Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menggelar diskusi terpumpun untuk mendorong pengarusutamaan Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) dalam kebijakan dan aksi iklim baik di tingkat nasional maupun internasional. Kegiatan yang mengangkat tema “Menyelaraskan Agenda GEDSI, Transisi Energi, dan Kebijakan Iklim Indonesia dalam COP 30” ini diselenggarakan di Jakarta pada 28 Oktober 2025, sebagai bagian dari upaya memperkuat peran Indonesia menjelang pelaksanaan Conference of the Parties (COP) ke-30 di Brasil.
Kepala Divisi Riset dan Advokasi PWYP Indonesia, Mouna Wasef, menjelaskan bahwa progres pengarusutamaan GEDSI dalam konteks kebijakan iklim selama ini masih berjalan secara fluktuatif dan belum terintegrasi secara menyeluruh. Saat ini, PWYP Indonesia tengah melakukan kajian analisis kesenjangan antara berbagai kerangka kebijakan, termasuk Gender Action Plan (GAP), Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN-GPI) 2024–2030, Lima Work Programme on Gender (LWPG), dan Just Transition Work Programme (JTWP). Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesenjangan penerapan GEDSI dalam kebijakan nasional serta mengaitkannya dengan komitmen dan program internasional yang relevan. “Melalui kajian ini, kami ingin melihat sejauh mana integrasi GEDSI telah berjalan, serta menemukan ruang-ruang perbaikan yang bisa diperkuat menjelang COP 30. Diskusi ini menjadi bagian penting untuk memperkaya hasil kajian dan memastikan rekomendasi yang kami susun relevan dengan konteks global,” ujar Mouna.
Dalam diskusi tersebut hadir berbagai narasumber, di antaranya Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup/perwakilan delegasi Indonesia pada COP 30, Franky Zamzani, serta Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mikewati Vera Tangka. Franky menegaskan bahwa dalam forum internasional seperti COP, posisi tawar negara berkembang seringkali terbatas. Namun demikian, Indonesia memiliki peluang untuk memperkuat perannya dengan mendorong kebijakan iklim yang adil, inklusif, dan berpihak pada kelompok rentan. Menurutnya, strategi utama dalam memastikan keadilan iklim adalah dengan melibatkan berbagai pihak sejak tahap perencanaan, implementasi, hingga pemantauan. Dokumen-dokumen perencanaan harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari kementerian dan lembaga pemerintah hingga organisasi masyarakat sipil dan komunitas lokal.
Lebih lanjut, Franky mencontohkan bahwa Indonesia telah memiliki program yang menyentuh tingkat tapak, seperti Program Kampung Iklim (Proklim), yang menjadi salah satu strategi pelibatan masyarakat dalam aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Namun demikian, ia mengakui bahwa tantangan terbesar dalam pengarusutamaan GEDSI terletak pada keterbatasan data serta ketimpangan literasi iklim di tingkat komunitas. “Peningkatan literasi iklim menjadi kunci agar perempuan dan kelompok rentan dapat berperan lebih signifikan. Masih banyak kelompok yang belum memahami bagaimana mereka bisa berkontribusi terhadap upaya adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim,” ujarnya.
Sementara itu, Mikewati menekankan pentingnya memperkuat suara perempuan, masyarakat adat, dan komunitas lokal dalam forum COP 30. Ia menilai bahwa agenda transisi energi dan kebijakan iklim harus dikembangkan dengan pendekatan yang inklusif, agar kelompok yang terdampak langsung oleh krisis iklim tidak terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan. “Perubahan iklim seringkali dipersepsikan jauh dari perempuan, padahal dampaknya dirasakan secara langsung oleh mereka. Karena itu, forum seperti COP 30 harus menjadi ruang di mana suara perempuan dan kelompok rentan benar-benar didengar,” tegas Mike.
Ia juga mengingatkan bahwa isu gender sebenarnya bukan hal baru dalam forum COP. Isu ini sempat menguat dalam COP 26 di Glasgow, Skotlandia, namun eskalasinya menurun pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Menurutnya, krisis iklim bukan semata persoalan lingkungan, tetapi juga menyangkut pola ekonomi, produksi, dan migrasi yang berdampak besar terhadap perempuan dan kelompok rentan. Oleh karena itu, keadilan iklim harus menjadi komitmen nyata di setiap negara dan di setiap level kebijakan. “Perubahan iklim berdampak pada semua kelompok tanpa kecuali. Karena itu, COP 30 harus memperhatikan keterlibatan sosial yang beragam, bukan hanya berdasarkan analisis teknis, tetapi juga dengan mendengarkan langsung suara kelompok yang selama ini terpinggirkan,” ujarnya.
PWYP Indonesia memandang bahwa menjelang COP 30, Indonesia perlu membawa fakta-fakta lapangan yang berbasis komunitas untuk memperkuat posisi nasional dalam negosiasi internasional. Fakta-fakta ini harus mencerminkan realitas masyarakat yang paling terdampak oleh perubahan iklim, terutama perempuan, masyarakat adat, dan komunitas lokal. Selain itu, akses terhadap pendanaan iklim yang inklusif dan mendukung ekonomi lokal juga perlu diperjuangkan agar transisi energi dapat berlangsung adil bagi semua pihak. “COP 30 adalah momentum untuk memastikan keadilan sosial menjadi arus utama dalam kebijakan iklim global. Kita perlu memastikan bahwa suara kelompok yang paling terdampak tidak lagi berada di pinggiran, tetapi menjadi bagian dari pengambilan keputusan,” pungkas Mouna.
Sebagai tindak lanjut, PWYP Indonesia tengah mempersiapkan sejumlah rekomendasi berbasis hasil kajian dan diskusi kelompok terarah bersama organisasi masyarakat sipil. Rekomendasi tersebut akan diarahkan untuk memperkuat integrasi GEDSI dalam kebijakan iklim nasional serta mendukung implementasi RAN-GPI 2024-2030. Upaya ini diharapkan dapat memastikan bahwa prinsip kesetaraan gender, inklusi sosial, dan keadilan dalam transisi energi benar-benar diterapkan secara nyata di tingkat kebijakan, program, dan pelaksanaan aksi iklim.
Penulis: Ariyansyah
Reviewer: Mouna Wasef