Ternate – Koordinasi dan Supervisi (Korsup) sektor pertambangan merupakan bagian dari Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) yang dideklarasikan sejak tahun 2014 di Ternate, Maluku Utara. Korsup sektor pertambangan bertujuan untuk mendorong perbaikan tata kelola pertambangan yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta memperkuat penegakan hukum di sektor sumber daya alam. Korsup sektor pertambangan diinisiasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan baik di tingkat nasional dan daerah, serta keterlibatan masyarakat sipil dan akademisi.

KPK bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyelenggarakan Kick Off Meeting “Koordinasi dan Supervisi Sektor Pertambangan di Tujuh Provinsi” secara luring di Ternate, Maluku Utara pada Selasa, 29 Maret 2022. Tujuh provinsi tersebut mencakupi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan baik di tingkat nasional, daerah, dan juga organisasi masyarakat sipil.

KH. Abdul Gani Kasuba, Gubernur Maluku Utara, memberikan sambutan bahwa Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu provinsi yang memiliki kekayaan sektor pertambangan yang besar, seperti nikel dan pasir besi. Oleh karenanya, hal tersebut menarik investor untuk mendorong hilirisasi sektor pertambangan. Salah satunya, dengan adanya pembangunan smelter di Halmahera. Di akhir sambutannya, Ia juga menegaskan pentingnya tata kelola yang baik di sektor pertambangan agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Saya menaruh harapan besar pada kita semua, dalam pertemuan ini semoga dapat memajukan sektor pertambangan di Maluku Utara, dan di enam provinsi lainnya. Jadikan pertemuan ini sebagai pertemuan yang penting untuk memperbaiki tata kelola di sektor pertambangan,” tegasnya.

Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK, memberikan penjelasan terkait maksud dari kegiatan Korsup ini. Korsup ini akan menjadi forum untuk menyamakan suara antar pemangku kepentingan baik di pusat maupun di daerah. Dengan adanya korsup ini, harapannya para pemangku kepentingan di sektor pertambangan memiliki visi yang sama. “Syarat koordinasi adalah memiliki visi yang sama, kita melihat pertambangan sebagai apa? apakah penerimaan? sumber energi? keberlanjutan?,” pungkasnya. Nurul juga menegaskan bahwa koordinasi juga perlu memahami struktur, fungsi, dan peran masing-masing pemangku kepentingan baik di pusat maupun di daerah. “Kita juga harus saling mengerti dan berbagi soal kelebihan dan kelemahan masing-masing. Ketika daerah tidak memiliki tenaga teknis, maka pusat dapat membantu terkait hal tersebut. Begitu pula sebaliknya, ketika pusat tidak tau soal keadaan di lapangan secara langsung, maka daerah yang berperan untuk membantu,” ucap Nurul.

Muhammad Wafid A.N., Direktur Penerimaan Mineral dan Batubara (Minerba) ESDM, memberikan paparan terkait sektor pertambangan di Indonesia yang mencakup aspek regulasi, kewajiban dan data perizinan sub sektor minerba, dan juga informasi terkait pertambangan ilegal (PETI). Dalam aspek regulasi, pemerintah saat ini sedang menyusun beberapa peraturan turunan dari Undang-Undang No.3 Tahun 2020 atau UU Minerba. Beberapa peraturan turunan ini meliputi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wilayah Pertambangan, RPP tentang Pembinaan dan Pengawasan serta Reklamasi dan Pascatambang dalam Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Minerba, dan beberapa Rancangan Peraturan Menteri (RPermen ESDM) lainnya, seperti RPermen tentang Tata Cara Pemberian Perizinan dan Pelaporan, RPermen tentang Tata Cara Pemberian Wilayah di Bidang Pertambangan Minerba, dan sebagainya. Wafid menambahkan dalam konteks kewenangan di daerah, pemerintah pusat saat ini sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden (RaPerpres) tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Minerba.

Wafid menambahkan bahwa kewajiban badan usaha sesuai Permen ESDM No.7 Tahun 2020 dan Permen Keuangan No.61 Tahun 2021 meliputi 1) Menyampaikan Laporan RKAB Tahunan; 2) Menempatkan Jaminan Reklamasi dan Pascatambang; 3) Melaksanakan Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM); 4) Peningkatan Nilai Tambah; dan 5) Melakukan Pembayaran Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di akhir paparannya, Wafid memberikan gambaran terkait persebaran lokasi PETI yang tersebar di seluruh Indonesia. “Jika kita melihat data Maret 2022, lokasi PETI ini mencapai 195 titik lokasi yang tersebar di enam provinsi (Bali tidak termasuk). Kita sedang berupaya untuk menangani dengan mengajak stakeholder lain untuk melakukan penegakan hukum terhadap pertambangan ilegal tersebut,” ungkap Wafid.

Dian Patria, Ketua Satuan Tugas Korsup Pencegahan Direktorat Wilayah V KPK, memantik diskusi panel dengan menjelaskan bahwa terdapat sepuluh tantangan di sektor pertambangan saat ini. UU Minerba yang baru mengatur tentang resentralisasi kewenangan pertambangan dari daerah ke pusat. Hal ini menimbulkan polemik yang baru terkait peran daerah dalam mengelola SDA mereka. Dian menegaskan bahwa resentralisasi kewenangan ini akan berdampak pada lemahnya pengawasan di lapangan yang akan berdampak pada maraknya pertambangan ilegal dan dampak lingkungan yang semakin masif. “Dari hasil pengamatan kami, terdapat sepuluh tantangan di sektor pertambangan saat ini, yaitu 1) Resentralisasi kewenangan; 2) Ekspor ilegal; 3) Ketidakpatuhan pemegang izin; 4) Lemahnya pengawasan; 5) Dampak lingkungan; 6) Isu tenaga kerja asing; 7) “Reinkarnasi” IUP; 8) Kontribusi bagi ekonomi lokal; 9) Konflik sosial; 10) Penambangan ilegal,” ungkapnya. Dian menambahkan bahwa untuk menyelesaikan tantangan-tantangan tersebut, maka butuh dukungan semua pihak baik di nasional maupun di daerah untuk saling kolaborasi, membangun sinergitas, dan integrasi data sektor pertambangan dari hulu ke hilir.