Mengapa kita harus melawan? Ya, kesewenang-wenangan, persekongkolan politik, pembangkangan dan pengkhianatan terhadap hukum untuk kepentingan keluarga rezim dan kelompoknya harus dilawan. Untuk memperingatkan kepada mereka, bahwa kekuatan rakyat masih ada. Dan apa yang mereka lakukan akan terus berada dalam kontrol rakyat. Gerakan rakyat, aksi demontrasi yang terjadi selama sepekan lalu bukan hanya bagian dari penegakkan hukum, melainkan juga merupakan penyelamatan sumber daya alam dari kerakusan dan syahwat politik rezim.
Kemenangan Gerakan Rakyat
Gelombang protes terhadap upaya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berencana merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) masih terasa. Eskalasi gerakan penolakan terhadap sikap DPR itu telah menyebar sampai ke daerah-daerah. Konsolidasi-konsolidasi gerakan masih terjaga, pasca-aksi demonstrasi besar-besaran di depan Gedung DPR, Kamis (22/8) lalu.
Gerakan aksi terhadap rencana merevisi UU tersebut, pasca demonstrasi di Jakarta itu, disambut aksi demonstrasi dengan semangat dan isu yang sama —di antaranya menolak dinasti dan DPR harus patuh terhadap putusan MK— di kota-kota besar. Euforia gerakan kian terasa hingga sepekan ini.
Sampai hari ini, gerakan demonstrasi di berbagai daerah terus berjalan meskipun sudah ada PKPU yang mengakomodasi putusan MK. Salah satu tuntutan dalam gerakan-gerakan demonstrasi itu adalah penolakan terhadap politik dinasti, dan upaya menggunakan kekuasaan untuk mengangkangi konstitusi demi kepentingan segelintir pihak.
Bermula dari DPR Tak Menghiraukan Putusan MK
Pada 20 Agustus 2024, MK mengeluarkan dua putusan. Pertama, putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Putusan itu mengubah ambang batas pencalonan oleh partai politik sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah yang tertuang dalam UU Pilkada. MK kemudian memberi syarat baru ambang batas didasarkan pada jumlah penduduk.
Melalui putusan ini juga, MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tak punya kursi di DPRD, selama memenuhi syarat presentase yang dhitung dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Syarat parpol dan gabungan parpol bisa mengusung paslon yaitu memperoleh suara sah dari 6,5 persen hingga 10 persen, terganutng pada jumlah pemilih tetap di provinsi itu.
Putusan kedua, yakni putusan nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan semua persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam pasal 7 UU Pilkada harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon kepala daerah. Artinya, batas usia calon gubernur tetap 30 tahun dan calon wali kota/bupati tetap 25 tahun saat ditetapkan KPU sebagai pasangan calon, bukan ketika dilantik
Sehari setelah dua putusan MK itu, Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar rapat untuk merevisi UU Pilkada, merespons putusan MK tersebut. Alih-alih menyesuaikan UU Pilkada dengan putusan MK, Baleg DPR justru tidak mengakomodir apa yang telah menjadi putusan MK dan membuat draf versi bertolak belakang dengan putusan MK tersebut.
Versi Baleg terkait ambang batas pencalonan oleh MK itu, hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Sementara terkait batas usia minimal calon gubernur, syarat 30 tahun tersebut berlaku saat dilantik.
Upaya Baleg tersebut diduga untuk mensukseskan keluarga rezim di Pilkada. Manuver Baleg atas putusan MK tersebut dianggap merupakan bentuk pembangkangan dan pengkhianatan terhadap hukum. Mencerminkan persengkokolan politik untuk kekuasaan yang melayani keluarga dan sekelompok orang dengan melanggar supremasi hukum. Patut diduga, Baleg bekerja atas dominasi kekuasaan; atas rezim. Baleg bekerja atas kepentingan kekuasaan; rezim semata.
Padahal, keputusan MK memiliki kekuatan hukum mengikat dan bersifat final. Putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum sejak dicuapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sehingga dalam konteks ini, upaya Baleg merevisi UU Pilkada tanpa mengakomodir putusan MK dan membuat versi sendiri, adalah bentuk akal-akalan politik, persengkongkolan politik dan pembangkangan terhadap hukum. Itu merupakan tindakan wakil rakyat yang berkhianat kepada hukum.
Mengapa Harus Melawan; dari Kacamata SDA
Mengapa kita harus melawan? Bukan tidak mungkin, pola-pola persekongkolan politik semacam ini akan terjadi di seluruh sektor, tidak hanya hukum. Bukan tidak mungkin, pembangkangan hukum yang terjadi hari ini, terjadi di seluruh aspek, tidak hanya pada aspek hukum. Yang kesemuanya diorientasikan pada kepentingan rezim dan keluarganya, serta kelompoknya semata.
