Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia selenggarakan Lokakarya Kampanye Strategis dan Kreatif untuk Mendorong Transisi Energi yang Berkeadilan pada 29 Februari 2024 di bilangan Jakarta Pusat. Hadir sebagai fasilitator dalam lokakarya tersebut, yakni Aulia Novirta, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Ersya Nailuvar, PWYP Indonesia. Lokakarya ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman peserta sekaligus menyebarluaskan gagasan kampanye strategis dan kreatif untuk mendorong beragam perubahan sosial, khusunya terkait dengan transisi energi yang berkeadilan. Sejumlah perwakilan dari Civil Society Organization (CSO), Women Rights Organization (WRO), dan Disability People Organizations (DPO) hadir berpartisipasi dalam lokakarya ini.

Materi pertama mambahas pentingnya strategi kampanye. Strategi adalah praktik untuk menentukan cara terbaik dari titik awal ke titik akhir. Melihat cara-cara serta langkah yang diambil untuk bisa mencapai tujuan. Strategi memiliki elemen yang penting, seperti pemahaman terhadap posisi saat ini, hingga tujuan yang akan dicapai. Strategi juga dapat mengidentifikasi hambatan, tantangan, dan peluang. Dalam menyusun strategi, pengerucutan langkah yang diambil untuk membuat kampanye, mengimajinasikan, memvisualisasikan kampanye hingga tepat sasaran.

Menentukan tujuan akhir kampanye juga merupakan aspek yang penting, apakah perubahan kebijakan, menggerakkan massa, atau yang lainnya. Contohnya, perubahan opini masyarakat akan suatu isu dapat dilakukan melalui strategi survey, riset, pentingnya mempengaruhi target kampanye kita untuk memiliki tujuan yang sama dengan kampanye yang diusung.

Aulia Novirta, mengajak peserta mengamati video pajak tampon yang sangat tinggi di Jerman yaitu 19%, padahal pajak barang mewah lainnya hanya 7%. Tampon yang merupakan kebutuhan primer perempuan dianggap sesuatu yang mewah, narasi yang disampaikan adalah bahwa pembuat kebijakannya adalah laki-laki yang tidak mengerti permasalahan perempuan. Aksi kampanye yang dibuat adalah kampanye tampon menjadi buku. Melalui strategi ini, masyarakat dan perempuan mengubah opini mereka bahwa tampon adalah kebutuhan primer dan tidak masuk akal dengan pajak yang terlalu tinggi. Ketika kampanye telah mengubah opini orang dan dalam massa yang besar, kampanye dapat menyasar pembuat kebijakan untuk merubah pajak tampon.

Ersya Nailuvar menyampaikan tentang teori perubahan. Teori perubahan membantu kita mengidentifikasi rintangan dan merefleksikan tujuan akhir kampanye. Ketika merumuskan sebuah kampanye, idealnya kita akan mengidentifikasi kebutuhan dan masalah untuk mengetahui kebutuhan data dan fokus pada tujuan kampanye. Ketika mengetahui kebutuhan target kampanye, kriteria yang dapat digunakan adalah SMART (Specific, Measurable, achievable, Relevant, Time-Bound). Pendekatan ini bisa dilakukan untuk membuat tujuan lebih tepat sasaran. Pertanyaan besar dalam teori perubahan adalah: Jika kampanye berhasil, perubahan apa saja yang akan kita lihat?, apa yang seharusnya jadi tujuan kampanye?, Siapa saja yang harus berubah perilakunya?, dan Apa yang terjadi saat ini, seperti apa kondisi yang kita alami sekarang?

Ersya Nailuvar mengajak peserta mengamati video kemenangan Barrack Obama pada tahun 2008. Obama diprediksi akan kalah di Florida karena mayoritas masyarakat Yahudi tidak akan memilihnya, maka kampanye yang digunakan adalah “The Great Schlep” yang menjembatani generasi cucu dan kakek/nenek masyarakat Yahudi. Dengan adanya The Great Schlep ini, para cucu mensosialisasikan visi misi Obama yang inklusif, tidak memandang ras dan suku, sehingga sentimen masyarakat Yahudi terhadap Obama bisa berubah. Keberhasilan kampanye tersebut berujung pada kemenangan Obama di Florida dan maju menjadi Presiden Amerika Serikat.

