fd8be2ba-4dcd-4d99-8804-08fc8c6cb528

Dokumen Panama Papers yang memuat 140 nama politisi dari berbagai negara dengan offshore companies di 21 tax havens membuat publik di Indonesia bereaksi. Pasalnya, dokumen ini juga memuat sejumlah nama orang berpengaruh asal Indonesia. Panama Papers adalah 11, 5 juta dokumen rahasia, yang didapatkan dari bocornya server komunikasi firma hukum Mossack Fonseca.

Adalah The International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) yang sebelumnya pernah merilis offshoreleaks di 2013, selanjutnya mempublikasikan data Panama Papers sejak 11 April lalu. Tempo, sebuah media yang sering menyuguhkan laporan investigasinya dan salah satu anggota konsorsium ICIJ, lantas merilis sejumlah nama tokoh Indonesia yang mempunyai offshore companies di Panama Papers pada artikelnya.

“Karena data ini berupa data mentah, sehingga yang kami lakukan adalah mencari nama-nama pejabat publik, orang yang mempunyai kasus hukum di masa lalu, dan pelaku kejahatan perpajakan, dalam data panama papers,” jelas wartawan investigasi Tempo Wahyu Dhyatmika atau biasa dipanggil Komang, dalam diskusi PWYP Knowledge Forum, 15/4 di kantor PWYP Indonesia.

Komang menceritakan, beberapa nama yang sudah dipublikasi dalam reportase Tempo adalah Harry Azhar Azis (Ketua BPK), Dua anggota DPR, Agus Anwar (mantan pemilik Bank Pelita), Djoko S. Tcandra (Buronan Kejaksaan Agung untuk kasus Cessie Bank Bali), Riza Chalid (pengusaha minyak dan gas), dan M. Nazaruddin (politisi Demokrat).

Bawono Kristiaji, Partner of Tax Research and Training Services at Danny Darussalam Tax Center, menjelaskan bahwa kebijakan mematok pajak yang tinggi bagi orang kaya di tahun 1920-1950an mendorong kemunculan tax haven. Tujuan pemajakan yang tinggi ini adalah untuk redistribusi pendapatan.

Panama Papers menjadi salah satu contoh tumbuh suburnya industri kerahasiaan (secretive industry). Munculnya secretive industry ini karena supply dan demand dari adanya tax haven dengan tarif pajak rendah, jaminan kerahasiaan tinggi, izin pendirian perusahaan dengan mudah, dan tidak adanya pertukaran informasi.

Panama Papers dan Tax Amnesty

Adanya upaya penghindaran dan pengelakan pajak dari orang super kaya di Panama Papers, membuat Forum Pajak Berkeadilan, sebuah koalisi masyarakat sipil di mana PWYP Indonesia adalah salah satu anggotanya mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pemberian pengampunan pajak kepada wajib pajak super kaya karena akan kontra produktif terhadap upaya optimalisasi penerimaan pajak. Baca selengkapnya di sini.

Namun, Aji mempunyai pandangan lain. Terungkapnya dokumen Panama Papers sebagai sebuah simulasi keterbukaan informasi Automatic Exchange of Information (AEoI) yang akan dijalankan oleh negara-negara G20 di 2018.

“Ini baru satu data dari satu firma hukum, bagaimana kalau nanti terbuka semua? Oleh karenanya, tax amnesty sebagai jembatan untuk mencegah terjadinya tsunami of dispute sengketa pajak,” ujar Aji.

Ia menambahkan, tax amnesty bukan untuk tujuan jangka pendek meningkatkan penerimaan pajak, namun untuk tujuan jangka panjang yaitu mendapat database wajib pajak. Kebijakan tax amnesty juga harus dibarengi dengan perbaikan kelembagaan, dan manajemen data tax amnesty.

“Sulit untuk menerima kemungkinan High Individual Network seperti Riza Chalid yang melakukan penghindaran dan pengelakan pajak kemudian dimaafkan, bagaimana kalau tidak di simpan dalam keranjang yang sama. Perlu penyelesaian pidana dan perdata pajak terlebih dahulu,” ujar Wiko Saputra, Peneliti Kebijakan Ekonomi PWYP Indonesia.

Adapun hal yang bisa didorong selain pilihan tax amnesty adalah mandatory disclosure dari perusahaan/perorangan, dan tax promotor. Tax evasion bisa dilihat dengan mudah dengan mencocokkan SPT, sedangkan tax avoidance perlu dilakukan analisis transfer pricing. Adanya country by country reporting juga bisa mereduksi tax avoidance. [Asr]