Rabu, 27 November 2013
“Wamen ESDM: transparansi harus terus didorong.”
Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif menjadi bukti komitmen pemerintah Indonesia mewujudkan transparansi pembayaran dan penerimaan dari sektor industri ekstraktif. Perpres tersebutmewajibkan perusahaan yang bergerak di sektor minyak bumi, gas, dan pertambangan untuk menyampaikan laporan kepada Extractive Industries Trasparency Initiative (EITI). Di Indonesia, sekretariat EITI berkedudukan di Kementerian Perekonomian.
Tahun ini adalah periode kedua kewajiban menyampaikan laporan transparansi itu dijalankan. Namun, masih banyak perusahaan yang mangkir menyampaikan laporan itu. Publish What You Pay Indonesia (PWYP), sebuah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi dan Akuntabilitas Tata Kelola Sumberdaya Ekstraktif, mencatat baru 60% perusahaan yang menyampaikan laporan. Hingga awal pekan lalu, dari total 264 perusahaan yang wajib melapor, masih ada sekitar 105 perusahaan yang belum menyampaikannya.
Koordinator Nasional PWYP Maryati Abdullah menjelaskan, perusahaan yang belum menyerahkan laporan bervariasi dilihat dari kepemilikan izinnya. Ia merinci, ada satu perusahaan Kontrak Karya (KK) Mineral, yaitu perusahaan asal Malaysia, Koba Tin. Ada pula sembilan perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Selain itu, terdapat 14 perusahaan IUP dengan royalti di atas 25 miliar rupiah. Paling banyak adalah perusahaan IUP dengan royalti antara Rp 2 sampai dengan Rp 25 miliar, yaitu sejumlah 81 perusahaan.
“Jenis laporan yang harus disampaikan oleh perusahaan meliputi informasi jumlah penerimaan negara yang dibayarkan kepada pemerintah baik berupa pajak maupun non pajak sebagaimana ketentuan EITI,” jelas Maryati, Selasa (26/11).
Koordinator Advokasi PWYP, Aryanto Nugroho menambahkan, ketepatan waktu dalam menyampaikan laporan merupakan wujud keseriusan perusahaan untuk berlaku transparan. Oleh karena itu ia menilai, keterlambatan ini merupakan persoalan serius. Ia mengingatkan, Indonesia belum memenuhi standar tertinggi, yakni termasuk kategori patuh (compliant) dari pelaksanaan standar global EITI karena masih terlambat dalam menyampaikan laporan. “Terutama dalam mempublikasikan laporan EITI secara periodik dan tepat waktu dalam rangkaian waktu yang berurutan,” tutur Aryanto.
Aryanto mendesak pihak perusahaan dan pemerintah untuk segera bergerak memperbaiki pencapaian standar. Menurutnya, momentum yang paling tepat adalah ketika penyusunan laporan EITI periode 2010-2011. Saat ini penyusunan laporan tersebut masih dalam tahap penyelesaian oleh Sekretariat EITI Indonesia.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo mengatakan, pemerintah Indonesia terbuka untuk mempercepat implementasi EITI. Ia mengingatkan, Indonesia merupakan negara pertama yang menerapakan EITI di Asia Tenggara. Bahkan, komitmen pemerintah untuk mewujudkan EITI secara optimal dapat dilihat dari inisiatif tim Indonesia memasukan hal itu ke dalam rencana aksi implementasi kerjasama mineral di kawasan ASEAN. “Kita terbuka. Akan kita dorong secara maksimal,” tutur Susilo.
Pada Pertemuan Menteri-Menteri Bidang Mineral ASEAN ASEAN Ministerial Meeting on Mineral/AMMin ke-3 tahun lalu di Hanoi, delegasi Indonesia mengajukan proposal memasukan EITI di dalam ASEAN Mineral Cooperation Action Plan (AMCAP) 2011-2015. Proposal itu diterima, sehingga EITI menjadi salah satu agenda rencana aksi implementasi kerjasama mineral di kawasan ASEAN.
Mengenai keterlambatan penyampaian laporan oleh sebagian perusahaan, Susilo mengatakan harus dilihat dahulu penyebabnya. Ia mengatakan, tahun 2009 saat penyusunan pertama, EITI Indonesia tidak mengirimkan formulir pelaporan kepada 76 mitra kerja dari 50 KKKS. Akibatnya, beberapa mitra kerja tersebut tidak menyerahkan laporan. “Intinya transparansi harus kita dorong,” pungkasnya.
Sumber : Hukumonline