Pada 7-8 Juli 2017, akan terselenggara Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Hamburg, Jerman. Forum terdiri dari 20 negara anggota ini akan membahas isu penting perekonomian dunia, antara lain soal perubahan iklim. Negara-negara G20, menghasilkan 85% produk domestic bruto (GDP) dunia bertanggungjawab terhadap 75% emisi global.
Menjelang pertemuan ini, masyarakat sipil dunia tergabung dalam Civil20 (C20) merumuskan masukan yang kemudian diberikan pada Presiden G20, Angela Merkel, Kanselir Jerman. Isu perubahan iklim dan ancaman terhadap pembangunan berkelanjutan jadi masukan utama selain soal keuangan yang adil.
Di Indonesia, Forum Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Luar Negeri juga merumuskan sikap dan masukan kepada Pemerintah Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam G20 ini.
Yesi Maryam, Outreach Officer Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, berdasarkan Brown to Green Report 2017 yang diluncurkan Climate Tranparency awal pekan ini, negara G20 memulai transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Meskipun begitu, katanya, upaya ini sangat lambat dalam mencegah kenaikan di bawah dua derajat celcius sesuai target Kesepakatan Paris.
Dia contohkan Indonesia, menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca hingga 2030. Sayangnya, belum sejalan dengan target Kesepakatan Paris.
Kebijakan sektoral, dinilai belum cukup baik, dan minim strategi penurunan emisi jangka panjang. Walaupun, katanya, cukup berhasil dalam pengurangan subsidi bahan bakar fosil, namun dukungan instrumen pendanaan publik untuk energi terbarukan minim.
Daya tarik investasi energi terbarukan, ucap Yesi, sangat rendah dibanding negara G20 lain. Untuk itu, IESR, meminta Presiden Joko Widodo dalam KTT G20, memperkuat ekonomi Indonesia sejalan dengan Kesepakatan Paris.
“Mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca sektor kehutanan, lahan gambut dan energi terbarukan lebih ambisius sebelum 2020.”
Berdasarkan trend, jika negara G20 tetap melakukan bisnis seperti biasa (bussiness as usual), diperkirakan temperatur global naik tiga sampai empat derajat, seperti tercantum dalam laporan Brown to Grown Report 2017: The G20 Transition to Low Carbon Economy.
Laporan ini diterbitkan Konsorsium Climate Transparency terdiri atas lembaga dan ahli dari beberapa negara G20, yakni Meksiko, Afrika Selatan, Australia, Inggris, Indonesia, Argentina, Brasil, China, India, Jerman, dan Perancis. Lembaga yang tergabung dalam konsorsium ini seperti Overseas Development Institute (ODI), IESR, Climate Action Tracker (CAT), Climate Change Performance Index (CCPI), HumboldtViadrina, New Climate Institute, dan Germanwatch.
”Pesan utama dalam laporan ini bahwa negara-negara G20 telah melakukan dekarbonisasi, tetapi tak cukup cepat mencapai target dari komitmen dalam Kesepakatan Paris,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Pada 1990-2014, emisi gas rumah kaca (GRK) negara G20 meningkat 34% dengan pertumbuhan ekonomi 117%. Laporan ini pun jadi rekomendasi mendorong pemerintah membuat kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan.
Sayangnya, pengembangan energi terbarukan masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara anggota G-20. Penelitian ini memaparkan penyebab daya tarik investasi karbon rendah karena kualitas kerangka regulasi tak pasti, pendanaan dan upaya dekarbonisasi.
Padahal, katanya, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan cukup tinggi, namun sangat tertinggal. Dia contohkan, aksi bertolak belakang dengan Kesepakatan Paris dalam menurunkan emisi dengan rencana pemerintah masih mengandalkan energi barubara.
Fabby bilang, dalam lima tahun terakhir, Indonesia masih mengandalkan bahan bakar fosil, terutama minyak dan batubara. Sedangkan negara anggota G20 lain sudah lari ke energi terbarukan.
