Jakarta – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN 2023 akan diselenggarakan di Jakarta, pada 5-7 September 2023 mendatang. Event ini tidak hanya menghadirkan pemimpin negara ASEAN saja, namun juga sejumlah pemimpin negara-negara mitra, termasuk sejumlah lembaga pembangunan dunia seperti IMF dan World Bank. Mengusung tema “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”, dalam Keketuaannya tahun ini, Indonesia bertekad mengarahkan kerja sama ASEAN tahun 2023 untuk melanjutkan dan memperkuat relevansi ASEAN dalam merespon tantangan kawasan dan global, serta memperkuat posisi ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kawasan, untuk kemakmuran rakyat ASEAN.

Dalam sejumlah pembahasan yang mencakup 3 pilar utama ASEAN, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN atau ASEAN Security Community, Komunitas Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community, dan Komunitas Sosio-Kultural ASEAN atau ASEAN Socio-Cultural Community, salah satu isu penting yang menjadi sorotan publik adalah bagaimana upaya konkret para pemimpin ASEAN dalam merespon dampak perubahan iklim.

Mouna Wasef, peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyebut kawasan Asia Tenggara lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim. Secara geografis misalnya, sebagian besar populasi berada di wilayah pesisir dan kepulauan, sangat beresiko atas naiknya permukaan air laut. Intensitas banjir, angin topan, dan bencana akibat cuaca ekstrem di kawasan ini juga cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

“ASEAN berada di garis depan dalam risiko iklim (Global Climate Risk Index, 2021). Dengan menggunakan skenario suhu global rata-rata bertambah 2,3 derajat celsius pada tahun 2050, 600 juta penduduk Asia berpotensi dilanda gelombang panas tahunan; 75 persen potensi kerugian ekonomi akibat banjir tahunan; dan meningkatnya tiga atau empat kali curah hujan ekstrem di sejumlah wilayah Asia, termasuk kawasan ASEAN (McKinsey Global Institute, 2020). ASEAN sebagai sebuah kawasan dapat kehilangan 37,4 persen Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini pada tahun 2048 jika mitigasi perubahan iklim dan transisi energi tidak dilakukan (EU-ASEAN Business Council, 2021). Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand akan kehilangan output perekonomian dengan total lebih dari tujuh kali lipat PDB pada tahun 2050. Dengan PDB Indonesia yang saat ini mencapai Rp21.000 triliun (Badan Kebijakan Fiskal, 2023), maka Indonesia berpotensi akan mengalami kerugian senilai Rp147.000 triliun jika tidak melakukan mitigasi perubahan iklim.” sebut Mouna.

Harapan dan ekspektasi tinggi publik terhadap hasil KTT ke-43 ASEAN 2023 dalam merespon isu perubahan iklim harus diiringi dengan adanya concrete deliverable sekaligus komitmen tinggi dalam implementasinya. “Harus diakui, masih banyak pesimisme terhadap pelaksanaan komitmen pemimpin ASEAN dikarenakan adanya ‘prinsip non campur tangan’ dan penghormatan terhadap kedaulatan nasional sebagai faktor penghambat. Selain itu, tidak adanya mekanisme akuntabilitas terhadap dokumen komitmen juga jadi faktor penghalang.” jelas Mouna.

ASEAN sebenarnya sudah memiliki sejumlah dokumen komitmen untuk mengatasi dampak perubahan iklim, melalui percepatan transisi energi, diantaranya ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation 2016 – 2025, ASEAN Energy Outlook 2017 – 2040, dan ASEAN Joint Statement on Climate Change COP23. Dalam Rencana Kerjasama Energi ASEAN Tahap II 2021-2025, telah ada komitmen untuk mengurangi 25% emisi gas rumah kaca pada tahun 2030. Juga untuk meningkatkan porsi energi terbarukan menjadi 23% pada tahun 2025 dari total pasokan energi primer.

“Lagi-lagi pertanyaannya sama, apakah ada mekanisme akuntabilitasnya? Jika ada komitmen tidak dilaksanakan oleh negara anggota ASEAN, adakah konsekuensinya?”

Untuk itu, peran Indonesia sebagai Keketuaan ASEAN 2023 sekaligus negara demokrasi terbesar di kawasan sangat strategis untuk dapat mengarahkan sekaligus memberikan contoh konkret dan komitmen mempercepat pelaksanaan transisi energi.

“Kami juga mendesak para Pemimpin ASEAN, khususnya Pemerintah Indonesia untuk dapat lebih banyak memberikan ruang bagi keterlibatan publik, termasuk organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan jurnalis dalam sejumlah pembahasan terkait transisi energi di forum-forum ASEAN”, tegas Mouna.

Menyoal Aspek Keadilan dalam Transisi Energi

Terkait isu transisi energi dalam keketuan ASEAN 2023 ini, Pemerintah Indonesia menyebut dalam triwulan pertama berhasil menyepakati prioritas penguatan ketahanan energi melalui pembangunan ekosistem kendaraan listrik (Kemenlu RI, 1 Mei 2023). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam sambutannya pada Joint Opening The 41st ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM-41) and The ASEAN Business Energy Forum (AEBF) di Bali, Kamis (24/8/) menyebut di sektor energi Indonesia akan berfokus pada tujuan utama ketahanan energi berkelanjutan melalui interkonektivitas, diantaranya meningkatkan interkonektivitas melalui Trans-ASEAN Gas Pipeline (TAGP) dan ASEAN Power Grid (APG), serta komitmen antarpihak lainnya.

