Jakarta – Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Periode 2024-2029, khususnya Komisi XII, untuk serius membenahi tata kelola sektor energi, lingkungan dan sumber daya alam (SDA). Pasca disahkannya Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang baru, Komisi XII kini memiliki tanggung jawab besar untuk merespons tantangan utama di sektor energi dan sumber daya mineral, lingkungan hidup dan investasi menjadi ruang lingkup Komisi XII.
Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mengingatkan anggota Komisi XII untuk mengoptimalkan kinerja melalui fungsi legislasi, pengawasan dan budgeting yang dimilikinya.
PWYP Indonesia menilai kinerja DPR periode kemarin masih jauh dari kata memuaskan, khususnya yang mengawal sektor energi, lingkungan hidup dan SDA. Oleh karena itu, DPR periode saat ini tak boleh mengulangi kesalahan yang sama. Fungsi-fungsi DPR harus maksimal dijalankan dan berani membuat terobosan. “DPR harus bisa menjawab ekspektasi publik untuk tidak sekedar menjadi stempel Pemerintah semata,” ujarnya
Komisi XII harus bisa memastikan Pemerintah mampu menjawab tantangan krisis iklim, percepatan transisi energi berkeadilan, kerusakan lahan dan hutan, maupun mendorong investasi hijau atau pertumbuhan ekonomi yang tidak bergantung dari sektor ekstraktif.
Arif Adiputro, peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC), menekankan Komisi XII harus memastikan bahwa aspek transparansi dan partisipasi terimplementasi dengan baik sesuai dengan prinsip Open Parliament yang tertuang dalam rencana aksi nasional DPR.
“Sebelumnya, dalam pembahasan legislasi masih ada rapat tertutup. Padahal, telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Keterbukaan Informasi Publik (KIP) maupun di peraturan teknis dalam tata tertib DPR, bahwa rapat yang tidak berhubungan dengan strategi pertahanan negara harusnya terbuka untuk publik,” kata Arif.
Ke depannya, Arif mengingatkan agar pembahasan rancangan undang-undang dilakukan secara terbuka. Termasuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan bidang Komisi XII. “Seperti Rancangan Undang-Undangan (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) maupun yang berkaitan dengan keadilan iklim. DPR harus benar-benar membuka pembahasan. Kemudian mengenai partisipasi, tingkat terserapnya aspirasi masyarakat masih minim. Untuk itu DPR melalui Komisi XII agar benar-benar mengedepankan ‘meaningful participation’ dalam semua fungsi yang ada di DPR,” katanya.
Terkait fungsi legislasi, lanjut Arif, saat ini, banyak target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) terkait energi dan SDA yang belum terselesaikan. Seperti RUU Minyak dan Gas Bumi (Migas) dan RUU EBET. “RUU ini sangat urgent dalam menghadapi perubahan iklim dan kebutuhan akan transisi energi yang berkeadilan. Namun, draft saat ini masih jauh dari mencerminkan semangat tersebut. Masih banyak ‘solusi palsu’ seperti penggunaan Nuklir dan Carbon Capture and Storage (CCS/CCUS) yang muncul dalam RUU EBET,” ungkapnya.
Syaharani, Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menekankan tugas besar Komisi XII adalah meninjau kembali secara menyeluruh substansi RUU EBET agar sejalan dengan semangat transisi energi berkeadilan.
“Saat ini, terkesan power wheeling menjadi isu sentral dari RUU EBET yang belum terselesaikan. Padahal, problematika RUU EBET jauh lebih luas. Mulai dari pemberian insentif bagi energi yang berisiko tinggi dan padat karbon seperti nuklir, gasifikasi batubara, batubara tercairkan, hingga absennya pembahasan soal upaya transisi energi yang berkeadilan dalam rancangan regulasi tersebut,” katanya.
Masyarakat sipil juga mengingatkan masih lemahnya fungsi pengawasan DPR yang berdampak pada sektor strategis ini. DPR harus lebih aktif dalam menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Komisi XII perlu untuk meninjau ulang persetujuan yang diberikan kepada Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang diberikan oleh Komisi VII periode lalu, sebagai bagian dari fungsi pengawasan.
“Revisi PP KEN yang diajukan tidak seharusnya disetujui. Rancangan regulasi tersebut justru menurunkan target bauran energi terbarukan dibandingkan dalam PP Nomor 79 Tahun 2014, hanya menjadi 19-22% pada 2030. Di saat yang sam, proyeksi pemanfaatan gas justru meningkat. Kebijakan ini bertentangan dengan rekomendasi global stocktake yang menegaskan percepatan pengembangan energi terbarukan hingga tiga kali lipat jika ingin selamat dari bencana iklim”, pungkas Syaharani.
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan juga yaitu mengenai aspek penegakan hukum di sektor energi dan lingkungan. Regulasi yang ambisius tanpa pengawasan dan penegakan hukum yang kuat hanya akan menjadi wacana belaka.
“Pengawasan terhadap penegakan hukum menjadi penting. Penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi, penyelesaian Pertambangan Tanpa Izin (PETI), dan perlindungan lingkungan adalah hal yang tak bisa ditunda lagi,” ujarnya.
Narahubung:
- Aryanto Nugroho: aryanto@pwypindonesia.org
- Arif Adiputro: arif.adiputro@gmail.com
- Syaharani: syaharani@icel.or.id