Di tengah produksi minyak bumi yang terus menurun, gas berperan strategis dalam pemenuhan kebutuhan energi dan pembangunan industri nasional. Penggunaan gas juga menjadi energi alternatif yang lebih bersih untuk lingkungan dibandingkan dengan minyak bumi dan batu bara. Namun, menurut Maryati Abdullah Koordinator Nasional PWYP Indonesia dalam diskusi publik pengelolaan gas nasional menyampaikan bahwa, pemanfaatan gas masih menemukan sejumlah tantangan. Di antaranya, pembangunan infrastruktur gas, minimnya investasi hulu gas dan penemuan cadangan baru, pertumbuhan ekonomi antar region, tata niaga gas, dan harga gas untuk industri.
Senada dengan Maryati, Prof. Dr. Emil Salim, Dewan Pengarah EITI, dalam sambutannya menyampaikan, “Justru di sanalah pentingnya transparansi dalam pengelolaan gas bumi nasional. Karena kondisi pasar gas yang terbuka, sehingga memungkinkan adanya trader tanpa fasilitas dan tidak mempunyai pengguna akhir, sehingga menciptakan fenomena retail berlapis,” ujar Emil Salim.
Tantangan dalam pengelolaan gas nasional bisa ditemui baik di hulu, mid-stream, maupun hilir. Komaidi Notonegoro, Direktur Reforminer Institute yang menjadi salah satu narasumber diskusi mengatakan bahwa sektor hulu gas masih bermasalah dengan perizinan dan keekonomian proyek. Diperkirakan ada sekitar 373 izin yang melibatkan 17 Kementerian/lembaga, walaupun ESDM sudah menyederhanakan perizinan di lingkungan ESDM dari 104 izin menjadi 40 izin, namun perizinan di K/L lainnya masih banyak permasalahan yang belum terurai.
Policy Performance Index 2018 yang dikeluarkan oleh Fraser Institute menunjukkan bahwa Indeks Investasi Indonesia di sektor migas berada di posisi ke 71 dari 80 negara, dengan skor 47,16. Dampak dari birokrasi dan ‘heavy regulation’ ini yaitu menurunnya investasi di hulu migas. Hal ini ditambah dengan lokasi cadangan gas yang berada di laut lepas dan perairan dalam, sehingga periode waktu yang diperlukan sejak eksplorasi hingga eksploitasi menjadi bertambah lama.
Tantangan lainnya dalam pengelolaan gas yaitu harga untuk gas di hulu dan di pengguna akhir. Terbitnya Perpres 40 tahun 2016 tentang penentuan harga gas maksimal 6 USD/MMbtu untuk industri tertentu, tidak bisa serta merta diimplementasikan begitu saja. Karena karakter sumur yang berbeda-beda, sehingga tidak bisa disamaratakan harga di 6 USD/MMbtu. Jika memang ingin disamakan, maka perlu ada institusi yang memfasilitasi subsidi silang antara KKKS di well head yang mempunyai harga gas di bawah 6 USD/MMbtu dengan KKKS yang mempunyai harga di atas 6 USD/MMbtu.
Menanggapi hal ini, Andang Bachtiar, Sekjen Asosiasi Daerah Penghasil Migas, menyampaikan bahwa sebagai alternatif untuk menurunkan harga gas, mengingat sumber daya gas sebagai modal pembangunan, pemerintah bisa mengurangi splitnya. Pengurangan split ini sebetulnya dikonversi untuk mendorong majunya industri-industri pengguna gas.
Selain soal harga dan investasi di hulu gas, tantangan lainnya yaitu pembangunan infrastruktur. Dirgo D Purbo, Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi menyampaikan bahwa infrastruktur gas yang belum terintegrasi ini berpengaruh terhadap industri, salah satunya berdampak terhadap industri di Jawa Timur yang ‘sulit berkembang’ karena ketidakpastian pasokan gas dan tingginya harga gas.
Mengamini apa yang disampaikan Dirgo D Purbo, Joefrizal anggota Indonesia Petroleum Association menyatakan bahwa untuk menurunkan harga gas, perlu didorong terbentuknya massive market. Untuk membentuk massive market ini perlu dibangun infrastruktur yang terintegrasi.
Tumiran, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menyampaikan bahwa arah penggunaan gas ke depan adalah lebih banyak untuk domestik, salah satunya untuk meningkatkan daya saing industri nasional. Sudah ada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menjadi road map dan skenario penggunaan energi nasional. “Yang perlu diperhatikan adalah ego sektoral masing-masing institusi, sehingga RUEN ini bisa diimplementasikan bersama-sama,” ujar Tumiran.
Selain itu, pemerintah perlu membuat komposisi energi (supply dan demand) untuk pertumbuhan ekonomi. Serta menyusun road map industri nasional menuju 2050, sehingga semua kementerian/lembaga terkait bisa melakukan aksi sesuai dengan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.