Jakarta, 26 Agustus 2025 – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia berpartisipasi dalam Regional Workshop: “A Global South Perspective for the New Economic Structural Transformation” yang diselenggarakan oleh Transnational Institute (TNI), The Legal Center for International Trade and Investment (LCITI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, serta Research Center for Macroeconomics and Finance – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kegiatan yang berlangsung di Jakarta ini mempertemukan akademisi, peneliti, serikat buruh, dan organisasi masyarakat sipil dari Asia Tenggara untuk mendiskusikan arah pembangunan ekonomi yang adil, hijau, dan demokratis bagi negara-negara Global South.

Dalam sesi refleksi kritis yang membahas isu Labour dan Just Energy Transition, Meliana Lumbantoruan, Deputi Direktur PWYP Indonesia, hadir sebagai salah satu narasumber. Ia mengingatkan bahwa posisi Indonesia sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar kedua di dunia sering dipandang sebagai peluang besar, tetapi kenyataannya menyisakan banyak persoalan ketidakadilan. “Abundance does not equal justice. Pertanyaannya selalu: siapa yang mendapat manfaat, siapa yang menanggung biaya, dan siapa yang suaranya tidak didengar,” ungkapnya.

Dalam refleksinya, Meliana menekankan bahwa ada tiga aspek utama yang harus menjadi perhatian jika Indonesia ingin menghadirkan transisi energi yang adil. Pertama adalah tata kelola. Dengan lebih dari 4.400 izin tambang yang hanya diawasi oleh 492 inspektur, mekanisme kontrol menjadi sangat timpang. Celah ini membuat kewajiban perusahaan kerap diabaikan. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2022 bahkan menunjukkan 70 persen perusahaan tambang tidak membayar dana reklamasi dan pascatambang. Akibatnya, kerusakan lingkungan semakin parah dan konflik sosial di tingkat lokal sulit dihindari.

 

Kedua adalah keadilan dalam pengelolaan sumber daya. Kebijakan ekspor nikel yang berubah-ubah mendorong ekstraksi berlebihan, sementara manfaat ekonominya tidak dirasakan secara merata. Di Morowali, misalnya, industri nikel memang berkembang pesat, tetapi kontribusi bagi pemerintah daerah hanya sekitar 2,34 persen (Rp215,6 miliar). Jumlah itu sangat kecil dibandingkan dengan kerugian sosial-ekologis yang ditanggung masyarakat lokal, mulai dari hilangnya lahan pangan hingga menurunnya kualitas hidup. “Ketika manfaat ekonomi hanya terkonsentrasi di pusat, sementara daerah penghasil menanggung beban lingkungan dan sosial, maka yang terjadi bukan pembangunan, melainkan reproduksi ketidakadilan,” jelasnya.

Aspek ketiga adalah keadilan bagi tenaga kerja dan energi. Di lapangan, buruh masih menghadapi kondisi kerja yang tidak layak: jam kerja panjang, perlindungan minim, dan kesenjangan upah antara pekerja lokal dan asing. Pada saat yang sama, smelter yang digadang-gadang sebagai bagian dari industrialisasi hijau justru masih mengandalkan PLTU batubara. Antara 2015 dan 2022, kapasitas PLTU bertambah 13 gigawatt hanya untuk menopang industri nikel, sebuah paradoks yang jelas bertentangan dengan komitmen Net Zero 2060. “Green industrialisation must not be built on brown practices. Jika industri hijau masih ditopang batubara, maka transisi ini hanya kosmetik, bukan solusi,” ujarnya.

Menutup refleksi yang disampaikan, ditekankan bahwa keadilan harus menjadi inti dari industrialisasi hijau, keadilan bagi pekerja, komunitas lokal, dan iklim. Jalan keluarnya mencakup investasi dalam riset dan transfer teknologi, peralihan smelter ke energi terbarukan sebelum 2030, penegakan standar kerja layak serta hak berserikat, dan penerapan kebijakan fiskal progresif agar manfaat ekonomi dapat dibagi lebih adil. “Tanpa reformasi yang berpihak pada rakyat, Indonesia hanya akan mengulang pola lama: kaya sumber daya, tetapi miskin keadilan,” tutup Meliana.

Kehadiran PWYP Indonesia dalam forum ini memperkuat suara masyarakat sipil bahwa transisi energi tidak boleh hanya mengikuti logika pasar global. Lebih dari itu, transisi harus menjadi momentum untuk menjamin kesejahteraan rakyat, melindungi lingkungan, serta membangun kedaulatan ekonomi yang berkelanjutan.

Penulis: Meliana Lumbantoruan

 

Privacy Preference Center

Skip to content