Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih menyampaikan berbagai masukan terhadap Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) kepada Komisi XII DPR RI melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar di Gedung Nusantara 1, Jakarta Pusat, pada 1 Desember 2025. Dalam pertemuan tersebut, koalisi menegaskan bahwa RUU EBET seharusnya menjadi momentum percepatan transisi energi yang berkeadilan, dengan menempatkan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik sebagai landasan utama. Hal ini mencakup penyediaan informasi secara terbuka, keterlibatan kelompok terdampak dalam proses pengambilan keputusan, serta keberadaan mekanisme pemantauan dan evaluasi yang berjalan secara bottom-up.

Koalisi juga menekankan pentingnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia dalam setiap kebijakan energi. Pengembangan energi tidak boleh menimbulkan persoalan baru, termasuk perampasan lahan atau pelemahan terhadap kelompok rentan. Transisi energi harus memastikan perlindungan terhadap pekerja, masyarakat terdampak, dan kelompok yang selama ini mengalami kerentanan, serta menerapkan prinsip nondiskriminatif.

Dalam kesempatan itu, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, yang merupakan bagian dari koalisi, menyoroti perlunya memasukkan asas kesetaraan gender secara eksplisit dalam Pasal 2 RUU EBET. Kepala Divisi Riset dan Advokasi PWYP Indonesia, Mouna Wasef, menyampaikan bahwa ketidakadilan gender merupakan bagian dari ketidakadilan historis yang harus diatasi melalui regulasi. Ia menegaskan bahwa pencantuman asas kesetaraan gender sangat penting untuk memastikan bahwa kepentingan perempuan dan kelompok rentan lainnya tidak terabaikan dalam implementasi transisi energi. Menurutnya, penulisan asas ini belum tentu menjamin pelaksanaan, sehingga jika tidak dicantumkan sama sekali, risiko pengabaian akan jauh lebih besar.

Selain itu, koalisi mendorong penerapan prinsip keadilan ekologis yang didasarkan pada pendekatan siklus hidup penuh dalam pengembangan energi, sehingga tanggung jawab atas pemulihan lingkungan dan sosial dapat dipastikan. Koalisi juga menekankan perlunya keadilan ekonomi melalui pemenuhan akses, keterjangkauan, ketersediaan, serta kepemilikan energi oleh masyarakat secara demokratis dan terdesentralisasi.

Koalisi memandang bahwa RUU EBET seharusnya fokus pada energi terbarukan dan tidak memasukkan kategori energi baru, mengingat sejumlah teknologi yang dikategorikan sebagai energi baru dalam draf RUU masih berbasis fosil, seperti produk turunan batu bara. Hal ini justru berpotensi memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil. Mengenai nuklir yang juga dimasukkan sebagai energi baru, koalisi berpendapat bahwa teknologi tersebut sebaiknya menjadi opsi terakhir dan tidak perlu diatur dalam RUU EBET karena telah memiliki payung hukum tersendiri.

Dalam rapat yang sama, koalisi turut memberikan rekomendasi terhadap RUU Ketenagalistrikan (Gatrik). Mereka mendorong adanya arah kebijakan yang lebih tegas dalam mendukung transisi energi berkeadilan, termasuk mengganti istilah “energi bersih” menjadi “energi terbarukan” untuk menghindari penafsiran yang bias, menetapkan prioritas penggunaan energi terbarukan dalam perencanaan ketenagalistrikan, memasukkan mandat penghentian bertahap energi fosil, serta memastikan selarasnya RUU tersebut dengan target iklim nasional.

Pada hari yang sama, koalisi juga menyampaikan rekomendasi serupa kepada Fraksi Partai Demokrat DPR RI. Dua anggota fraksi, Hasani Bin Zuber dan Andi Muzakkir Aqil, menerima langsung kehadiran perwakilan koalisi. Pertemuan tersebut menjadi bagian dari upaya koalisi untuk memastikan bahwa berbagai prinsip keadilan energi benar-benar menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan energi nasional, terutama pada saat Indonesia berada dalam fase penting menuju transisi energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Penulis: Ariyansyah N. Kiliu

Reviewer: Mouna Wasef

Privacy Preference Center

Skip to content