JAKARTA. Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah, menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Pasal-pasal Inkonstitusional RUU Cipta Kerja” yang diselenggarakan oleh KoDe Inisiatif  pada Kamis, 5 Maret 2020. Dalam diskusi tersebut turut hadir tiga narasumber lainnya, yakni Rahmah Mutiara selaku peneliti KoDe Inisiatif, Charles Sinabura selaku peneliti PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas, serta Ikhsan Raharjo selaku Sekretaris Jenderal SINDIKASI. Diskusi kali ini membahas perihal Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap memiliki pasal-pasal yang berpotensi melanggar konstitusi.

Diskusi dimulai dengan pemaparan oleh peneliti KoDe Inisiatif, Rahmah Mutiara, yang menjelaskan bahwa terdapat 31 pasal inkonstitusional dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja berpotensi bertentangan konstitusi karena sudah dinyatakan inkonstitusional. Lebih lanjut, Rahmah menilai bahwa masuknya pasal-pasal inkonstitusional dalam RUU Cipta Kerja menandakan bahwa pemerintah tidak menghormati adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ketidakpatuhan tersebut terbagi dalam tiga jenis. Pertama, putusan MK tidak ditindaklanjuti, dalam hal ini norma-norma yang telah dibatalkan MK tidak diakomodasikan dalam RUU Cipta Kerja. Kedua, penindaklanjutan putusan MK bersifat sebagian yang dapat diakomodasikan dalam RUU Cipta Kerja. Dan Ketiga, munculnya pasal-pasal zombie di mana pasal yang telah dibatalkan oleh MK dihidupkan kembali oleh pemerintah dalam RUU Cipta Kerja. Terkait hal ini, Ikhsan Raharjo juga memaparkan bahwa RUU Cipta Kerja dapat memberi dampak buruk terhadap sistem ketenagakerjaan, seperti kerentanan pekerjaan muda terhadap status pekerjaan, menurunnya daya beli pekerja, tidak diperhitungkannya upah minimum, serta tidak jelasnya sistem outsourcing yang rentan meminggirkan hak pekerja terhadap jaminan sosial.

Berkaitan dengan sektor energi, migas, pertambangan, dan pengelolaan sumber daya alam, Maryati Abdullah sebagai Koordinator Nasional PWYP Indonesia menjelaskan bahwa RUU Cipta Kerja juga akan berpengaruh terhadap pengelolaan SDA, khususnya di level pemerintah daerah yang tidak lagi memiliki diskresi ekonomi dalam mengelola potensi wilayahnya. Upaya resentralisasi kepada pemerintahan pusat dalam pemberian izin pengelolaan sumber daya alam akan menurunkan tanggungjawab perekonomian daerah dan khususnya pengawasan selama pengelolaan sumberdaya berlangsung. Selain itu, Maryati mengingatkan bahwa “omnibus law yang dirancang untuk memberi kepastian hukum, justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dengan banyaknya aturan turunan yang akan dibuat melalui Peraturan Pemerintah (PP).”

Sementara itu, Charles Simabura menambahkan bahwa RUU Cipta Kerja hanya baik di level konsideran saja, namun isinya banyak mengandung prinsip ekonomisentris dibandingkan welfare-sentris. Dalam hal ini, pemerintah cenderung hanya melihat prospek investasi jangka pendek saja dan mengabaikan prospek investasi berjangka panjang. (RL/AA)