Kasus korupsi ini menjadi tantangan bagi Kejagung untuk mengungkap kasus ini sampai ke akar-akarnya. Juga menjadi tantangan bagi Prabowo-Gibran.
***
Penyidikan dugaan kasus korupsi minyak PT Pertamina oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terus berproses. Terbaru, sebanyak enam orang diperiksa sebagai saksi, sebagai lanjutan pengungkapan dugaan kasus korupsi tersebut. Enam orang tersebut adalah direktur utama PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Persero, Manager Market Research & Data Analysis PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), General Manager PT KPI Refinery Unit Balikpapan, General Manager PT KPI Balongan, General Manager PT KPI Cilacap dan Vice President Process and Facility PT KPI.
Pemeriksaan itu diungkapkan Kejagung melalui rilis yang disampaikan 15 April 2025. Mereka diperiksa sebagai saksi dalam rangka memperkuat pembuktian dan kelengkapan pemberkasan kasus tersebut.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan sembilan orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina, Sub Holding dan kontraktor kontrak kerja sama ini ini. Mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga (PPN) Riva Siahaan (RS), Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin (SDS), Direktur PT Pertamina International Shipping (PIS) Yoki Firnandi (YK) dan Vice President Feedstock Management PT KPI Agus Purwono (AP).
Tersangka lainnya adalah Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR), Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati (DW), dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede (GRJ).
Dua orang terakhir yang ditetapkan dari sembilan tersangka tersebut merupakan pejabat di PT PPN; Direktur Pemasaran Pusat dan Tata Niaga Maya Kusmaya (MK) dan VP Trading Operation Edward Corne (EC).
Modus operandi kasus ini, menurut Kejagung, yakni melakukan pengondisian untuk melakukan impor minyak mentah maupun produk kilang melalui rapat optimasi hilir (OH), dengan penolakan minyak mentah dalam negeri. Kemudian pengadaan impor minyak dengan pengondisian memenangkan Daftar Mitra Usaha Terseleksi (DMUT)/broker minyak dan terjadi mark up kontrak pengiriman minyak impor dengan tambahan fee sebesar 13-15 persen. Lalu harga impor ditetapkan tinggi lewat persekongkolan dan minyak impor dengan RON 90 diolah di depo menjadi RON 92. Perbuatan para tersangka ini juga menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dijual ke masyarakat, sehingga pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi lebih tinggi melalui APBN.
Dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina dilakukan selama periode 2018-2023. Menurut Kejagung, kerugian negara atas korupsi ini mencapai Rp 193,7 triliun, yang bersumber dari; kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 135 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/broker sekitar Rp 2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui DMUT sekitar Rp 9 triliun, kerugian pemberian kompensasi tahun 2023 sebesar Rp 126 triliun dan kerugian pemberian subsidi tahun 2023 sebesar Rp 21 triliun.
Semakin ke sini, dorongan atau tuntutan kepada Kejagung terhadap kasus ini semakin besar, untuk mengungkap kasus ini sampai ke akar-akarnya. Kejagung harus memastikan seberapa besar dan kemana aliran dana hasil dugaan mark up maupun potensi kick back ini mengalir. Jangan sampai terkesan nilai korupsi fantastis, tetapi tidak bisa ditelusuri kemana aliran dananya mengalir.
Secara bersamaan, terungkapnya kasus ini harus menjadi momentum untuk melakukan pembenahan tata kelola migas di Indonesia di sepanjang rantai supply chain migas, termasuk aspek tata niaganya. Pemerintah harus melakukan upaya pembenahan tata kelola migas, termasuk tata niaga-nya secara sistematis dan integral.
Susahnya Melawan Mafia
Pengungkapan dugaan kasus korupsi dalam tata kelola minyak PT Pertamina oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) ini sesungguhnya menjadi bukti, bahwa sektor migas Indonesia masih tak lepas dari bayang-bayang ‘lingkaran setan’ korupsi. Artinya, pemberantasan terhadap mafia migas selama ini tak pernah serius dilakukan. Padahal pemberantasan mafia ini selalu menjadi janji politik di Pemilu 2014 hingga Pemilu 2019.
Upaya pemberantasan mafia pernah dilakukan di sektor migas, dengan pembubaran Pertamina Energy Trading Limited (Petral) —anak perusahaan PT Pertamina. Pembubaran itu, berdasarkan instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun pembubaran ini seakan menguap begitu saja tanpa ada perbaikan yang jelas. Pembubaran itu membangun optimistis pemberantasan mafia dan sebagai political will pemerintah kala itu. Nyatanya, tak memberikan hasil signifikan pemberantasan mafia.
Sudirman Said yang menjabat sebagai menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ketika Petral dibubarkan itu, mengakui, pembubaran Petral dalam rangka memberantas mafia itu prosesnya tidak tuntas. Setelah pembubaran Petral, pembenahan tak sepenuhnya dilakukan pemerintah dalam tata kelola yang berkaitan dengan ruang lingkup kerja Petral dan juga di lingkungan PT Pertamina.