“Namun demikian, komitmen transisi energi, sejauh ini lebih banyak terfokus pada aspek teknokratis pengurangan penggunaan energi fossil dan mempercepat pengembangan energi terbarukan, namun mengabaikan aspek keadilan, termasuk keadilan gender dan inklusi sosial sebagai faktor pemungkin (enabling factor) untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan”, ungkap Mouna.

Mouna menjelaskan bahwa kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya seringkali kurang terwakili di sektor energi dalam hal pekerjaan, peran kepemimpinan, akses energi, pengambilan keputusan, dan pengembangan kebijakan karena norma-norma sosial, kurangnya pendidikan dan pelatihan, serta akses yang tidak memadai terhadap teknologi dan keuangan. Selain itu, masyarakat yang terpinggirkan dan rentan mempunyai hambatan dalam mengakses layanan energi. Kurangnya akses terhadap layanan energi bagi masyarakat rentan berpotensi melanggengkan kesenjangan sosial dan ekonomi. Sementara itu, kurangnya akses terhadap partisipasi dan keterlibatan, khususnya dalam perencanaan dan implementasi kebijakan, akan menghambat transisi energi yang adil dan inklusif.

Mouna mengingatkan bahwa kesetaraan dan inklusi sosial merupakan hal mendasar untuk memastikan tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal, dan kelompok rentan memiliki akses terhadap peluang yang tercipta melalui transisi. Transisi energi harus disesuaikan dengan konteks lokal di mana transisi tersebut pada akhirnya akan terjadi (Climate Strategies, 2023).

“Menyesuaikan rencana dan implementasi transisi energi dengan kebutuhan lokal dan melibatkan masyarakat, terutama perempuan, penyandang disabilitas, kelompok lanjut usia, anak-anak, masyarakat adat, dan kelompok marginal serta kelompok rentan lainnya, sejak awal tahap desain sangatlah penting. Transisi yang dirancang bersama, terutama bagi mereka yang terkena dampak dan secara historis mengalami kerugian dari praktik buruk pertambangan, akan meningkatkan keberhasilan transisi dan memungkinkan terjadinya transisi yang lebih adil dan inklusif. Ini yang harus ditangkap oleh Pemimpin ASEAN jika ingin mewujudkan transisi energi berkeadilan, desak Mouna.

Mouna juga mendesak dalam setiap dokumen komitmen ASEAN juga memasukkan sekaligus menerjemahkan prinsip-prinsip berkeadilan seperti tidak meninggalkan siapapun (leaving no one behind), keberlanjutan dan ketahanan (sustainability dan resiliency), pengakuan akan HAM, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, serta akuntabilitas.

Risiko Korupsi Transisi Mineral

Tidak hanya aspek keadilan termasuk keadilan gender dan inklusi sosial, aspek transparansi dan akuntabilitas juga sangat penting dalam pelaksanaan transisi energi. Sejumlah negara ASEAN, seperti Indonesia dan Philipina akan menghadapi tantangan tata kelola transisi mineral dalam pengembangan energi terbarukan yang memerlukan pasokan mineral kritis seperti nikel, litium, kobalt, dan mangan, yang tinggi. Diperkirakan hingga dua dekade ke depan, peningkatan permintaan terhadap mineral pembentuk komponen teknologi bersih seperti nikel dan kobalt akan naik sebesar 60-70%, kemudian litium 90%, dan tembaga serta tanah jarang sebesar 40% (IEA, 2021).

Industri ekstraktif mempunyai sejarah panjang korupsi dan tata kelola yang buruk. Memberantas korupsi sepanjang rantai pasokan sangat diperlukan untuk mewujudkan transisi energi yang adil. Menurut OECD, industri ekstraktif merupakan salah satu bidang usaha dengan risiko tertinggi dan merupakan satu dari setiap lima kasus suap transnasional. Dengan besarnya keuntungan ekonomi yang dapat diekstraksi, mineral kritis menghadapi risiko korupsi yang sama yaitu state capture, PEP, konflik kepentingan, penyuapan, minimnya partisipasi serta pengawasan publik, dan diabaikannya dampak kerusakan lingkungan.

“Dalam konteks ini, justru bisa menjadi momentum untuk memperkuat Komitmen anti-korupsi dalam ASEAN yang juga masih menjadi tantangan besar”, pungkas Mouna.

Pertemuan Regional Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan

Sebagai informasi, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan perempuan dari berbagai negara anggota ASEAN akan bertemu di Jakarta pada 29-31 Agustus 2023. Pertemuan ini bertujuan untuk berbagi pandangan mengenai aspek keadilan dalam transisi energi dari berbagai negara. Membahas tantangan dan peluang pelaksanaan transisi energi berkeadilan termasuk keadilan gender di dalamnya. Merumuskan peran masyarakat sipil dan organisasi perempuan dalam mengawal transisi energi yang berkeadilan. Pertemuan diharapkan meningkatkan kerja sama antar masyarakat sipil dalam ikut serta di dalam mengawal transisi energi berkeadilan, khususnya dalam momentum KTT ASEAN ke-43 tahun 2023.

Narahubung:

Mouna Wasef
mouna@pwypindonesia.org
+62 812-8443-6297


Bagikan