Senada dengan Yesi, dia bilang, Indonesia ada upaya kurangi energi fosil tetapi perlu strategi, rencana dan kebijakan progresif dalam melakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Berdasarkan lembaga riset Renewable Energy Country Attractiveness Index (Recai), daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia tak baik. Pada Oktober 2016, Indonesia menempati peringkat ke-38 dari 40 negara, namun Mei 2017, posisi Indonesia tak lagi disana.
”Ini karena kerangka regulasi energi terbarukan masih di bawah sejumlah negara G20 dan regulasi selalu berubah membuat investasi tak aman,” ujar Fabby.
Nur Masripatin, Direktur Jenderal Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup, mengatakan, KLHK sudah mendorong ada instrumen kebijakan seperti pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) untuk pengelolaan dana lingkungan hidup. BLU ini, katanya, bisa meyakinkan pemodal untuk berinvestasi, termasuk energi terbarukan.
BLU ini, katanya, jadi lembaga keuangan yang membiayai upaya penurunan emisi karbon dan kegiatan perlindungan lingkungan hidup.
”Ini penting karena mekanisme APBN tak fleksibel untuk seluruh penggunaan karena yang mengakses dana tak hanya pemerintah.”
Meski demikian, sebelum rancangan Perpres itu ditandatangani, KLHK harus menyelesaikan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, merupakan turunan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. ”Masih proses, kami minta secepatnya. Ini penting.”
Kebijakan Harus Jelas
Arief Wijaya, Manajer Senior Hutan dan Iklim WRI menyatakan, pemerintah perlu tegas dalam perumusan kebijakan dan rencana aksi dalam memudahkan investor energi terbarukan agar tertarik ke Indonesia.
”Perlu ada komitmen jelas dari para pemimpin negara dan pengambil keputusan untuk memahami terkait sumber energi terbarukan,” katanya, seraya bilang, setidaknya, kebijakan itu bisa menyeimbangkan antara energi fosil dan terbarukan.
Laporan keberlanjutan
Forum juga soroti soal kewajiban pelaporan berkelanjutan. Jalal, Penasihat Kebijakan Keuangan Transparansi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, mengatakan TuK menuntut pemerintah Indonesia mewajibkan pelaporan keberlanjutan dengan segera.
“Sangat jelas, perusahaan-perusahaan di dunia cenderung menutupi berbagai dampak negatif operasi mereka. Sudah bukan saatnya perusahaan seenak udel tak melaporkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan mereka,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (6/6/17).
Perusahaan-perusahaan besar, terutama yang tergabung dalam Bursa Efek Indonesia sudah seharusnya wajib melaporkan kebijakan, program dan kinerja keberlanjutan dengan komprehensif.
Selama ini, katanya, kewajiban pelaporan bagi perusahaan yang melantai di BEI masih asal-asalan dan sangat longgar.
Pewajiban laporan itu, kata Jalal, diikuti pengawasan ketat dan kejelasan kewajiban ekonomi, sosial dan lingkungan perusahaan. Hal ini, katanya, akan bisa mengubah praktik perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia maupun dunia.
Pemerintah, katanya, bisa juga membuat regulasi tegas dan menciptakan sistem insentif bagi perusahaan yang mengarah pada keberlanjutan dan disinsentif bagi yang bertentangan dengan keberlanjutan.
“Perusahaan harus bertanggungjawab terhadap dampak-dampak ini. Sekarang banyak mengaku, sebenarnya brain washing. Peduli tapi paling merusak lingkungan,” katanya.
Selain itu, fokus negara-negara ini mesti diarahkan pada keuangan berkelanjutan. “Waktu kita pendek sampai 2030 untuk menyelematkan diri dari perubahan iklim.”
