Jakarta, 1 Agustus 2025 – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia berpartisipasi dalam Asia Network for People’s Energy (ANPE) Learning Session on Social Accountability (SAcc) for Just Energy Transition, yang diselenggarakan bersama Oxfam Philippines. Kegiatan ini menjadi momentum penting untuk menegaskan bahwa transisi energi tidak boleh hanya dilihat sebagai agenda teknis dan finansial, tetapi juga harus berkeadilan, transparan, dan inklusif.

Dalam sesi ini, Kepala Divisi Riset dan Advokasi PWYP Indonesia, Mouna Wasef, menyampaikan pembaruan terkait Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Indonesia di bawah kerangka Just Energy Transition Partnership (JETP). CIPP pertama kali diluncurkan pada 21 November 2023, sebagai peta jalan strategis transisi energi Indonesia yang disepakati setelah kesepakatan JETP diumumkan pada KTT G20 Bali, 15 November 2022. Dokumen ini dirancang sebagai living document yang dapat diperbarui secara berkala berdasarkan masukan publik, termasuk melalui konsultasi yang dilakukan pada November 2023.

Meskipun memiliki tujuan ambisius, seperti mencapai puncak emisi sektor kelistrikan pada 2030, meningkatkan porsi energi terbarukan hingga 44 persen dalam bauran listrik, dan memperluas jaringan listrik untuk mendukung integrasi energi terbarukan, implementasi CIPP sejauh ini dinilai masih menghadapi hambatan serius.

Hingga awal 2025, hanya sekitar 1,2 miliar dolar Amerika dari total komitmen 20 miliar dolar yang berhasil disalurkan. Penarikan komitmen Amerika Serikat senilai 3 miliar dolar semakin menambah tantangan, meskipun Jerman dan Jepang tetap menunjukkan komitmennya. Sementara itu, terbitnya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 pada Juni 2025 justru menimbulkan kontradiksi baru karena memproyeksikan peningkatan 40 persen kapasitas pembangkit berbasis fosil hingga 2034.

Target energi terbarukan juga diturunkan menjadi 17 GW pada 2030, jauh di bawah target 24,3 GW yang ditetapkan dalam CIPP, sementara kapasitas gas ditingkatkan dua kali lipat dari batas yang dianjurkan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan energi nasional masih bertumpu pada fosil, sehingga berpotensi menghambat tercapainya transisi energi yang berkeadilan.

PWYP Indonesia menegaskan bahwa transisi energi tidak hanya berbicara mengenai aspek teknis dan finansial, melainkan juga harus menempatkan akuntabilitas sosial sebagai inti. Pemerintah, lembaga keuangan, dan perusahaan energi dituntut untuk bertanggung jawab terhadap publik melalui mekanisme yang transparan, partisipatif, dan bebas dari korupsi.

Prinsip kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI) harus terintegrasi di setiap tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan. Dengan demikian, transisi energi dapat benar-benar memberi manfaat yang adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama bagi kelompok rentan yang selama ini sering terpinggirkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan.

Patricia Nicdao dari Manawari Southeast Asia menegaskan bahwa keadilan sosial harus menjadi landasan dari setiap kerangka akuntabilitas dalam transisi energi. Empat dimensi keadilan, yakni pengakuan, prosedural, distribusional, dan remedial, harus diwujudkan secara nyata. Pengakuan berarti mengakui keberadaan kelompok rentan seperti perempuan, pemuda, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas dalam proses pengambilan keputusan.

Keadilan prosedural menuntut adanya proses yang transparan dan partisipatif. Keadilan distribusional mengharuskan manfaat maupun beban dari transisi energi didistribusikan secara adil, sementara keadilan remedial memastikan adanya kompensasi dan dukungan yang layak bagi mereka yang terdampak negatif.

Hasil riset juga mengungkapkan bahwa ruang partisipasi formal yang selama ini tersedia, seperti konsultasi dalam kerangka analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), sering kali terbatas dan tidak cukup inklusif. Kelompok masyarakat sipil masih menghadapi banyak hambatan, baik berupa keterbatasan kapasitas maupun risiko keamanan, hingga diskriminasi berbasis gender dan status sosial.

Perempuan, misalnya, kerap tidak dianggap sebagai pengambil keputusan dalam keluarga maupun komunitas, sehingga suara mereka kurang diperhitungkan dalam forum formal. Pemuda menghadapi tantangan dalam mempertahankan keterlibatan jangka panjang, sementara masyarakat adat seringkali terpinggirkan akibat ketidaksesuaian antara hukum adat dengan sistem hukum formal yang berlaku. Selain itu, akses terhadap data dan informasi terkait proyek transisi energi juga masih terbatas.

Di Indonesia maupun di negara Asia Tenggara lainnya, permintaan informasi publik sering ditolak dengan alasan kerahasiaan, tanpa mekanisme banding yang jelas.
Temuan ini menegaskan bahwa transisi energi berkeadilan membutuhkan pendekatan yang lebih strategis dan partisipatif. Pemerintah diharapkan memperkuat mekanisme akuntabilitas vertikal, horizontal, dan diagonal di setiap level tata kelola, serta menjamin hak masyarakat atas informasi publik.

Lembaga keuangan dan perusahaan energi didorong untuk melampaui prinsip do no harm menuju do good, dengan menghormati keputusan komunitas termasuk hak untuk menolak proyek, serta menyediakan mekanisme pengaduan dan pemulihan yang dapat diakses secara adil. Sementara itu, organisasi masyarakat sipil perlu terus memanfaatkan ruang formal yang tersedia, sekaligus menciptakan ruang-ruang baru untuk memperluas partisipasi, memperkuat kapasitas komunitas, dan memastikan advokasi yang benar-benar transformatif dari perspektif gender.

Privacy Preference Center

Skip to content