Proyek gasifikasi batubara memerlukan investasi  Rp 480 triliun. Dianggap cocok untuk riset ketimbang aplikasi.

PROYEK penghiliran batu bara menjadi dimethyl ether (DME) digadang-gadang pemerintah sebagai strategi pencapaian kemandirian energi. Namun proyek ini penuh dengan tantangan. Menurut Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Satya Hangga Yudha Widya Putra, ada kekhawatiran masyarakat terhadap keterjangkauan harga DME. Apalagi konversi elpiji ke DME berdampak pada pengguna rumah tangga serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.

Namun, kata Satya, DME lebih efisien ketimbang elpiji. Energi yang berasal dari proses gasifikasi batu bara ini, menurut dia, juga menghasilkan nyala api yang stabil. Karena itu Satya menegaskan DME perlu dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor elpiji. “Apabila konversi ini bisa terwujud, kami akan mensosialisasi kepada masyarakat sehingga diharapkan tidak ada miskomunikasi atau kekhawatiran,” katanya, Selasa, 16 Desember 2025.

Saat ini proyek pengolahan DME dari batu bara masih dalam studi kelayakan oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Kementerian ESDM memperkirakan konsumsi elpiji pada 2025 mencapai 10 juta metrik ton. Sementara itu, kapasitas produksi nasional masih di angka 1,3-1,4 juta metrik ton. Artinya, masih ada defisit 8,6 juta metrik ton.

Kementerian Energi pernah menguji coba DME di Kota Palembang dan Muara Enim, Sumatera Selatan, pada Desember 2019 hingga Januari 2020. Melalui keterangan tertulis ketika itu, Kementerian Energi menyatakan kualitas nyala api yang dihasilkan DME lebih biru. Selain itu, DME tidak menghasilkan particulate matter (pm) dan NOx atau nitrogen oksida. Pada 24 Januari 2022, Presiden Joko Widodo melakukan groundbreaking proyek DME di Muara Enim. Namun proyek tersebut tak berlanjut karena Air Products, perusahaan asal Amerika Serikat yang semula berinvestasi, mundur setahun kemudian.

Ketua Bidang Kajian Batu Bara Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia F. Hary Kristiono mengatakan gasifikasi batu bara tak hanya menekan impor elpiji, melainkan juga solusi atas turunnya permintaan terhadap batu bara Indonesia. Menyitir data Kementerian Energi, ekspor batu bara pada kuartal I tahun ini sebanyak 160 juta ton, turun dibanding pada periode yang sama 2024 sebesar 171 juta ton. Melalui pengembangan DME, menurut Kristiono, pelaku industri bisa memperluas pemanfaatan cadangan batu bara.

Tempat penampungan sementara batu bara di Muaro Jambi, Jambi, 25 November 2025. Antara/Wahdi Septiawan

Di sisi lain, Kristiono mengatakan proyek gasifikasi batu bara membutuhkan pembiayaan besar. Estimasi kebutuhan investasinya mencapai US$ 1.100 miliar atau sekitar Rp 480 triliun yang akan mengucur selama tiga dekade ke depan. “Tanpa komitmen kuat dari negara dan dukungan sektor swasta, penghiliran energi ini tidak akan terwujud,” katanya pada akhir Mei 2025.

Ekonom Center of Reform on Economics, Muhammad Ishak Razak, berpendapat DME bukan solusi efektif untuk menekan impor elpiji karena tidak ekonomis. Menurut dia, proyek penghiliran batu bara ini membutuhkan modal besar dan teknologi mahal sehingga harga DME lebih tinggi dibanding elpiji. Bila ditopang subsidi, beban pemerintah pun menjadi lebih berat.

Menurut Ishak, pengembangan DME sementara ini cukup dilakukan untuk riset hingga ditemukan teknologi yang ekonomis. Untuk mengurangi ketergantungan impor elpiji, ia merekomendasikan pemerintah membangun jaringan gas rumah tangga untuk memanfaatkan sumber gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di dalam negeri. “Pada tahap awal memang akan ada biaya pembangunan jaringan gas. Tapi ini hanya sekali dan bermanfaat jangka panjang,” ujarnya.

Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia Aryanto Nugroho ragu akan efektivitas DME sebagai solusi defisit elpiji. Sebab, menurut dia, proyek ini menghadapi tantangan struktural. Dari ketiadaan teknologi dalam negeri hingga besarnya kebutuhan investasi. Mundurnya Air Products sebagai investor pada 2023, ujar Aryanto, menunjukkan bahwa proyek ini berisiko tinggi. “Alih-alih mengurangi defisit, proyek DME justru memperkuat ketergantungan pada energi fosil dan bertentangan dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2025-2034 yang menargetkan pengurangan energi fosil hingga 24 persen,” tuturnya.

Sumber: Tempo

Privacy Preference Center

Skip to content