Pendahuluan

Sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) di Indonesia berkontribusi besar terhadap deforestasi dan degradasi lahan, mengancam ekosistem dan masyarakat. Menurut TreeMap (2024), aktivitas pertambangan—termasuk tambang terbuka, fasilitas pengolahan, dan jalan—telah menghilangkan 721.000 hektar hutan antara 2001–2023, dengan 150.000 hektar hutan primer berkarbon tinggi yang hilang. Provinsi Kalimantan Timur, yang menyimpan 38% cadangan batubara Indonesia, 1,5 juta hektar konsesi tambang-nya tumpang tindih dengan 29% ekosistem hutan, termasuk 55.561 hektar hutan primer (AEER, 2025).

Hal tersebut juga tak luput terjadi di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN). Menurut catatan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanggulangan Aktivitas Pertambangan Ilegal di Wilayah IKN (2023), dari sekitar 250.000 hektar wilayah IKN, terdapat tambang yg didominasi oleh batubara dengan total luasan bukaan tambang seluas 17.929,58 Ha, dimana 3.794,6 Ha diantaranya teridentifikasi sebagai tambang ilegal. Tidak hanya batubara, tambang yang ditemukan lainnya meliputi pasir kuarsa, batuan bahkan galian tanah. Padahal Pemerintah berencana mengembalikan 65 persen kawasan IKN menjadi hutan hujan tropis dan menjadikan IKN sebagai forest city serta bebas karbon pada 2045, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpes) 64 tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional IKN.

Upaya perbaikan tata kelola sektor pertambangan telah dilakukan dalam satu dekade terakhir. PWYP Indonesia misalnya, pada kurun waktu 2014 s.d 2019 melalui Program Perbaikan Tata Kelola Ekstraktif Berbasis Lahan dan Hutan bekerjasama dengan Program SETAPAK-II The Asia Foundation (TAF) atas dukungan UKAID melalui UK Climate Change Unit (UKCCU) berkolaborasi dengan sejumlah pemangku kepentingan, baik Masyarakat sipil dan Pemerintah menghasilkan sejumlah capaian diantaranya : Berkurangnya jumlah izin usaha pertambangan (IUP) Non Clean and Clear (CnC); Adanya penangguhan keaktifan perusahaan atau pemblokiran status IUP Non CNC (sekitar 2509 IUP Non-CNC); Naiknya penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batubara; Adanya penyempurnaan sistem pembayaran penerimaan negara yang lebih terintegrasi; Adanya peta masalah dalam kebijakan dan pelaksanaan reklamasi dan pascatambang dll. Namun demikian, sektor Pertambangan Minerba merupakan masih menjadi salah satu sektor yang berkontribusi terhadap deforestasi di Indonesia.

Upaya perbaikan juga dilakukan Pemerintah melalui Aksi Satu Peta dalam Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) 2023-2024, dimana masih ditemukan indikasi kegiatan tambang tanpa perizinan di bidang kehutanan seluas 370.410 ha, yang dikontribusikan lebih dari 500 perusahaan. Stranas PK sendiri saat ini berupaya menyelesaikan persoalan ini dengan menggunakan menggunakan mekanisme Undang-Undang (UU) Cipta Kerja Pasal 110B. Mekanisme detail dendanya menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, serta Peraturan Menteri LHK Nomor 7 tahun 2021.

Di satu sisi, partisipasi publik dalam perencanaan, pembahasan, dan pengambilan keputusan regulasi dan kebijakan terkait transisi energi di sektor batubara masih lemah. Juga dalam hal pemantauan perizinan, pengawasan dan penegakan hukum perizinan sektor pertambangan, baik di tingkat nasional maupun daerah, termasuk di wilayah IKN.
Minimnya partisipasi publik juga diiringi dengan minimnya pemahaman masyarakat sipil mengawal perbaikan tata kelola di sektor pertambangan, khususnya pasca berakhirnya Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) di tahun 2018, disah-kannya Undang-Undang (UU) Minerba dan UU Cipta Kerja (CK), dimana tidak banyak kelompok masyarakat sipil, baik di tingkat nasional maupun daerah yang mengawal sektor pertambangan minerba. Apalagi jika dikaitkan dengan IKN, yang benar-benar sangat terbatas aksesnya.

Publish What You Pay (PWYP) atas dukungan dari The Asia Foundation (TAF) melalui program “Selamatkan Hutan dan Lahan dan melalui Perbaikan Tata Kelola” (SETAPAK) tahap 4, menjalankan sejumlah kegiatan yang bertujuan untuk memperkuat tata kelola dan penegakan hukum di sektor pertambangan mineral dan batubara berbasis lahan dan hutan di Indonesia.

Tujuan Program

  • Memperkuat transparansi dan akuntabilitas sektor pertambangan minerba
  • Dikuatkannya penegakan hukum di sektor pertambangan minerba
  • Mencegah kerugian negara di sektor pertambangan minerba

Kegiatan

  • Menyusun policy brief terkait regulasi dan kebijakan sektor pertambangan minerba yang mengintegrasikan perspektif GEDSI
  • Melaksanakan serangkaian diskusi kelompok terpumpun (FGD) dan lokakarya
  • Memfasilitasi forum multi stakeholder untuk membahas dan menyebarluaskan rekomendasi kebijakan

Kampanye publik

  • ⁠Menyelenggarakan pelatihan dan lokakarya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan CSO dalam memahami tata kelola pertambangan minerba, melaporkan pelanggaran, dan menyusun temuan investigasi.
  • Mengadakan forum multi stakeholder, diskusi publik, dan kampanye media untuk mendorong penegakan hukum, kepatuhan kebijakan, dan kesadaran di sektor pertambangan.
  • ⁠Mendukung pemantauan berbasis masyarakat, investigasi, dan pendampingan hukum untuk memastikan tindak lanjut laporan pelanggaran tambang.

Privacy Preference Center

Skip to content