I. Pengantar

Program Akuntabilitas Sosial Sektor Pertambangan merupakan program yang dilaksanakan oleh Yayasan Transparasi Sumberdaya Ekstraktif-PWYP Indonesia atas kerja sama dan dukungan dari Global Partnership for Social Accountability (GPSA) – Bank Dunia, untuk mendorong mekanisme akuntabilitas sosial kolaboratif, khususnya pada aspek perizinan dan manajemen pendapatan sektor pertambangan mineral dan batubara (Minerba) di Indonesia. Program ini dilaksanakan di 3 (tiga) provinsi (Aceh, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara) dengan masing-masing 1 (satu) Kabupaten penghasil sebagai wilayah dampingan dari komunitas sekitar operasi pertambangan. Program ini memiliki 3 (tiga) organisasi mitra di tingkat Provinsi (Gerak Aceh, Pokja-30 Kaltim, Lepmil Sultra), dan 3 (tiga) mitra di tingkat nasional (Aspac Polgov UGM, FITRA, dan Awrago). Durasi program dimulai pada November 2020, sampai dengan 31 Maret 2022. Program akuntabilitas sosial sektor pertambangan ini bermitra dengan Pemerintah Provinsi di ketiga wilayah, serta dengan Pemerintah Pusat, khususnya Sekretariat EITI (Kementerian ESDM RI). Program GPSA PWYP Indonesia ini bertujuan untuk meningkatkan perbaikan tata kelola sektor pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.

Mekanisme umpan balik dan penanganan keluhan program GPSA PWYP Indonesia adalah sistem dan sumber daya yang dibentuk oleh program GPSA PWYP Indonesia, yang dikhususkan untuk menerima dan menjawab berbagai hal terkait pelaksanaan dan adanya potensi dampak dari adanya sebuah kebijakan, program dan implementasi yang dilakukan oleh pemangku kepentingan eksternal melalui program GPSA. Dalam hal ini implementasi program khususnya adalah usaha penegakan dan kepatuhan terhadap jaring pengamanan sosial dan lingkungan (safeguard) yang dibentuk dan disusun oleh tim focal point bersama dengan sekretariat nasional PWYP Indonesia.

Input yang diberikan oleh pemangku kepentingan sendiri dapat berbentuk keluhan, komplen, atau respon (feedback). Selain itu mekanisme umpan balik dan penanganan keluhan ditujukan untuk dapat diakses oleh pekerja program GPSA dan juga pihak pemangku kepentingan yang terdampak oleh adanya program GPSA itu sendiri. Proses penyelesaian keluhan, komplen dan respon yang nantinya disampaikan melalui mekanisme umpan balik dan penanganan keluhan tersebut juga harus bersifat kolaboratif, diselesaikan melalui dialog dan dilakukan melalui proses pencarian fakta secara bersama-sama dengan menghormati hak-hak setiap individu (termasuk hak privasi). Mekanisme umpan balik dan penanganan keluhan ini mengedepankan aspek pencegahan, dialog dan penyelesaian masalah secara proaktif dan konstruktif. Mekanisme ini dibentuk dan ditujukan untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan program dan dampaknya, dan bukan ditujukan untuk menyelesaikan masalah atas keluhan akibat dari kebijakan dan kegiatan di sektor pertambangan serta dampaknya terhadap pemangku kepentingan, baik di tingkat komunitas, kabupaten, provinsi maupun nasional.

II. Cakupan

Cakupan mekanisme dan sistem penanganan keluhan terdiri atas keluhan yang bersifat umum, dan keluhan yang bersifat khusus (misalnya berkaitan dengan tindak kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi gender dan kelompok sosial, dll).

Contoh keluhan yang bersifat umum, antara lain namun tidak terbatas pada:

  • Keluhan yang terkait dengan pelaksanaan standar sosial sebagaimana dinyatakan dalam rencana komitmen sosial dan lingkungan (Environmental and Social Commitment Plans-ESCP), misalnya berkaitan dengan ketenagakerjaan, keterbukaan informasi, relasi dan keterlibatan pemangku kepentingan, inklusi sosial, perlindungan terhadap anak-perempuan dan kelompok minoritas, dan lain sebagainya.
  • Keluhan yang terkait dengan pelaksanaan standar lingkungan hidup sebagaimana dinyatakan dalam rencana komitmen sosial dan lingkungan (Environmental and Social Commitment Plans-ESCP), misalnya berkaitan dengan keamanan dan keselamatan kerja, perlindungan dan pencegahan dari penularan penyakit, perlindungan dan pencegahan atas resiko lingkungan, keamanan perjalanan dan aktifitas, kesehatan ibu dan anak serta kelompok rentan, dan lain sebagainya.