Salah satu pemangku kepentingan yang paling perlu diubah perilaku adalah lembaga jasa keuangan.”Sudah saatnya pendanaan publik maupun swasta ditimbang dengan ukuran tegas. Yang membantu mencapai tujuan SDG’s dan Kesepakatan Paris, itulah yang dibiayai. Yang bertentangan dengan keduanya segera perlu dimasukkan dalam daftar negatif dan tak dibiayai.”
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) mengatakan, Indonesia dan negara G20 penting memastikan perusahaan ekstraktif mematuhi standar internasional dalam pembangunan berkelanjutan. Memastikan mereka memperhatikan aspek HAM, lingkungan, tata kelola transparan dan akuntabel serta hak pekerja.
Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), menyoroti proteksionisme melalui reformasi kebijakan perdagangan dan investasi internasional yang harus disikapi hati-hati.
Dia mencontohkan, berbagai kebijakan dalam negeri untuk meningkatkan daya saing rentan digugat lewat pengadilan arbitrase internasional. Misal, kebijakan pemerintah Indonesia membatasi ekspor konsentrat untuk memperkuat industri hilir diprotes dan digugat banyak negara.
Forum masyarakat sipil untuk kebijakan luar negeri antara lain terdiri dari IESR, Migrant Care, Prakarsa, Walhi, PWYP, dan TuK Indonesia menyatakan dukungan pada kesimpulan rekomendasi C20 dalam pertemuan di Hamburg, 19 Juni 2017. Rekomendasi itu antara lain, desakan pada penghentian perlakuan atas lingkungan, lautan dan atmosfer seolah tempat pembuangan sampah tanpa batas untuk beragam jenis polusi dan gas rumah kaca.
Juga melaksanakan segera Kesepakatan Paris dengan strategi iklim jangka panjang yang ambisius, menghapuskan bahan bakar fosil, menetapkan sinyal harga karbon efektif dan adil. Kemudian, menggeser arus keuangan untuk mempromosikan transformasi dari ketahanan serta berpegang teguh pada janji untuk meningkatkan biaya iklim.
***
KTT ini menjadi sebuah pertemuan pertama para pimpinan global, sejak Donald Trump, Presiden Amerika Serikat menyatakan menarik diri dari Perjanjian Paris.
Andrew Light, Distinguished Senior Fellow, Program Iklim, WRI Global,mengatakan, G20 akan menunjukkan bagaimana negara lain mengirimkan sinyal kuat untuk mendukung Persetujuan Paris, meski ada keraguan AS.
”Banyak pihak mendukung Jerman, sebagai tuan rumah G20, memiliki pernyataan komperhensif dalam mendukung kesepakatan Paris Agreement dan Sustainable Development Goals, pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi,” katanya kepada Mongabay.
Sebelumnya, AS telah mengumumkan NDC, mengurangi 26-28% emisi pada 2025, dimana komitmen kuat banyak berasal dari negara bagian besar seperti New York dan Washington DC. ”Administrasi ada keputusan Trump bisa membalikkan beberapa kebijakan terkait iklim yang ada.”
Arief menambahkan, Indonesia harus memainkan peran lebih vocal dalam negosiasi G20 ini. “Saatnya kita menunjukkan posisi penting dan unik di G20 dari sudut pandang lingkungan.”
Indonesia, katanya, memiliki lahan gambut tropis signifikan, memiliki hutan hujan terbesar ketiga di dunia.
Dia berharap, Presiden bisa menyampaikan pesan yang memberikan dampak baik bagi penanganan perubahan iklim, misal, pesan tentang investasi dan pembangunan Indonesia dalam energi terbarukan dan bagaimana Indonesia mendorong industri ramah lingkungan.
Selanjutnya, WRI mengharapkan, delegasi Indonesia bisa membawa rencana tindakan nyata dari NDC ke bagian pembangunan berkelanjutan, iklim dan energi. ”Lebih penting lagi, pemikiran tentang pembangunan berkelanjutan harus menjadi dasar setiap keputusan dan kebijakan yang dibuat,” katanya.
Sumber: mongabay.co.id