Seperti yang disampaikan Aisah Putri Budiarti, seorang peneliti BRIN. Apa yang terjadi hari ini akan berdampak sangat luas dan pada akhirnya aka nada efek domino; yaitu semakin menguatnya politik dinasti dan oligarki.
Persengkokolan politik seperti ini, bisa saja terkonversi menjadi kejahatan-kejahatan ekonomi. Pembangkangan-pembangkangan hukum semacam ini bisa saja terkonversi menjadi pembangkangan dan pengkhianatan terhadap pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Pembajakan hukum seperti itu, bisa menjadi pembajakan amanat sumber daya alam (SDA) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi hanya untuk kepentingan keluarga rezim dan segelintir orang semata. Hasrat kekuasaan yang buta terhadap hukum bisa berubah menjadi eksploitasi sumber daya alam hanya untuk kepentingan keluarga, sahabat dan kelompok rezim. Mengutip apa yang disampaikan Nelson Mandela, bahwa penjahat tidak pernah membangun negara, mereka hanya memperkaya diri sambil merusak negara.
Ketika rezim kekuasaan menjadi semakin kuat dan berkhianat kepada hukum, maka itu menjadi ancaman bagi sektor-sektor penting bagi negara seperti sumber daya alam. Begitu juga dengan sektor ekonomi lainnya. Sektor migas menjadi saksi bagaimana kekuasaan memperkaya keluarga dan sekelompok kolega di masa rezim Orde Baru.
Bila akal-akalan politik melalui Baleg dengan revisi UU Pilkada terjadi, ini akan menjadi preseden buruk dan ancaman bagi putusan MK lainnya. Terutama yang berkaitan dengan sektor sumber daya alam. Akan menjadi contoh bagi kejahatan-kejahatan ekonomi mengakali putusan MK.
Misalnya, tentang putusan MK tentang perkara nomor 35/PUU-XXI/2023, yang menolak gugatan salah satu perusahaan pemilik konsesi tambang nikel di Pulau Wawonii, Maret 2024. Gugatan tersebut dilakukan agar perusahaan sebagai pemilik konsesi dapat melakukan penambangan di pulau tersebut. Penambangan oleh perusahaan tak bisa dilakukan karena terhalang aturan syarat wilayah dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
Dalam putusannya, MK menilai, bahwa pulau-pulau kecil diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan, budi daya laut pariwisata, usaha perikanan dan kelautan seara industri, pertanian organik, peternakan dan/atau pertanahan dan keamanan negara. Penggunaan kata diprioritaskan untuk menjelaskan fungsi-fungsi utama pulau-pulau kecil menjadi kunci dalam menjelaskan UU PWP3K, di mana kata tersebut mengandung arti diutamakan dan didahulukan dari yang lain.
Kemudian pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan selama berbasis keberlanjutan, menghargai masyarakat adat lokal dan mengeliminasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan. Maka penting bagi MK untuk menegaskan bahwa UU PWP3K dibentuk untuk melindungi keberlanjutan dan kelestarian kawasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam NKRI.
Bila revisi UU Pilkada versi Baleg lalu mulus tanpa penolakan, maka kita bisa berpikir ke arah putusan MK tentang perlindungan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dari kehancuran lingkungan tersebut. Bisa saja, atas nama kemudahan investasi yang selama ini menjadi prioritas rezim, atas nama penerimaan negara, pengingkaran terhadap putusan MK dilakukan dengan membuat aturan baru melalui akal-akalan politik agar eksploitasi atau penambangan nikel di pulau itu dilaksanakan.
Lalu, kembali ke pertanyaan awal, mengapa kita harus melawan? Ya, kesewenang-wenangan, persekongkolan politik, pembangkangan dan pengkhianatan terhadap hukum untuk kepentingan keluarga rezim dan kelompoknya harus dilawan. Untuk memperingatkan kepada mereka, bahwa kekuatan rakyat masih ada. Dan apa yang mereka lakukan akan terus berada dalam kontrol rakyat. Gerakan rakyat, aksi demonstrasi yang terjadi selama sepekan lalu bukan hanya bagian dari penegakkan hukum, melainkan juga merupakan penyelamatan sumber daya alam dari kerakusan dan syahwat politik rezim.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan sepatah kata.
“Kalau politik bagi kekuasaan adalah cara untuk merampok negara. Maka politik bagi rakyat adalah cara menggulingkan kekuasaan”.
Hidup Rakyat!