Selanjutnya, Ersya Nailuvar mengajak untuk diskusi kelompok menentukan definisi sukses dalam sebuah kampanye strategis berdasarkan video tersebut. Pertanyaan-pertanyaannya diantara lain: Apa definisi sukses? Siapa yang harus dituju? Siapa yang harus berunah? Bagaimana posisi dan kondisi awal hingga akhir kampanye?

Materi selanjutnya adalah Peta Empati. Peta empati sejatinya seperti bermain Roleplay. Hal ini berguna untuk menggambarkan bagaimana orang akan berkata, berpikir, merasa, dan melakukan sebelum menjadikan mereka sebagai target kampanye. Ersya mengajak peserta mengamati video iklan dimana ada seorang gadis yang memiliki disabilitas tidak dapat mendengar bel rumahnya, hingga ayahnya mereparasi lampu sebagai pengganti bel agar gadis tersebut bisa mengetahui kedatangan temannya ke rumahnya. Analogi video ini menggunakan analogi Dari-Menjadi. Dari orang yang merasa dan berpikir sulit baginya mengetahui kedatangan tamu dirumahnya, hingga aku menjadi tahu ketika ada orang yang mengunjungi rumahnya. Peta empati ini juga menjadi diskusi kelompok dengan menggunakan prompt (analogi situasi) yang disusun narasumber untuk latihan peserta. Terdapat tiga prompt yang disajikan yang berkaitan tentang transisi energi.

Aulia Novirta mengajak peserta untuk mengamati video perempuan dari berbagai suku, ras, dan bentuk badan untuk berolahraga dan menjaga kesehatannya, karena banyak perempuan yang merasa tidak percaya diri untuk pergi ke gym untuk berolahraga karena menghadapi stigma, asumsi, dan penghakiman. Melalui metafora lintasan, dapat dikalkulasikan mana yang paling penting untuk menentukan produk kampanye yang bisa dibuat.

Video selanjutnya yakni video tentang seorang adik yang memperjuangkan kesembuhan kakaknya yang terkena leukimia, dia berkampanye bersama dua organisasi untuk menyelamatkan lebih banyak orang dari leukimia melalui donor sumsum. Terdapat tanggapan dari peserta bahwa metafora Gajah (perasaan) disini berperan penting dalam suksesnya sebuah kampanye, ketika kita dapat menggugah perasaan orang terkait suatu kejadian, maka empati itu ada dan menyebar luas ke target kampanye yang telah ditentukan.

Terdapat pertanyaan dari peserta apakah kita diperbolehkan untuk menggunakan rasa “kasihan” untuk mendapatkan emosi target kampanye? Apris, co-fasiliator menanggapi bahwa emosi yang kita tunjukkan bukan semata mata rasa kasihan, karena emosi itu terdapat banyak ragamnya, ketika berkampanye kita harus menentukan tone dari kampanye tersebut, teknik agitasi perlu digunakan dalam kampanye untuk membangkitkan perasaan, Bukan rasa kasihan, melainkan rasa berdayanya. Contohnya para perempuan yang juga sebagai kepala rumah tangga, kita tidak berkampanye karena rasa kasihan terhadap perempuan tersebut, melainkan kita menunjukkan sisi keberdayaan para perempuan untuk kampanye yang efektif.

Efektivitas kampanye diukur dalam tiga besaran ini, diantaranya adalah output, outcome, dan impact. Output menyasar kepada apakah materi kampanye sampai ke sasaran?, kemudian outcome apakah terjadi perubahan perilaku?, dan impact apakah terjadi perubahan sosial yang diinginkan?. Para peserta membuat matriks MILE (Maximum Impact Little Effort) yang dibagi secara berkelompok dengan prompt yang sama seputar transisi energi.

Penulis: Chitra Regina Apris
Reviewer: Aryanto Nugroho