Upaya untuk mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan upaya pemberantasan korupsi melalui mekanisme PEP (Politically Exposed Person), secara umum masih menemui banyak tantangan. Salah satunya terletak pada aspek regulasi.

Cari Votava, Senior Financial Sector Specialist, World Bank menyoroti persoalan regulasi politically exposed person. Menurutnya, banyak negara masih belum memiliki kerangka definisi yang jelas. Setiap negara pada dasarnya perlu untuk merumuskan definisi PEP nya sendiri, dengan mempertimbangkan persoalan-persoalan khas yang dihadapi serta karakteristik strukural masing-masing negara. Hal ini disampaikan dalam sesi diskusi “Political Exposed Person dan Deklarasi Aset” sebagai bagian dari agenda Global Conference on Beneficial Ownership Transparency, 24/10 lalu.

“Definisi yang jelas, obyektif dan sesuai dengan konteks lokal menjadi hal yang penting, karena berpengaruh dalam efektivitas implementasi yang baik,” imbuh Cari Votava. Definisi yang jelas di sisi lain nantinya diperlukan juga untuk meminimalisir penghindaran suatu pihak sebagai bagian dari PEP, padahal dia jelas masuk dalam kategorisasi tersebut.

Secara spesifik, Indonesia sebenarnya telah memiliki kerangka regulasi yang baik dan jelas. Regulasi mengenai PEP di Indonesia misalnya dapat dilihat pada peraturan Bank Indonesia Nomor: 12/20/PBI/2010. Lebih lanjut pada aturan Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: Per-02/ 1.02/ PPATK/ 02/ 15. Indonesia telah mendefinisikan secara rinci mengenai kriteria-kriteria dan siapa yang termasuk dalam PEP.

Regulasi ini juga cukup komprehensif karena mengatur pula perihal pihak lain yang terkait dengan pejabat yang masuk dalam PEP. Definisi yang ada telah dipertimbangkan secara detail dengan harapan dapat menyasar secara tegas pihak yang dituju (misal dari keluarga, kerabat, dsb.) Hal ini dikarenakan pada praktiknya melakukan hubungan bisnis dengan keluarga atau relasi dekat PEP sama beresikonya dengan melakukan hubungan bisnis langsung dengan PEP itu sendiri. Ini menyebabkan relasi dan kerabat dekat pada akhirnya masuk juga dalam daftar tersebut. PEP diharapkan menjadi bagian instrumen yang dapat digunakan mencegah resiko-resiko negarif yang terjadi apabila institusi keuangan menjalin kontak dengan pihak yang masuk dalam daftar PEP.

Di lain sisi, definisi mengenai PEP dirasa masih kabur dalam aspek tertentu, misalnya berkaitan dengan kategorisasi pejabat berpengaruh atau tidak. Karena seringkali dalam praktiknya pejabat yang sudah tidak menduduki jabatannya masih memiliki pengaruh yang kuat dalam kurun waktu tertentu. Terkait dengan hal ini, Ghazaal Habibyar, Deputi Menteri Tambang dan Perminyakan Afghanistan memberikan contoh kasus di negaranya.

“Afghanistan menghadapi persoalan semacam itu. Sebenarnya rentang waktu pengaruh telah diatur dalam undang-undang, namun rentang waktu yang ditetapkan hanya dua tahun setelah pejabat menjabat. Itu terlalu sebentar” ujarnya. Kondisi ini akibatnya memunculkan masalah tersendiri karena jajaran dewan direksi pertambangan disana kemudian diisi oleh mantan-mantan pejabat tinggi yang masih berpengaruh agar dapat mempengaruhi proses kontrak.

Persoalan Politically Exposed Person tidak hanya terjadi pada ranah regulasi namun juga pada ranah implementasi. Masalah pokok menyasar pada efektivitas implementasi dan penegakan hukum yang masih belum berjalan dengan baik, dan ini terjadi di banyak negara. “Lemahnya tata kelola dari lembaga dalam menjalankan regulasi menyebabkan implementasi tidak dapat optimal” ungkap Tetiana Shevchuk, Anti-Corruption Action Center, Ukraine.

Menanggapi persoalan ini, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah menyampaikan bahwa pemerintah perlu menjamin efektivitas implementasi Politically Exposed Person, sehingga transparansi dan keterbukaan dapat terwujud. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan karena adanya double power dimana pejabat memiliki kewenangan dalam ranah politik dan ekonomi. [AP]