memiliki makna nyata. Transisi energi yang benar-benar hijau hanya layak disebut hijau jika tidak lagi mengorbankan hutan, air, hak adat, serta masa depan perempuan dan anak-anak di daerah di mana tambang itu berada.
Di Johannesburg, Indonesia harus berbicara lantang, bahwa mineral kritis bukan sekadar komoditas geopolitik. Ia adalah soal martabat dan keadilan bagi jutaan warga negara produsen yang selama ini terpinggirkan. Ini saatnya kita menjadi rule shaper. Atau selamanya hanya menjadi penyuplai bahan mentah dalam cerita Dunia.
Writer: Meliana Lumbantoruan