Bogor – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bekerja sama dengan Sahita Institut/HINTS, Transnational Institut (TNI), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Serikat Mahasiswa Progresif (SEMPRO), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), dan Sembada Bersama, menggelar pertemuan nasional bertajuk Simposium Nasional Industri Hijau di Bogor pada 1-3 Juli 2025.
Simposium ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas gerakan rakyat dalam merespons dinamika ekonomi dan politik global, khususnya dalam konteks industrialisasi. Kegiatan ini juga menjadi ruang untuk mendokumentasikan isu-isu strategis serta merumuskan alternatif gerakan yang dapat memperkuat posisi organisasi akar rumput dalam menghadapi tantangan ekonomi-politik terkait industri hijau.
Beberapa isu krusial yang dibahas mencakup perubahan geopolitik dan geoekonomi serta dampaknya terhadap industrialisasi dan bagaimana seharusnya negara merespon perubahan tersebut, penguatan kontrol publik dalam pembangunan industri, serta eksplorasi ekonomi alternatif untuk pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Deputi Direktur PWYP Indonesia, Meliana Lumbantoruan, memfasilitasi sesi diskusi mengenai peran dan posisi strategis industrialisasi bagi bangsa, khususnya dalam konteks transisi energi global. Ia menyoroti bagaimana negara-negara di kawasan selatan didorong untuk tetap menjadi penyedia bahan baku mineral kritis dan tenaga kerja murah guna melayani kepentingan kapital global. Tekanan terhadap pasokan bahan baku strategis ini telah memperkuat gelombang ekstraktivisme dan melahirkan bentuk baru dari perampasan sumber daya alam berupa kolonialisme hijau.
Sebagai respons atas tekanan tersebut, sejumlah negara-negara selatan mulai melakukan kebijakan industrialisasi nasional seperti hilirisasi dan pemrosesan mineral di dalam negeri. Suatu upaya transformasi ekonomi untuk memutus ketergantungan struktural dan meningkatkan posisi mereka dalam rantai pasok global. Namun, implementasi kebijakan ini kerap kali dibarengi dengan penguatan kontrol negara yang otoriter, pembatasan partisipasi publik, dan pelanggengan akumulasi kapital segelintir elit.
Oleh karenanya, penting menempatkan isu transisi energi sebagai bagian dari agenda politik industri dan transformasi ekonomi yang lebih luas, khususnya di negara-negara selatan yang masih terjebak dalam ketergantungan ekonomi struktural.
Transisi energi tidak boleh direduksi menjadi persoalan teknologi atau iklim semata, melainkan juga dibaca sebagai arena pertarungan geopolitik dan perebutan arah pembangunan. Diskusi lintas gerakan tentang kebijakan industri dan politik agenda transisi yang adil merupakan langkah penting dalam merumuskan pemahaman dan posisi bersama untuk memperkuat perubahan sosial.