Jakarta – Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah berimplikasi pada pergeseran kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintah bidang Energi dan Sumber Daya Miberal (ESDM). Implikasi pergeseran kewenangan tersebut terjadi di mana pemerintah kabupaten/kota tidak lagi diberi kewenangan untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan industri ekstraktif seperti kehutanan, kelautan, serta ESDM.

Berdasarkan kondisi tersebut, PWYP Indonesia bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Ditjen Bina Bangda), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), menginisiasi penyusunan instrumen pengukuran kinerja penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ESDM di daerah. Melalui diskusi terfokus yang diselenggarakan pada Jumat (18/2) secara daring diungkapkan, bahwa upaya ini ditujukan untuk menghasilkan alat ukur kinerja di aspek perencanaan, pengorganisasian, implementasi, serta monitoring dan evaluasi dari pengelolaan kewenangan ESDM di daerah.

Miftah Adhi Ikhsanto, selaku tenaga ahli yang menyusun instrumen pengukuran kinerja menjelaskan, bahwa penyusunan instrumen ini didasarkan pada sejumlah dasar hukum. Yakni UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah; PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; dan Permendagri No. 13 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemendagri. Pada pelaksanaannya hingga hari ini, masih ditemukan adanya kendala di tataran operasional pengelolaan kewenangan ESDM yang bersumber dari proses pelembagaan urusan pada tingkat lokal dan integrasinya dengan program prioritas nasional.

“Sehingga, instrumen pengukuran ini disusun untuk melihat bagaimana integrasi implementasi urusan ESDM di daerah melalui otonominya dengan implementasi prioritas program nasional di bidang ESDM.” ujar Miftah.

Di tataran operasional, pengelolaan kewenangan ESDM mempunyai sejumlah kendala yang bersumber dari proses pelembagaan kewenangan pada tingkat daerah. Dalam hal ini, kewenangan di bidang ESDM merupakan kewenangan pilihan. Artinya, tidak semua daerah dapat melembagakan kewenangan tersebut bila tidak memiliki potensi baik di bidang geologi, bidang mineral dan batubara, bidang Energi Baru Terbarukan (EBT), maupun bidang Ketenagalistrikan. Akibatnya, target capaian bidang ESDM secara nasional belum terintegrasi secara maksimal ke dalam target pembangunan daerah.

Untuk itu, Miftah juga menerangkan bahwa instrumen ini nantinya juga diharapkan dapat menghasilkan keluaran berupa indeks kinerja penyelenggaraan, perencanaan, organisasi dan manajemen, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dalam implementasi urusan pemerintahan bidang ESDM di daerah. “Dalam hal ini, masing-masing indeks memiliki bobot peniaiannya.” terang Miftah.

Adapun prinsip pengukuran kinerja tersebut dibangun berdasarkan sejumlah prinsip yakni transparan, konkrit, konsisten, obyektif, dan akuntabel. “Transparan artinya harus mudah diakses, sedangkan konkrit berarti bersifat nyata dan jelas. Konsisten artinya perlu memperhatikan ketersediaan data, informasi dan kelengkapan lain yang dibutuhkan dalam penilaian. Sedangkan obyektif berarti dilaksanakan secara professional, dan akuntabel berarti harus dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.” terang Miftah.

Dodo Hia dari Ditjen Otonomi Daerah, Kemendagri, mengapresiasi kerjasama penyusunan instrumen dengan melihat variabel dan indikator penilaian yang sudah baik. Dalam hal ini, Dodo berharap agar jangan sampai proses ini membuat saling tumpang tindih dengan kewenangan di antara instansi, melainkan lebih diarahkan untuk sinergi.

Di sisi lain, Agus Nurhudoyo, dari Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM, menggambarkan adanya kondisi riil dan tantangan khusus yang ditemukan di daerah di mana rata-rata kinerja pemerintah daerah yang terkait dengan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) hanya terbatas pada rasio elektrifikasi dan EBT.

“Rasio elektrifikasi dan EBT ini yang harus ditingkatkan karena adanya peningkatan bauran energi ke depan. Misal, jika daerah penghasilannya meningkat, maka konsumsinya meningkat. Peningkatan ini dilihat, jika konsumsi listriknya meningkat maka ekonominya meningkat.” ujar Agus.

Sedangkan Aryanto Nugroho, selaku Koordinator PWYP Indonesia, berharap agar ke depannya instrumen ini bisa dikembangkan tidak hanya untuk sektor ESDM, melainkan juga sektor-sektor lain. Sementara, Tavip Rubiyanto dari Ditjen Bina Bangda, Kemendagri, melihat adanya kebutuhan pertemuan lanjutan guna mematangkan kembali instrumen pengukuran yang sedang dikerjakan berdasarkan masukan diterima.

Penulis: S. Al Ayubi
Reviewer: Meliana Lumbantoruan