1 November 2022.

Hak asasi manusia dan kelingkunganan harus dilindungi di tengah perebutan ekstraksi mineral yang digunakan pada teknologi energi bersih, terdapat lebih dari 230 kelompok organisasi masyarakat sipil dari 62 negara bersuara untuk mengadvokasi pemimpin yang menghadiri KTT iklim COP 27 PBB di Mesir di sebuah pernyataan yang diterbitkan hari ini.

Organisasi yang bertanda tangan bekerja di berbagai bidang, mulai dari lingkungan, hak asasi manusia, dan anti korupsi, serta banyak dari mereka mewakili kelompok marginal seperti komunitas lokal, perempuan, juga anak muda.

Jean-Claude Katende, selaku Koordinator Nasional Publish What You Pay Republik Demokratik Kongo, menyatakan “Dunia sangat membutuhkan dekarbonisasi. Tetapi mengekstraksi mineral transisi – seperti kobalt, litium, nikel, dan tembaga – yang diperlukan untuk membangun teknologi energi yang lebih bersih untuk mengakhiri ketergantungan bahan bakar fosil kita, jangan malah merusak planet ini lebih jauh, atau mendiskriminasi hak-hak orang-orang yang paling rentan.”

“Beberapa pertambangan memang dibutuhkan untuk membangun energi terbarukan yang kita perlu. Namun kita hanya akan memperburuk isu tambang yang ada selama puluhan tahun, apabila kita tidak mengedepankan masyarakat, terutama komunitas lokal yang akan terdampak oleh aktivitas ekstraksi, di tengah transisi energi. Disaat kita bertransisi dengan sumber daya yang terbatas untuk yang lain, kita harus mengakhiri kesalahan masa lalu.”

Kelompok-kelompok tersebut mendorong para pemimpin global yang berkumpul di COP27 untuk memulai perubahan nyata dalam cara mineral diekstraksi, digunakan, dan juga untuk mencari solusi yang akan mengurangi ketergantungan pada pertambangan. Cara yang dapat dicapai antara lain adalah dengan memastikan bahwa masyarakat yang terkena dampak pertambangan diajak berkonsultasi dan berpartisipasi dalam setiap keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka, bahwa mereka memiliki hak untuk menahan persetujuan mereka untuk pertambangan, dan bahwa mineral hanya diekstraksi di bawah standar internasional HAM dan lingkungan yang paling ketat.

Diestimasikan produksi mineral seperti kobalt, litium, nikel, dan tembaga akan naik enam kali lipat untuk memproduksi, mengangkut, menyimpan dan menggunakan listrik yang dihasilkan oleh sumber yang lebih bersih seperti angin dan matahari.

Riset menunjukan bahwa perempuan, masyarakat adat dan para pembela lingkungan dirugikan secara tidak proporsional karena pertambangan. Komunitas lokal sering tidak libatkan dalam proses pengambilan keputusan dan mendapatkan sedikit manfaat ekonomi dari industri ekstraktif. Sektor ini juga merusak lingkungan dan berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim.

Persaingan yang sengit, tuntutan dan mengejar keuntungan dalam transisi mineral yang terburu-buru akan meningkatkan tekanan pada negara produsen untuk “mengambil jalur cepat” perizinan dan membuka pertambangan di daerah sensitif dan berisiko tinggi. Alhasil, proses ini membuka pintu pada korupsi dan memperburuk isu hak asasi manusia dan penyalahgunaan lingkungan, terutama polusi dan pencemaran air, dan tanah yang sangat mempengaruhi kesehatan pekerja dan penduduk sekitarnya. Dampak ini paling dirasakan oleh masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal sekitar lahan garis depan ekstraksi.

“Melonjaknya permintaan transisi mineral telah mendatangkan kerusakan lingkungan yang mengerikan dan mendorong pelanggaran hak asasi manusia. Kita sudah melihat banyak sekali kasus korupsi, sisi gelap, dan tata kelola yang buruk di terlalu banyak negara yang merusak ekstraksi mineral selama beberapa generasi,” tambah Flavia Liberona, Direktor Eksekutif Fundación Terram (Chile), salah satu organisasi signatory.

“Hal yang penting adalah pasar mineral harus diatur dengan baik, transparan, adil dan merata, dan tidak menjuru pada eksploitasi dan ketidak adilan seperti yang ada di masa lalu. Butuh adanya upaya terkoordinasi yang mendesak untuk mengubah cara mineral diekstraksi dan konsumsi.”

Press contact:

Zoé Spriet-Mezoued, Publish What You Pay Communications Coordinator, zsprietmezoued@pwyp.org / +213 5 52 14 36 18

Aryanto Nugoro, Publish What You Pay Indonesia National Coordinator, aryanto@pwypindonesia.org