Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menggelar diskusi terpumpun pada 12 September 2025 di Jakarta sebagai bagian dari upaya merespons pelaksanaan Conference of the Parties (COP) ke-30 yang akan dilangsungkan di Belém, Brazil, pada 10-21 November 2025. Diskusi ini bertujuan untuk merumuskan strategi pengarusutamaan Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) agar tidak sekadar menjadi isu pelengkap, melainkan terintegrasi dalam seluruh proses pengambilan keputusan dan implementasi aksi iklim global.
Sejumlah organisasi perempuan dan kelompok masyarakat sipil hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Solidaritas Perempuan (SP), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), dan Federasi Serikat Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Diskusi dipimpin oleh Kepala Divisi Riset dan Advokasi PWYP Indonesia, Mouna Wasef, dengan menghadirkan pembicara utama Sekretaris Jenderal KPI, Mikewati Vera Tangka, serta Energy and Climate Legal Assistant dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Saffanah Azzahra Adrian.
Mouna menjelaskan bahwa diskusi ini berfokus pada pemetaan strategi untuk mendorong pengarusutamaan GEDSI dalam COP30, termasuk berbagi pengalaman dari peserta yang pernah mengikuti pertemuan COP sebelumnya. Hal itu mencakup pemahaman tentang mekanisme pengambilan keputusan di forum internasional, peluang untuk menyuarakan isu-isu inklusif, serta taktik agar GEDSI dapat masuk dalam agenda negosiasi dan dokumen resmi hasil konferensi.
Mike menyoroti bahwa isu GEDSI dalam pertemuan COP bersifat fluktuatif. Berdasarkan pengamatannya, isu gender dan inklusi menguat pada COP26 karena terbentuknya kelompok kerja khusus dan meningkatnya keterwakilan perempuan, termasuk sekitar 40 kepala negara perempuan yang hadir. Namun, pada COP-COP berikutnya, perhatian terhadap isu tersebut kembali menurun. Ia menilai, COP30 menjadi momen penting untuk menghidupkan kembali pengarusutamaan GEDSI, terutama karena Brazil dikenal memiliki perhatian besar terhadap kesetaraan gender. Mike mengingatkan bahwa efektivitas aksi iklim global tidak akan tercapai tanpa kerangka kerja yang inklusif gender.
Sementara itu, Saffanah Azzahra menjelaskan bahwa ruang bagi organisasi masyarakat sipil (CSO) dalam COP sebenarnya terbuka, meski akses terhadap sesi-sesi utama masih terbatas untuk delegasi resmi tiap negara. Menurutnya, strategi yang paling efektif untuk mendorong isu GEDSI adalah melalui penyampaian position paper kepada delegasi nasional, karena jalur formal advokasi di forum internasional tetap berada di bawah otoritas pemerintah. Ia menekankan pentingnya intervensi awal sebelum keberangkatan, agar perspektif GEDSI sudah masuk dalam dokumen dan posisi negosiasi Indonesia.
Para narasumber juga menegaskan bahwa kerja advokasi GEDSI menjelang COP30 harus disertai strategi komunikasi yang kuat, terutama dengan media. Identifikasi terhadap media Indonesia yang akan meliput COP30 di Brazil perlu dilakukan agar pemberitaan mengenai isu gender, disabilitas, dan inklusi dapat lebih menonjol di ruang publik nasional. Selain itu, koordinasi dengan perwakilan delegasi RI perlu diperkuat agar masukan dari masyarakat sipil dapat tersampaikan secara efektif selama proses negosiasi di Belém.
Perkembangan terkini menunjukkan bahwa penyelenggara COP30 di Brazil secara eksplisit menempatkan isu gender dan inklusi sebagai bagian penting dari agenda aksi iklim. Melalui COP30 Action Agenda, perspektif gender diintegrasikan dalam setiap tahap manajemen krisis iklim, mulai dari mitigasi, adaptasi, hingga pemulihan pascabencana. Salah satu inisiatif yang menonjol adalah penyusunan Protocol for Supporting Women in Climate Emergencies and Disasters, yang menekankan perlindungan terhadap perempuan dalam situasi bencana, pemberdayaan ekonomi, serta redistribusi beban kerja domestik.
Selain itu, pemerintah Brazil juga berupaya memperkenalkan kriteria keberagaman sosial, termasuk gender dan ras, sebagai bagian dari standar investasi berkelanjutan global. Gagasan ini sejalan dengan konsep mutirão, yaitu gotong royong kolektif yang menjadi filosofi nasional Brazil dan kini diusulkan sebagai kerangka aksi global untuk memperkuat peran komunitas lokal serta kelompok rentan dalam transisi yang adil.
Dalam konteks ini, strategi advokasi GEDSI dari Indonesia menjadi semakin krusial. PWYP Indonesia bersama jaringan masyarakat sipil akan mempersiapkan policy brief khusus GEDSI yang akan diserahkan kepada delegasi RI menuju COP30. Dengan semakin kuatnya perhatian global terhadap inklusi sosial dalam kebijakan iklim, momentum COP30 diharapkan menjadi titik balik bagi Indonesia untuk memperkuat komitmen gender, disabilitas, dan keadilan sosial dalam diplomasi iklimnya.
Penulis: Mouna Wasef