JAKARTA, KOMPAS — Defisit fiskal di sektor minyak dan gas bumi menjadi perhatian penting terkait kinerja di sektor energi pada 2018. Sektor ini dinilai sangat rentan terhadap defisit. Penyebabnya, faktor volatilitas harga minyak mentah di pasar global yang tinggi. Di sisi lain, pemanfaatan biodiesel untuk menekan defisit juga masih menghadapi sejumlah kendala.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengatakan, ketergantungan pada energi fosil menjadi jebakan dalam pembangunan ekonomi nasional. Apalagi, lantaran faktor politik, pemerintah sulit melepaskan kungkungan subsidi energi fosil yang sudah berlangsung lama. Kondisi tersebut, selain faktor volatilitas harga, memperburuk posisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

”Dalam situasi seperti ini, strategi jangka panjang mengenai upaya mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil harus segera dilakukan. Hal ini akan menjadi tuntutan terhadap kebijakan pemerintahan di masa mendatang,” ujar Maryati saat dihubungi, Selasa (25/12/2018), di Jakarta.

Berdasarkan Neraca Pembayaran Indonesia yang diterbitkan Bank Indonesia, neraca migas pada triwulan III-2018 defisit 3,5 miliar dollar AS. Defisit ini lebih dalam dibandingkan dengan triwulan I-2018 yang sebesar 2,4 miliar dollar AS atau triwulan II-2018 yang sebesar 2,7 miliar dollar AS.

Penyebabnya, selain volatilitas harga, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional jauh melampaui kemampuan produksi minyak di dalam negeri.

Berdasarkan laman Bloomberg, Selasa malam, harga minyak mentah dunia jenis WTI 42,53 dollar AS per barel, sedangkan jenis Brent 50,47 dollar AS per barel.

Situasi defisit ini, lanjut Maryati, memaksa pemerintah meningkatkan produksi batubara untuk diekspor pada 2018 demi memperbesar perolehan devisa.

Padahal, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, pemerintah membatasi produksi batubara 406 juta ton pada 2018. Pemerintah mengubah target produksi 2018 menjadi 485 juta ton dan memberi tambahan kuota ekspor batubara 100 juta ton.

”Ada ketidakkonsistenan produksi batubara antara yang sudah direncanakan dengan realisasi di lapangan,” ujar Maryati.

Alternatif

Secara terpisah, anggota kelompok kerja Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Bob Soelaiman Effendi, mengatakan, ada jalan keluar untuk mengantisipasi volatilitas harga sumber energi primer, seperti batubara atau minyak dan gas bumi.

Salah satunya dengan memanfaatkan energi nuklir (PLTN) sebagai sumber energi primer pembangkit listrik. Selain nuklir, ada juga tenaga panas bumi dan hidro yang relatif tidak terpengaruh pergerakan harga batubara atau migas.

Selain itu, lanjut Bob, dalam rangka mencapai target bauran energi baru dan terbarukan pada 2025 sebesar 23 persen, hanya bisa dilakukan dengan pembangunan PLTN. Sejumlah kalangan meragukan Indonesia bisa mencapai target 23 persen tersebut dengan cara yang ada sekarang. Saat ini, porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional tidak lebih dari 10 persen.

Kementerian ESDM sudah menyusun sejumlah strategi untuk menekan defisit neraca migas. Pertama, meminta PT Pertamina (Persero) membeli seluruh produksi minyak mentah yang menjadi bagian kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) hulu migas di dalam negeri. Dari total produksi minyak mentah tahun ini yang diperkirakan sebesar 775.000 barel per hari, bagian KKKS sebesar 225.000 barel per hari. Pertamina menyebut realisasi kebijakan ini baru bisa dilakukan mulai 2019.

Kedua, kewajiban pencampuran biodiesel ke dalam solar yang dikenal sebagai mandatori B-20. Ketiga, menambah kuota ekspor batubara 100 juta ton. Keempat, memaksimalkan penggunaan konten lokal pada proyek hulu migas ataupun ketenagalistrikan. Kelima atau terakhir adalah digitalisasi pada semua stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) milik Pertamina.

Pemerintah menargetkan mandatori B-20 pada 2019 dapat menghemat devisa sampai 4 miliar dollar AS. Penggunaan B-20 sudah diperluas ke sektor nonpelayanan publik (PSO) mulai 1 September 2018.

Sumber: Kompas