tirto.id – Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) membangun posko pemantauan pelanggaran penambangan cekungan air tanah (CAT) Watuputih di Pegunungan Kendeng Utara, Rembang, Jawa Tengah, Senin (24/6/2019).
Sejumlah warga yang tergabung JMPPK mengenakan pakaian ala tokoh pewayangan Punokawan. Selama proses pendirian posko, sejumkah petugas keamanan mengawasi warga.
Aktivis JMPPK, Ngatiban mengatakan, posko ini dibangun di atas wilayah Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di Rembang. “Hal ini, karena perusahaan ini nyata melakukan penambangan pakai alat berat dan bahan peledak. Berdasar Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kendeng dilarang ada penambangan di wilayah CAT Wapututih,” kata dia dalam rilis kepada Tirto, Senin (24/6/2019).
Larangan ini, kata dia, seharusnya membuat PT Semen Indonesia tidak menambang di CAT Watuputih, sehingga tetap mengambil bahan baku dari Kabupaten Tuban, Jawa Timur. KLHS Kendeng Tahap I dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Kantor Staf Presiden (KSP) pada 2017. CAT Watuputih terkategori sebagai kawasan lindung, sesuai kriteria yang ditetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional. CAT Watuputih direkomendasikan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). “Pemprov Jawa Tengah dan Pemkab Rembang diminta mengusulkan kepada Kementerian Energi Sumber Daya Mineral untuk menetapkan ditetapkan sebagai kawasan KBAK, sampai sekarang belum ada tanda-tanda dilakukan,” ujar dia.
Ngatiban juga mengatakan, aktivitas penambangan yang dilakukan PT Semen Indonesia membuat wilayah pertanian di sana selalu ditutupi debu, sehingga produktivitas lahan menurun drastis.
“Kekeringan semakin memaksa kami memperdalam sumur-sumur kami karena air semakin sulit didapatkan,” ujar dia. Sementara embung yang dibuat Semen Indonesia hanya menjadi penjemput ajal, menurut dia, berdampak 4 orang meninggal karena tenggelam
“Posko ini juga menjadi ganti tenda perjuangan yang dulu pernah kami dirikan, namun dirusak dan dibakar secara keji, yang hingga saat ini pelakunya belum ditangkap Polres Rembang,” imbuh dia. Diketahui, tenda yang dibuat JMPPK berdiri pada 16 Juni 2014. Namun pada 10 Februari 2017 sekitar pukul 19.30, tenda dirusak dan dibakar sekitar 70-an orang. Hingga saat ini pelaku belum ditangkap, polisi mengaku kesulitan memperoleh bukti.
Sumber: Tirto