Contoh keluhan yang bersifat khusus, antara lain namun tidak terbatas pada:

  • Bentuk-bentuk keluhan yang berkaitan dengan pelanggaran yang kasuistik, misalnya berkaitan dengan bentuk pelecehan seksual (sentuhan yang tidak diinginkan dan mengarah ke perbuatan seksual, ucapan verbal/komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi serta bagian tubuh dan penampilan seseorang, non-verbal/isyarat yaitu bahasa tubuh atau gerakan tubuh bernada seksual, pelecehan visual memperlihatkan materi pornografi berupa foto-poster-gambar dan sebagainya, pelecehan psikologis/emosional yaitu permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang tidak diinginkan, dll).
  • Bentuk-bentuk keluhan lain yang bersifat khusus, menyangkut individual dan membutuhkan penangan secara persoanal/privat.

III. Prosedur Penanganan Pengaduan dan Keluhan Umum

1. Tahap Melakukan Pengaduan Keluhan

sekretariat@pwypindonesia.org / 021 9069727

2. Tahap Pencatatan

Setiap keluhan dan kekhawatiran akan dicatat dan didokumentasikan dalam database program.

3. Tahap Penanganan Solusi

Keluhan dan keprihatinan akan ditanggapi dan solusi akan dicari sejauh mungkin secara teknis. Tindakan tambahan seperti penyampaian pandangan dapat disampaikan melalui dialog langsung, mediasi, dan bentuk2 penyelesaian secara kolaboratif dan konstruktif.

 

*Penyelesaian keluhan akan dipantau selama (1 minggu)

4. Tahap komunikasi keputusan dan kemajuan resolusi

Dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan terkait, termasuk pihak yang dirugikan dengan langkah-langkah untuk melindungi kerahasiaan dan privasi serta data personal/individu.

 

*Maks 14 hari

IV. Prosedur Penanganan Pengaduan dan Keluhan Khusus

1. Tahap Pengaduan

  • Aduan secara tertulis kepada petugas penanganan pengaduan
  • Dasar aduan: Sikap/Pernyataan/Perlakuan yang tidak menyenangkan dan merendahkan korban
  • Dapat diadukan melalui perwakilannya

2. Tahap Penanganan Formal

  • Aduan ditangani dengan segera, serius, simpatik, prosedural dan adil
  • Penjelasan prosedur penanganan kepada pemberi aduan
  • Prinsip adil terhadap aduan pelecehan seksual dalam menyatakan kesaksian mereka
  • Dapat didiskusikan dengan kontak person, manajer atau perwakilan dengan prinsip kerahasiaan dan perlindungan pada pembuat aduan atau korban

3. Tahap Penyelidikan Aduan

  • Penyelidik aduan harus berpengalaman, adil, berintegritas, dan independen.
  • Ditunjuk oleh Koordinator PWYP Indonesia
  • Didampingi dan dibantu oleh perempuan lain jika penyidik laki-laki dan pembuat aduan perempuan
  • Penyelidik akan melakukan wawancara pihak terkait
  • Pencatatan hasil penyelidikan

4. Tahap Pembuatan Laporan dan Rekomendasi

  • Diserahkan kepada Koordinator PWYP Indonesia dan fokus pada:
    • Tuduhan yang diadukan
    • Menunjukan terjadinya pelecehan seksual
    • Rekomendasi mengenai keputusan atas kasus yang terjadi

5. Tahap Pembuatan Keputusan

 

Tahap pembuatan keputusan, sebelum sebuah keputusan atau sanksi diterapkan kepada pelaku, akan lebih baik jika keputusan didiskusikan terlebih dahulu dengan kelompok yang terlibat. Proses pengambilan keputusan dibuat berdasarkan:

  • Bukti terbaik yang dapat diperoleh
  • Bukti dari fakta yang mirip atau serupa pada kasus-kasus sebelumnya
  • Kredibilitas dari kedua aktor: pelaku dan pemberi aduan

 

Terdapat 3 kemungkinan keputusan dari sebuah keluhan:

    • Keluhan diterima
    • Keluhan ditolak
    • Keluhan tidak ditindaklanjuti

6. Tahap Pasca Penanganan

 

Situasi dan kondisi setelah keluhan dilakukan wajib mendapatkan perhatian baik terhadap pelapor maupun pelaku. Dengan demikiran dapat dipastikan bahwa proses pengaduan keluhan dan mekanisme investigasi sampai dengan pengambilan keputusan dilakukan secara adil dan sesuai prosedur, sehingga setiap yang terlibat tidak berkurang tingkat kepercayaannya.


Bagikan