Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendiseminasikan hasil kajian tata kelola sektor batu bara yang dilakukan selama kurang lebih satu tahun melalui sebuah diskusi publik di Jakarta pada 27 November 2025. Kegiatan yang mengusung tema penataan ulang sektor batu bara dalam kerangka transisi energi yang berkeadilan ini menjadi ruang pertemuan berbagai pemangku kepentingan untuk membahas tantangan sekaligus arah pembenahan kebijakan batubara di Indonesia di tengah komitmen global terhadap transisi energi.

Dalam kesempatan tersebut, PWYP Indonesia meluncurkan empat laporan kajian yang membahas isu strategis tata kelola batubara dari berbagai sisi. Kajian tersebut mencakup dinamika pelaku usaha dalam menghadapi transisi energi, pentingnya transparansi penetapan kuota produksi, kebutuhan pengendalian produksi yang selaras dengan komitmen iklim, serta urgensi moratorium izin pertambangan batu bara demi keselamatan dan keberlanjutan lingkungan. Keempat laporan ini disusun sebagai bagian dari upaya mendorong reformasi kebijakan batubara agar sejalan dengan prinsip keadilan sosial, perlindungan lingkungan, dan keberlanjutan ekonomi.

Hadir sebagai penanggap diseminasi laporan ini, Perencana Ahli Madya Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nur Laila Widyastuti, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara (APBI) Gita Mahrayani dan Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Paul Butarbutar. Selain itu, kegiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan kementerian dan lembaga, perusahaan tambang, serta organisasi masyarakat sipil yang memiliki perhatian terhadap isu tata kelola sumber daya alam dan transisi energi.

Hasil kajian ini merupakan hasil kerja kolaboratif lintas pemangku kepentingan yang bertujuan memberikan rekomendasi konkret bagi perbaikan tata kelola sektor batu bara Indonesia dalam kerangka transisi energi yang berkeadilan. Kajian ini tidak hanya menyoroti persoalan di hulu, seperti pengendalian produksi dan penegakan hukum, tetapi juga mendorong perubahan cara pandang pelaku usaha batu bara agar mulai menyiapkan strategi jangka panjang untuk mengalihkan model bisnisnya ke sektor yang lebih hijau dan berkelanjutan. Isu-isu yang diangkat dalam laporan ini semakin krusial dan membutuhkan tindak lanjut serius dari pemerintah,” ujar Koordinator Nasional PWYP Indonesia Aryanto Nugroho.

Keempat laporan tersebut disusun dengan berangkat dari konteks dan permasalahan yang berbeda, namun saling terkait satu sama lain. Salah satunya adalah pentingnya pelaku usaha batu bara memandang transisi energi bukan semata sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk menjaga keberlanjutan bisnis di masa depan. Arah kebijakan energi global yang bergerak menuju energi terbarukan, tekanan ekonomi akibat ketergantungan pada komoditas fosil, serta kebijakan pemerintah menjadi faktor utama yang mendorong kebutuhan transisi bisnis. Dalam konteks ini, kajian PWYP Indonesia menekankan pentingnya penguatan ekonomi pasca-tambang, penyediaan insentif dan skema pembiayaan transisi, penguatan kolaborasi dan kelembagaan, serta peningkatan tata kelola dan akuntabilitas sosial.

Kajian lain menyoroti persoalan transparansi dalam penetapan kuota produksi batu bara yang hingga kini masih menjadi titik lemah dalam tata kelola sektor ini. Proses penentuan kuota produksi tahunan dinilai belum membuka informasi secara memadai terkait dasar perhitungan, kriteria, maupun prosedur yang digunakan. Padahal, kuota produksi memiliki peran strategis dalam mengendalikan laju ekstraksi batu bara dan memastikan pencapaian target dekarbonisasi nasional serta kebijakan energi, termasuk Rencana Umum Energi Nasional. Tanpa transparansi, pengendalian produksi berisiko tidak sejalan dengan komitmen iklim dan prinsip keadilan energi.

Selain aspek transparansi, pengendalian produksi batu bara secara keseluruhan juga menjadi sorotan penting dalam kajian PWYP Indonesia. Pengendalian dinilai harus dirancang agar selaras dengan komitmen Indonesia dalam menghadapi krisis iklim, termasuk target Net Zero Emission, sekaligus menjawab kebutuhan transisi energi yang adil secara sosial, ekologis, dan ekonomis. Pengendalian produksi juga dipandang sebagai langkah strategis untuk menekan dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan yang selama ini membebani ekosistem dan masyarakat sekitar. Dalam jangka panjang, kajian ini mendorong pengurangan target produksi secara bertahap melalui revisi kebijakan energi nasional serta penghentian ekspansi tambang batu bara.

Isu terakhir yang diangkat adalah urgensi moratorium izin pertambangan batu bara. Kajian ini berangkat dari kenyataan bahwa laju pembukaan dan perluasan tambang batu bara telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan di banyak wilayah. Di tengah komitmen Indonesia terhadap target iklim yang semakin ambisius, moratorium izin baru dipandang sebagai langkah penting untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas dan memastikan keselamatan masyarakat. Moratorium tersebut perlu diikuti dengan audit dan evaluasi menyeluruh terhadap perizinan yang telah ada, serta diperkuat dengan sanksi dan implikasi hukum yang jelas agar memiliki daya paksa dan efek jera. Pembatasan produksi nasional batu bara yang konsisten dengan mandat kebijakan energi nasional juga dinilai menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya penataan ulang sektor batu bara menuju transisi energi yang berkeadilan.

Privacy Preference Center

Skip to content