Belasan tahun lamanya, perempuan-perempuan pejuang Kendeng telah banyak terlibat dalam aksi dan kegiatan merawat dan menyelamatkan pegunungan Kendeng. Aspirasi perempuan sudah banyak disampaikan, termasuk dalam pertemuan-pertemuan dengan pemerintah. Namun, keterlibatan perempuan masih perlu ditingkatkan terutama dalam aspek perencanaan pembangunan, agar perempuan-perempuan Kendeng semakin berdaya. Terlebih, saat ini Provinsi Jawa Tengah sedang berada pada fase krusial pasca revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2009-2029 dan RPJMD 2018-2023.
Untuk itu, PWYP Indonesia bersama LBH Semarang menyelenggarakan kegiatan “Lingkar Belajar Advokasi Kebijakan dan Temu Kartini Kendeng” yang diikuti oleh perwakilan dari Pati, Grobogan, dan Kendeng. Hadir sebagai fasilitator Tenti Novari Kurniawati, Direktur Eksekutif dari Perkumpulan Idea Yogyakarta yang cukup dikenal atas kerja-kerja pada isu gender dan di ranah peningkatan kapasitas warga pada ranah partisipasi kebijakan publik.
Di awal kegiatan, peserta diajak untuk merefleksikan bagaimana pembagian peran antara perempuan dan laki-laki baik di ranah domestik dan publik. Tutik yang berprofesi sebagai petani menceritakan hasil diskusi kelompoknya mengenai pembagian kerja istri dan suami saat berada di rumah dan saat bekerja di sawah. “Saat di sawah/ladang, istri dan suami sama-sama bekerja, namun saat di rumah, perempuan lebih banyak melakukan aktivitas seperti memasak dan mencuci,” ujar Tutik.
Kelompok lainnya, Deni, sosok kartini Kendeng asal Grobogan, menyampaikan bahwa ada kecenderungan di keluarga muda, pembagian kerja antara istri dan suami lebih setara. Di ranah domestik, suami banyak membantu pekerjaan rumah, dan di ranah produktif, laki-laki dan perempuan pun sama-sama bekerja. Namun, di ranah publik laki-laki lebih banyak terlibat, apalagi dalam proses pengambilan keputusan. Forum-forum pertemuan warga pun lebih didominasi oleh kaum laki-laki.
Tak heran, saat ada musyawarah perencanaan pembangunan (Musrembang) keputusan yang diambil menjadi tidak responsif gender. Menurut salah satu peserta yang pernah mengikuti musrembang, menyampaikan bahwa usulan-usulan program yang masuk dalam musrembang lebih banyak pembangunan infrastruktur. Padahal, di sisi lain perempuan mempunyai kebutuhan dan aspirasinya sendiri.
Umi, salah satu peserta dari daerah Kendal/Demak yang pernah mengikuti musrembang menyampaikan bahwa perempuan berhasil memasukkan program kawasan ramah difabel, dan juga pelayanan kesehatan (rumah sakit) yang ramah terhadap korban kekerasan seksual. Juga meminta pemerintah untuk mensosialisasikan pembangunan yang ramah gender.
Tenti Kurniawati, fasilitator dalam lingkar belajar, menjelaskan tentang alur perencanaan dan pembangunan di mana perempuan sebagai warga negara bisa terlibat di dalamnya. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) dimulai dari tingkat Dusun, Musrembang Tingkat Desa, Musrembang Kecamatan, hingga Musrembang Kabupaten. “Sebagai warga negara, perempuan berhak terlibat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga aspirasi perempuan tersuarakan dan program yang akan dijalankan mengakomodir kebutuhan perempuan,” jelas Tenti.
Tenti juga menjelaskan siklus anggaran dan pembangunan yang berlangsung setiap tahun. Musrembang tingkat dusun berlangsung di bulan Juli-Agustus, Musrembang Desa di Bulan September, kemudian Musrembang kecamatan dan kabupaten di bulan Februari dan Maret, Pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara di bulan Mei-Juni, Pembahasan RAPBD di Juli-Agustus, dan APDD di September-Oktober.
“Dengan mengetahui siklus waktunya, kelompok perempuan bisa mempersiapkan dan mengorganisir diri, untuk terlibat dalam proses perencanaan pembangunan tersebut,” tambah Tenti.
Selain memahami siklus perencanaan pembangunan, peserta juga diajak untuk memahami dan membedah Anggaran dan Perencanaan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Tengah. Secara khusus peserta membedah anggaran yang erat kaitannya dengan masyarakat, yaitu membedah anggaran pemberdayaan masyarakat desa, anggaran pemberdayaan perempuan, dan anggaran Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Salah satu temuan kami dari bedah APBD di sektor ESDM ini adalah tidak adanya anggaran untuk mengimplementasi program KLHS-Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Temuan lainnya yaitu kawasan Kendeng Utara tidak masuk dalam program ESDM dan Badan Lingkungan Hidup (BLH),” papar Deni.
Di akhir kegiatan, peserta yang datang dari berbagai daerah di Jawa Tengah ini menyampaikan rencana tindak lanjut yang akan dilakukan paska kegiatan. Peserta dari Kendeng menyampaikan ilmu yang sudah didapat di pelatihan, dan berbagi mengenai tata ruang dan pembangunan kepada penduduk lainnya di Kendeng, serta memperbaharui informasi mengenai revisi perda RTRW pasca paripurna. Di Kabupaten Pati, peserta akan merencanakan aksi untuk mendorong implementasi KLHS di Kabupaten Pati.
Sedangkan di Rembang, peserta akan menuntut adanya gelar perkara atas kasus pembakaran mushaladan tenda perjuangan ke Polres Rembang. Di Tuban, peserta akan mengadvokasi 3 warga yang dikriminalisasi, juga menghidupkan kegiatan belajar warga. Di Kendal, akan memberikan penguatan kepada warga pasca kriminalisasi terhadap 2 Kyai Desa.
Selain itu, peserta dari Demak akan melanjutkan perjuangan mendorong pengakuan perempuan nelayan, dan melakukan sosialisasi terhadap warga (komunitas nelayan) agar menggunakan alat tangkap yang tidak merusak lingkungan.