Seperti film cerita, genre film dokumenter di Indonesia juga terus berevolusi. Mencoba menepis anggapan sebagai film dengan penuturan yang membosankan. Dan kita memang melihat sejumlah inovasi yang dilakukan pembuat film dokumenter di negeri ini.

Isu-isu penting dan terjadi di masyarakat menjadi penanda betapa film dokumenter ini bisa dijadikan pengingat kita semua. Relevansi dan keberanian pembuat film dokumenter di negeri ini belakangan ini yang mengangkat isu-isu sulit dan tak jarang sensitif membuat film-film ini semakin patut dihargai.

Sayangnya memang masih susah betul bisa menyaksikan film-film tersebut. Sebagian besar hanya bisa diakses via festival. Sebagian lainnya hanya kita tahu ketika terpilih sebagai nomine di festival film bergengsi. Tapi film-film dokumenter ini layak bertemu penontonnya dalam skala yang lebih besar.

1. RODA-RODA NADA

Film dokumenter yang disutradarai Yuda Kurniawan ini dibuat dengan pendekatan observasi selama kurang lebih 3 tahun. Mengikuti Ubay (50 tahun), seorang musisi dangdut yang tinggal di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Bersama grup orkes gerobak dangdut yang dipimpinnya, ia ingin merekam lagu-lagu ciptaan mereka. Keinginan yang lama terpendam dan harus diwujudkan sebelum usia mereka semakin renta. Proses rekaman sederhana yang dibantu Didiet (53 tahun), sahabat mereka, tak seluruhnya berjalan mulus. Banyak rintangan yang dihadapi. Namun mereka terus berjuang untuk mewujudkannya.

“Roda-Roda Nada” pertama kali diputar untuk publik via Festival Film Dokumenter Jogja pada November 2022 lalu. Film ini juga meraih predikat Best Editing di Jogja-Netpac Asian Film Festival 2022.

2. ATAS NAMA DAUN

Ganja. Topik sensitif untuk dibicarakan beberapa orang. Melalui film dokumenter ini, Mahatma Putra selaku sutradara dan timnya mencoba membuka ruang diskusi sekaligus sarana refleksi bagi kita semua. Terbagi menjadi 5 bab, “Atas Nama Daun” menghadirkan beberapa sudut pandang yang masing-masing harus menjadi bahan pertimbangan kita semua untuk meninjau bagaimana seharusnya menyikapi isu ini.

Film yang menggunakan narator aktor kaliber, Tio Pakusadewo, ini terpilih sebagai nomine Film Dokumenter Panjang Terbaik Festival Film Indonesia 2022.

3. GOLEK GARWO

Basri berusia 62 tahun dan Musiyem berusia 56 tahun adalah pasangan yang bertemu di forum pencarian jodoh setiap bulan bernama Golek Garwo. Mereka menikah tapi keinginan Basri untuk hidup bersama Musiyem tidak dapat terjadi karena kondisi yang ada.

Bagi jurnalis Aulia Adam, film yang disutradarai Wahyu Utami ini juga memberi gambaran tentang bagaimana eratnya negara dan agama mengkonstruksi pernikahan.

Dok.Pribadi

4. DULHAJI DOLENA

Dulhaji tinggal di desa Api-Api di wilayah Pekalongan di Jawa Tengah. Tata kota yang buruk dan penyedotan air tanah yang berlebihan menyebabkan tanah di lingkungan sekitarnya semakin menurun. Karena itu kampungnya sudah beberapa kali terkena banjir parah sejak tahun 2008.

Dulhaji tak kenal lelah mengingatkan pihak yang berkepentingan untuk memperhatikan situasi kampungnya sambil tak kenal lelah mencari nafkah. Dulhaji adalah sebuah paket komplit dimana ia mencari nafkah, menyuarakan aspirasi yang macet dan menghibur masyarakat. Di tengah situasi kampung yang terus memburuk, Dulhaji bernyanyi dan menjadi badut yang bisa menjadi penyaluran yang lebih sehat.

Film yang disutradarai Anita Reza Zein ini terpilih sebagai nomine Film Dokumenter Pendek Terbaik Festival Film Indonesia 2020.

5. MINOR

Vena beragama Katolik. Ia tinggal di lingkungan mayoritas Islam di Aceh. Vena senang mengenakan jilbab dalam kesehariannya dan mempunyai banyak teman yang beragama Islam. Namun, bagaimana ia dapat terus hidup menjadi dirinya sendiri dan beradaptasi sebagai minoritas di lingkungan mayoritas Islam. Faktor keluarga memberi pengaruh dalam kehidupannya.

“Minor” adalah narasi kehidupan umat Kristiani di Aceh melalui penuturan observasional seorang gadis Kristen.

Film yang disutradarai Vena Besta Klaudina dan Takziyatun Nufus ini dipilih sebagai nomine Film Dokumenter Panjang Terbaik Festival Film Indonesia 2019.

6. IBU BUMI

Depan Istana Negara, Maret 2017. Beberapa orang yang mengenakan baju sederhana dengan caping memasukkan kakinya dalam sekotak kayu yang kemudian ditumpahkan semen basah. Ini adalah bentuk perlawanan dari petani Kendeng yang lingkungannya terganggu akibat pencemaran lingkungan disebabkan oleh pembukaan pabrik semen.

Bagus dan komunitas Sedulur Sikep memiliki kepedulian lingkungan yang sama. Bersama teman-temannya, Bagus mendirikan grup musik Kendeng Squad di mana mereka mengungkapkan kepedulian mereka terhadap masa depan lingkungan. Film ini merupakan produksi bersama Sedap Films dan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.

“Ibu Bumi” meraih Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik Festival Film Indonesia 2020.

Dok. Pribadi

7. SEJAUH KU MELANGKAH

Dua teman masa kecil yang kini beranjak remaja, Andrea dan Salsabila, hidup dengan kebutaannya masing-masing di dua negara yang berbeda: Amerika dan Indonesia. Keduanya berbagi harapan yang sama akan masa depan, ingin mandiri sebagai tuna netra supaya bisa mempersiapkan masa depan yang lebih baik di society yang belum sepenuhnya inklusif dan kerap masih tak ramah terhadap tuna netra seperti mereka.

“Sejauh Ku Melangkah” yang disutradarai Ucu Agustin ini terpilih sebagai Film Dokumenter Pendek Terbaik Festival Film Indonesia 2019.

Sumber: Makassar Today