Terungkapnya kasus korupsi tata kelola minyak ini menunjukkan bahwa pengendalian internal lingkungan di tubuh Pertamina masih buruk. Padahal berbagai upaya pembenahan telah dilakukan. Mulai dari dibentuknya Tim Reformasi Tata Kelola Migas oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di masa awal pemerintahan Jokowi, dengan gebrakannya membubarkan Petral.
Meski begitu, melawan mafia sektor migas bukan hal gampang bagi pemerintah. Ada pemain tertentu yang dominan dalam pengadaan minyak, dalam konteks pembubaran Petral ketika itu. Itulah yang menjadi salah satu faktor pembubaran Petral ketika itu tidak diikuti dengan perbaikan mendasar dalam sistem tata kelola migas Indonesia, khususnya di Pertamina.
Pengungkapan kasus ini harus menjadi momentum perbaikan tata kelola sektor migas, termasuk tata kelola dalam Pertamina. Mafia memang akan selalu ada yang melahirkan sistem usaha yang tidak adil —tidak berkompetisi secara sehat. Ini juga menjadi tantangan bukan hanya bagi penegak hukum —dalam hal ini Kejagung, namun juga menjadi tantangan bagi kepemimpinan Prabowo-Gibran.
Terwujudnya tata kelola migas yang sehat, termasuk pemberantasan mafia di sektor ini bukan hanya tantangan penegak hukum, melainkan juga komitmen politik kepala negara.
Skeptisisme Nilai Kerugian Negara
Ketika pengungkapan kasus ini diumumkan ke publik, langsung melahirkan polemik; baik modus yang dilakukan hingga jumlah kerugian negara yang fantastis. Yang angkanya mencapai Rp 193,7 triliun. Namun, jumlah kerugian negara tersebut tampak tak meyakinkan.
Ada sejumlah pertanyaan yang muncul dari penetapan kerugian negara tersebut. Misalnya, apakah kerugian negara berdasarkan asumsi Kejagung sudah melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)? Karena lembaga negara ini memiliki hak konstitusional dalam menetapkan kerugian negara. Sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan
Seharusnya, perhitungan kerugian negara dalam kasus korupsi ini melibatkan BPK sejak awal, sebelum potensi kerugian negara hasil penyelidikan dan penyidikan Kejagung. Ini penting, agar jumlah kerugian negara yang disampaikan ke publik benar-benar meyakinkan.
Meski harus diakui, pembuktian kerugian negara menjadi ranah persidangan di pengadilan. Pun lembaga yang berhak menetapkan kerugian negara adalah BPK. Dengan begitu, hasil pengungkapan kerugian negara oleh Kejagung tersebut dapat dibuktikan secara hukum. Hasil persidangan juga yang nantinya menjadi tolak ukur kualitas penyelidikan dan penyidikan Kejagung.
Momentum Perbaikan dan Asta Cita
Walaupun ada keraguan terkait besaran kerugian negara, namun pengungkapan kasus korupsi ini harus menjadi dorongan pemerintah dan Pertamina untuk melakukan perbaikan tata kelola. Jangan sampai, pengungkapan ini hanya berlalu begitu saja tanpa perbaikan.
Oleh karenanya, kasus korupsi ini menjadi tantangan bagi Kejagung untuk mengungkap kasus ini sampai ke akar-akarnya. Juga menjadi tantangan bagi pemerintah Prabowo-Gibran dalam konteks perbaikan tata kelola.
Perbaikan tata kelola migas menjadi salah satu fokus pemerintah Prabowo-Gibran sebagaimana tertuang dalam Asta Cita. Hal itu menjadi bagian dari program prioritas swasembada energi.
Terkait perbaikan tata kelola, menjadi bagian dalam salah satu strategi mewujudkan swasembada, yakni mengembalikan tata kelola migas sesuai amanat konstitusi, terutama Pasal 33 UUD 1945. Pun pemberantasan korupsi juga menjadi bagian prioritas dalam Asta Cita, diantaranya memperkuat gerakan pemberantasan korupsi secara lebih sistematis dengan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan dan kehakiman.
Hal itu juga ditegaskan dalam agenda reformasi hukum Prabowo-Gibran; memberikan prioritas pemberantasan korupsi pada sektor yang punya korelasi dengan peningkatan hajat hidup orang banyak dan perlindungan sumber daya publik, seperti pertanian, pedesaan, perikanan, pendidikan, kesehatan, kehutanan, SDA, dan perburuhan.
Komitmen penegakkan hukum dan komitmen politik pemerintah mendorong perbaikan tata kelola migas dari pengungkapan kasus korupsi minyak Pertamina ini, dapat menjadi cermin akan komitmen Prabowo-Gibran terhadap isi Asta Cita tersebut.
—
Terbit juga di Indonesiana.id