KORANKALTIM.COM, SAMARINDA – Momentum Right to Know Day 2025 atau Hari Keterbukaan Informasi Publik Sedunia menjadi refleksi suram bagi pegiat transparansi di Kalimantan Timur (Kaltim).
Koalisi POKJA 30 bersama Fraksi Rakyat Kutim (FRK) dan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menilai keterbukaan informasi di sektor pertambangan masih sebatas slogan, meski sudah 17 tahun Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) diberlakukan.
Koordinator POKJA 30 Kaltim Buyung Marajo mengatakan, pemerintah dan korporasi masih bersembunyi di balik dalih pengecualian untuk menutup akses publik terhadap data tambang.
Koalisi POKJA 30 bersama Fraksi Rakyat Kutim (FRK) dan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menilai keterbukaan informasi di sektor pertambangan masih sebatas slogan, meski sudah 17 tahun Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) diberlakukan.
Koordinator POKJA 30 Kaltim Buyung Marajo mengatakan, pemerintah dan korporasi masih bersembunyi di balik dalih pengecualian untuk menutup akses publik terhadap data tambang.
“Sejak 17 tahun UU KIP berlaku, keterbukaan di sektor tambang masih jalan di tempat. Pemerintah lebih sering bersembunyi di balik dalih pengecualian. Padahal, transparansi adalah hak dasar warga negara,” tegas Buyung, Minggu (28/9/2025).
Buyung juga menilai tertutupnya informasi menjadi akar dari buruknya pelayanan publik dan suburnya praktik korupsi di sektor sumber daya alam.
“Bagian dari pelayanan publik yang buruk adalah tertutupnya informasi. Di situlah korupsi tumbuh. Karena masyarakat tidak tahu siapa pelaku penyimpangan dan bagaimana dana dikelola,” ujarnya.
Kritik itu menguat seiring kasus sengketa informasi antara warga Kutai Timur dan Kementerian ESDM terkait dokumen PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Dua aktivis, Erwin Febrian Syuhada dan Junaidi Arifin, sejak 2022 meminta dokumen AMDAL, RKAB, dan PPM perusahaan, namun ditolak. Komisi Informasi Pusat (KIP) akhirnya memutuskan dokumen tersebut bersifat terbuka, tetapi ESDM justru menggugat balik ke PTUN Jakarta.
“Ini bukan hanya soal dokumen teknis. AMDAL, RKAB, dan PPM menentukan masa depan lingkungan dan masyarakat Kutai Timur. Gugatan balik ESDM adalah tamparan keras bagi demokrasi,” ujar Erwin.
Senada, Junaidi menilai sikap ESDM itu mencerminkan lemahnya implementasi UU. “Kalau negara saja takut membuka dokumen lingkungan, bagaimana rakyat bisa percaya pada tata kelola pertambangan?” ujarnya.
Sementara itu, Peneliti PWYP Indonesia Muhammad Adzkia Fahrirahman menekankan pentingnya sinergi antara masyarakat sipil, media, dan akademisi dalam mendorong transparansi di sektor ekstraktif.
“Kami berharap dari refleksi ini lahir kesadaran baru. Pengawasan publik terhadap tambang harus menjadi isu nasional,” katanya.
Kegiatan refleksi keterbukaan informasi ini dihadiri akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan aktivis lingkungan yang sepakat bahwa keterbukaan informasi adalah fondasi utama bagi keadilan sosial dan tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan.
Sumber: Koran Kaltim