Sudah menjadi tradisi, ketika mengawali era rezim baru, penguasa negeri ini kerap menyorot pendapatan negara dari pajak. Maklum, pendapatan suatu negara bertumpu pada pungutan pajak di semua sektor. Maka, sangat dimaklumi jika pasangan presiden dan wakil presiden Jokowi-JK pun mengutak atik angka pendapatan pajak di awal pemerintahannya.
Salah satu yang mendapat sorotan adalah pajak pertambangan. Pasalnya, pajak yang dikenakan kepada pihak-pihak yang mengeksplorasi sumberdaya alam sangat signifikasan dalam mengisi pundi-pundi negara.
Masalahnya, selama ini disinyalir banyak pengusaha pertambangan yang ‘mengemplang’ pajak. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengatakan bahwa pengelolaan kekayaan sumber daya alam yang ada di Indonesia tak berbanding lurus dengan penerimaan pajak negara. Banyak pajak diduga hilang akibat tindakan korupsi pada sektor ini.
Bambang mengutip data produksi batu bara yang tidak sinkron antara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan data di Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut Bambang, data produksi komoditi tambang mineral dan batu bara di ESDM cenderung lebih kecil dibanding data di BPS. Dari situ saja patut diduga, adanya upaya ‘pengemplangan pajak’ secara sistematis selama bertahun-tahun.
Koalisi anti mafia tambang mengungkap kerugian pemerintah hingga Rp 4,6 triliun dari kekurangan pembayaran iuran tetap dan royalti perusahaan tambang sepanjang 2010-2013. “Hal ini menunjukan, masih lemahnya tata kelola sistem perizinan pertambangan di Indonesia,” ujar Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah, beberapa waktu lalu.
Perhitungan itu berdasarkan data yang diolah oleh PWYP. Kerugian berasal dari hasil rekapitulasi data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara di 12 provinsi. Ditemukan potensi kerugian negara dari kekurangan bayar 4.631 IUP (Izin Usaha Pertambangan) hingga Rp 3,768 triliun.
Selain itu, potensi kerugian negara dari penyewaan lahan di 12 provinsi sehingga menimbulkan kerugian sebesar Rp 919,18 miliar. Dari angka itu, tiga provinsi di antaranya memiliki potensi kerugian cukup besar, yakni Kalimantan Rp 754,94 miliar, Sumatera Rp 174,7 miliar, Sulawesi dan Maluku sebesar Rp 169,5 miliar.
Maryati menilai, inistiatif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan koordinasi dan supervisi bidang mineral dan batubara di 12 provinsi beberapa waktu lalu, berjalan lamban. Dia pun mendesak Presiden Joko Widodo turun langsung ke lokasi pertambangan.
Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kanwil Kalimantan Timur, Mohammad Isnaeni, pun menyebutkan bahwa lebih dari separuh pengusaha/wajib pajak (WP) pemegang izin usaha pertamangan (IUP) diduga mengemplang pajak. Saat ini di Kaltim terdapat 1.443 IUP yang dipegang oleh 1.297 pengusaha/WP. Sebanyak 795 WP berkantor pusat di Kaltim (Pph Badan). Lebih menyedihkan, jumlah WP yang membayar pajak dan melaporkan pembayaran pajaknya hanya sebanyak 363 WP atau atau kurang dari setengahnya, selebihnya diduga ngemplang pajak.
Dia menyebutkan, pada 2013 penerimaan pajak yang diperoleh mencapai Rp687 miliar. Setelah dilakukan berbagai sosialisasi dan pemeriksaan yang cukup gencar, berkoordinasi dengan jajaran Bareskrim Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada 2014 jumlah penerimaan pajak meningkat menjadi Rp786 miliar.
Negara telah memberikan kesempatan kepada para wajib pajak untuk melakukan koreksi dan perbaikan agar pembayaran pajak sesuai ketentuan. Nah, jika hal ini tidak dilakukan, maka bukan tidak mungkin perusahaan akan bertindak curang dengan memberikan data yang tidak benar. Kepada perusahaan seperti itu, pemerintah daerah dan pusat harus berani mempersoalkan secara hukum.
Menurut Bambang Widjojanto, ada sepuluh permasalahan di sektor tambang yang berpotensi merugikan negara di antaranya renegosiasi kontrak 34 KK dan 78 PKP2B, peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengelolaan dan pemurnian hasil tambang mineral dan batu bara, penataan kuasa pertambangan/izin usaha pertambangan (IUP), serta peningkatan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation), sistem data dan informasi, pelaksanaan pengawasan, dan pengoptimalan penerimaan negara.
“Karena itu KPK melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi dengan melakukan kegiatan tersebut pada 12 provinsi di Indonesia. Ini untuk mengawal perbaikan sistem dan kebijakan pengelolaan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) mineral dan batu bara,” kata Bambang.
Toh KPK saja tidak cukup untuk mencegah kebocoran pajak pertambangan. Repotnya, sampai saat ini, belum ada solusi cepat untuk mengatasi karut marut masalah pajak tambang. Paling tidak, dalam jangka panjang bisa dikaji beberapa hal.
Pertama, membuat disinsentif bagi ekspor tambang dalam bentuk mentah, sehingga mendorong investasi industri pengolahan tambang seperti gasifikasi batubara dan pengolahan bijih timah.
Kedua, perusahaan tambang besar agar diwajibkan untuk listing di bursa efek. Saat ini, beberapa tambang batubara besar di Indonesia masih private company, tertutup dari akses publik. Secara teori, akan mudah mengawasi perusahaam tambang, apabila laporan keuangan tersebut dipublish ke publik.
Ketiga, administrasi khusus untuk perusahaan tambang melalui KPP wajib pajak pertambangan, sehingga lebih fokus karena tidak bercampur dengan sektor lain.
Keempat, Direktorat Jenderal Pajak membuka kerjasama dengan otoritas pelabuhan seperti Pelindo dan pelabuhan lainnya, untuk mengetahui data cargo manifest dan stok pile hasil tambang.
Kelima, pemerintah membuat standar harga tambang baik batubara maupun mineral lainnya sehingga memudahkan pengukuran kepatuhan dalam pelaporan pajak, seperti Indonesian Coal Index yang dimiliki oleh instansi pemerintah. Dari indeks ini bisa ditentukan pajak penghasilan yang harus dibayar maupun royalti yang wajib diserahkan oleh perusahaan tambang.
Keenam, pembatasan kontrak derivatif yang berlebihan, karena hal itu tidak logis bagi perusahaan tambang yang membayar biaya dalam rupiah dan menjual dalam valuta asing. Tentu pembatasan ini dengan disinsentif seperti pengenaan pajak atas kontrak hedging dan swap. dengan demikian negara tidak dirugikan. Perlu aturan agar perusahaan tidak membiayakan seluruh kerugian kurs, karena pembayaran kontrak derivatif kepada lawan transaksi akan dikenai pajak.
Sulit memang. Tapi langkah ini harus diambil untuk menyelamatkan APBN dan melindungi sumberdaya alam!
tambang.co.id | Penulis : Heru Pamuji (h.pamuji[at]gmail.com) | 7 Januari 2015