BALIKPAPAN, KOMPAS — Otorita Ibu Kota Nusantara dan aparat kepolisian menyisir aktivitas ilegal di kawasan ibu kota baru yang berada di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Organisasi masyarakat sipil mendesak aparat tidak hanya menangkap pelaku lapangan, tetapi juga memutus mata rantai aktivitas ilegal itu.
Staf Khusus Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) Bidang Keamanan dan Keselamatan Publik Inspektur Jenderal Edgar Diponegoro mengatakan, pada September 2025 setidaknya ada tiga aktivitas ilegal di kawasan IKN yang diproses hukum. Hal itu dilakukan Otorita IKN dan aparat penegak hukum yang tergabung dalam Satuan Tugas Penanggulangan Aktivitas Ilegal Otorita IKN.
”Selain tambang (batubara ilegal), satgas juga menemukan perambahan hutan, pembukaan lahan masif, serta bangunan-bangunan ilegal yang berdiri di sepanjang perbatasan Kecamatan Sepaku (Penajam Paser Utara) hingga Km 70 Desa Batuah, Kecamatan Samboja (Kutai Kartanegara),” kata Edgar, Minggu (5/10/2025).

Pada 28 September 2025, tim gabungan mengamankan tujuh truk bermuatan batubara yang ditambang secara ilegal di Gerbang Tol Samboja-Balikpapan. Temuan itu diserahkan ke Polda Kaltim untuk diselidiki lebih lanjut.
Selanjutnya, pada 29 September 2025, tim menemukan timbunan (stockpile) batubara dan pasir putih hasil pertambangan ilegal di kawasan hutan lindung Bukit Tengkorak, Desa Suko Mulyo, Kecamatan Sepaku. Temuan ini berjarak sekitar 30 kilometer dari Istana Negara IKN.
Di lokasi, tim menemukan timbunan batubara sebanyak 2.000-3.000 ton. Selain itu, terdapat pula pasir siap angkut di beberapa titik. Akibat aktivitas tersebut, terlihat pembukaan hutan lindung di sekitarnya.
Edgar mengatakan, pertambangan ilegal di lokasi itu telah ditinggalkan pelaku saat petugas mendatangi area. Kasus ini pun dalam proses penyelidikan Polda Kaltim dan aparat penegak hukum lain.

Temuan selanjutnya adalah perambahan hutan untuk perkebunan, pembangunan rumah liar, serta warung ilegal di kawasan hutan konservasi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. ”Seluruh aktivitas tersebut telah dilaporkan resmi ke Polda Kaltim untuk ditindaklanjuti,” ujar Edgar.
Kepala Bidang Humas Polda Kaltim Komisaris Besar Yuliyanto mengatakan, seluruh temuan satgas tersebut telah dikumpulkan dan diinvestigasi lebih lanjut. ”Sedang diproses oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kaltim untuk tindak lanjut,” katanya.
Selain tambang (batubara ilegal), satgas juga menemukan perambahan hutan, pembukaan lahan masif, serta bangunan-bangunan ilegal.
Memutus Mata Rantai
Pada Desember 2023, Otorita IKN mencatat, setidaknya 3.000 hektar kawasan di IKN diduga telah ditambang tanpa izin. Kebanyakan berupa tambang batubara yang merambah dan merusak hutan (Kompas, 30/12/2023).
Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak pemerintah bertanggung jawab dan segera mereformasi perbaikan tata kelola pertambangan. Guna mencegah praktik ilegal berulang dan menahun, mereka mendesak aspek pengawasan diperbaiki.

Selain temuan kasus pada September 2025, terdapat pula kasus tambang batubara ilegal di kawasan IKN, tepatnya di Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara. Kasus ini diumumkan dalam siaran pers di Surabaya, Jawa Timur, pada 17 Juli 2025.
Polisi menyebut areal pertambangan itu mencapai 186 hektar. Aktivitas tambang ilegal ini beroperasi sejak 2016 atau nyaris 10 tahun berjalan saat penangkapan. Artinya, penambangan tanpa izin ini telah eksis sebelum penetapan IKN.
Peneliti PWYP Indonesia Adzkia Farirahman menyebut, kasus pertambangan ilegal menahun di kawasan IKN merupakan indikasi kegagalan pengawasan sektor pertambangan mineral dan batubara.
”Bagaimana mungkin tambang ilegal bisa beroperasi begitu lama di kawasan prioritas nasional seperti IKN tanpa deteksi dini?” ucap Azil, sapaan Adzkia Farirahman.

Azil pun mendesak aparat penegak hukum tidak hanya menangkap pelaku di lapangan, tetapi juga memutus mata rantai pertambangan ilegal. Menurut dia, tambang ilegal terus eksis lantaran ada ekosistem yang melibatkan banyak pihak.
Ekosistem itu terdiri dari pemodal, pekerja, pengaman, hingga pembeli hasil aktivitas pertambangan ilegal. PWYP Indonesia menyebut, para pelaku memanfaatkan dokumen resmi dari perusahaan pemegang izin usaha produksi (IUP) saat proses pengiriman batubara ilegal.
Dokumen tersebut digunakan agar batubara tampak seolah-olah berasal dari pertambangan resmi. Upaya pengelabuan itu dinilai sebagai bentuk persekongkolan banyak pihak.
”Investigasi menyeluruh terhadap kemungkinan dugaan kuat keterlibatan pihak-pihak terkait, mulai dari penambang, penyedia jasa transportasi, agen pelayaran, perusahaan-perusahan pemilik izin, operasionalisasi pelabuhan, hingga pejabat terkait,” ujar Azil.
Sumber: Kompas