Jakarta, 12 Agustus 2024 – Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dunia saat ini. Dalam upaya memahami tantangan ini, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) yang juga Badan Pengarah Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Periode 2012-2020, berbicara dalam webinar bertema Krisis Iklim, Transisi Energi dan Industri Ekstraktif yang merupakan bagian dari rangkaian acara Road to RUA ke-5 PWYP Indonesia. Dalam diskusinya, Fabby membahas berbagai aspek mengenai perubahan iklim dan sejarah upaya adaptasi dan mitigasinya, serta langkah-langkah yang harus diambil untuk mengurangi dampaknya.
Atmosfer dan gas rumah kaca memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas suhu bumi. Namun, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca telah menyebabkan perubahan iklim yang signifikan. Gas-gas ini menahan panas matahari di atmosfer, sehingga menyebabkan suhu bumi meningkat. Para ilmuwan telah memperingatkan tentang ancaman peningkatan gas rumah kaca sejak tahun 1990-an.
Fabby menjelaskan sejarah upaya global dalam menangani perubahan iklim, dimulai dari ratifikasi UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) dan COP (Konferensi Para Pihak) pertama di Berlin pada tahun 1995. Dalam perjanjian Kyoto Protocol, negara-negara diwajibkan untuk mengurangi emisi mereka, meskipun dinamika politik menyebabkan beberapa negara, seperti Amerika Serikat, menarik diri dari protokol ini.
Namun, COP 21 di Paris menghasilkan kesepakatan penting yang dikenal sebagai Paris Agreement. Dalam kesepakatan ini, para pemimpin dunia sepakat untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius dan menetapkan target untuk mencapai Net Zero emisi pada pertengahan abad ini. Selain itu, setiap negara berkomitmen untuk menyusun Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai bagian dari upaya global mengurangi emisi.
Indonesia telah menyusun target ambisius dalam kontribusi NDC-nya. Pemerintah berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 26% dari sumber domestik dan 41% dengan dukungan internasional. Hingga tahun 2022, Indonesia telah memperbarui NDC sebanyak dua kali, dengan target terbaru untuk tahun 2035.
Namun, Fabby mengingatkan bahwa emisi gas rumah kaca global terus meningkat hingga mencapai 53 gigaton per tahun pada 2023. Jika tren ini berlanjut, sisa anggaran karbon akan habis dalam waktu empat tahun.
Kontribusi terbesar terhadap emisi gas rumah kaca di Indonesia berasal dari batu bara dan minyak. Oleh karena itu, penggunaan bahan bakar fosil ini harus dikurangi secara drastis.
Fabby juga menyoroti perbedaan dampak antara kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat dan 2 derajat Celsius. Salah satu dampaknya adalah mencairnya lapisan permafrost di Antartika. Jika permafrost ini mencair, gas metana yang terperangkap di dalamnya akan dilepaskan ke atmosfer, mempercepat perubahan iklim secara tiba-tiba dan berpotensi menyebabkan kerusakan yang lebih parah.
Menurut Fabby, solusi utama untuk perubahan iklim adalah beralih ke energi terbarukan. Berdasarkan peta jalan yang disusun oleh IEA (International Energy Agency), pada tahun
2050, setidaknya 50% energi global harus berasal dari sumber terbarukan. Tidak boleh ada lagi pembangunan PLTU baru setelah tahun 2025, dan kendaraan berbahan bakar fosil harus dihentikan penggunaannya pada tahun 2035. Dunia harus sepenuhnya beralih ke energi terbarukan pada tahun 2045 untuk mencapai target penurunan suhu global yang signifikan.
Untuk mencapai hal ini, emisi global harus dikurangi hingga 60-70% pada tahun 2030. Namun, banyak negara masih belum mampu mencapai target yang ditetapkan dalam Paris Agreement. Dunia perlu menurunkan emisi hingga 23 gigaton untuk mencapai target ini.
Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam upaya mencapai dekarbonisasi sektor energi pada tahun 2050. Meskipun emisi per kapita Indonesia relatif rendah dibandingkan negara maju, Indonesia berada di peringkat ketujuh sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia.
Menurut Fabby, IESR telah melakukan kajian yang menunjukkan bahwa dekarbonisasi ini bisa dicapai, dengan peta jalan yang ambisius namun realistis. Indonesia memiliki potensi besar untuk mengandalkan energi surya sebagai sumber energi utama, terutama karena negara ini terdiri dari kepulauan. Namun, pembangunan infrastruktur yang memadai sangat diperlukan untuk mendukung integrasi energi terbarukan ini.
PLTU batu bara di Indonesia harus pensiun sebelum tahun 2045 untuk memastikan transisi menuju energi terbarukan yang lebih berkelanjutan. Selain manfaat lingkungan, transisi ini juga dapat memberikan manfaat sosial ekonomi bagi Indonesia, seperti menciptakan lapangan kerja baru, memenuhi 100% kebutuhan energi pada tahun 2050, dan mengurangi konsumsi energi.
Namun, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam memobilisasi pendanaan dan menarik investor untuk mendukung transisi energi ini. Selain itu, permintaan terhadap logam dan mineral, yang sangat penting dalam pengembangan teknologi energi terbarukan, diperkirakan akan meningkat secara signifikan dalam 25 tahun ke depan. Meskipun mineral ini dapat didaur ulang, eksploitasi mineral harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.
Fabby Tumiwa menyampaikan bahwa perubahan iklim adalah tantangan besar yang harus dihadapi bersama. Untuk itu, transisi menuju energi terbarukan merupakan solusi utama dalam mengurangi dampak perubahan iklim dan menjaga kelangsungan hidup planet kita. Namun, tantangan besar tetap ada, terutama bagi negara seperti Indonesia yang perlu meningkatkan infrastruktur, mendanai transisi energi, dan mengelola sumber daya alamnya dengan bijak.
Penulis : Ersya Nailuvar