- Kutukan sumber daya alam (SDA) melanda banyak negara di dunia. Memiliki SDA yang melimpah tapi tidak mampu mensejahterakan masyarakatnya.
- Beberapa faktor menjadi penyebab kutukan SDA yang banyak melanda negara di Afrika, bahkan Arab Saudi juga disebut ikut terkena.
- China juga disebut terkena kutukan SDA yang terjadi di beberapa wilayah, begitu juga di Indonesia berdasarkan hasil studi.
Jakarta, CNBC Indonesia – Banyak negara di dunia yang diberkahi kekayaan alam yang melimpah, mulai batu bara, minyak mentah, gas alam, emas hingga berlian. Namun, dengan kekayaan itu tidak mampu membuat negara tersebut menjadi makmur. Hal itu disebut sebagai kutukan sumber daya alam (SDA).
Melansir Investopedia, yang paling umum menyebabkan kutukan tersebut adalah fokus negara mengembangkan satu sektor industri saja, misalnya pertambangan ada pengeboran minyak mentah.
Pemerintahan yang kurang bagus, hingga korupsi juga menjadi penyebabnya. Ketika kekayaan negara terkonsentrasi pada beberapa industri saja, maka pemerintah bisa menyalahgunakan kekuasaannya.
Ada lagi faktor investasi yang hanya mengalir ke beberapa sektor saja, begitu juga dengan penyerapan tenaga kerja, sehingga industri lainnya tidak berkembang,
Beberapa negara yang sering disebut terkena kutukan SDA yakni Angola Nigeria, Zambia, Sierra Leone, Venezuela dan Arab Saudi.
Angola misalnya, negara yang sangat kaya akan sumber daya alam, tetapi memiliki produk domestik bruto (PDB) salah satu terendah di dunia. Melansir data dari World Bank, nilai PDB Angola pada 2021 hanya US$ 67,4 miliar. Sementara PDB per kapita kurang dari US$ 2.000.
Angola memiliki minyak mentah, gas alam, hingga berlian yang melimpah. Produksi minyak mentahnya lebih dari satu juta barel per hari pada Februari 2023 lalu, melansir data CEIC.
Berbeda dengan Angola, Arab Saudi mulai lepas dari kutukan SDA. Arab Saudi sudah mulai mendiversifikasi perekonomiannya.
Pangeran Mohammed bin Salman, putra mahkota sekaligus pemimpin de facto Kerajaan Arab Saudi mencanangkan perubahan besar-besar sejak 2016 lalu melalui proyek “Vision 2030”. Tujuan utamanya untuk melepaskan ekonomi Arab Saudi dari ketergantungan dengan minyak mentah.
Beberapa proyek “gila” seperti Neom yang dirancang sebagai kota futuristik, kemudian proyek Laut Merah dan Pulau Surga menelan biaya ratusan miliar dolar Amerika Serikat. Bahkan deputi menteri investasi Arab Saudi Saad Al-Shahrani proyek Vision 2030 secara kumulatif akan menarik investasi senilai US$ 3,3 triliun dan US$ 480 miliar penanam modal asing pada periode 2021 – 2030.
Nilai yang sangat fantastis, tetapi juga akan mampu melipatgandakan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi Arab Saudi.
Ide awal Vision 2030 berasal dari riset yang dilakukan perusahaan konsultan McKinsey Global Institute (MGI) pada 2015 lalu. Riset tersebut menunjukkan bagaimana Arab Saudi sangat bergantung pada minyak mentah.
Penjualan minyak mentah berkontribusi sebesar 42% dari total PDB, 90% dari total ekspor dan 87% dari pendapatan negara. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya Arab Saudi jika harga minyak mentah jeblok.
Dalam riset tersebut, MGI juga menyatakan pertumbuhan yang didorong produktivitas bisa menyelamatkan perekonomian Arab Saudi ketika harga minyak mentah jeblok.
Menurut MGI, Arab Saudi perlu berinvestasi di sektor dengan pertumbuhan tinggi seperti pertambangan dan logam, petrokimia, pariwisata dan perhotelan, perawatan kesehatan, finansial, manufaktur dan lainnya.
Guna melakukan perubahan tersebut, estimasi nilai investasi yang diperlukan mencapai US$ 4 triliun hingga 2030. Tetapi, nilai investasi tersebut akan sebanding dengan hasilnya, lapangan kerja yang tercipta diperkirakan mencapai 6 juta dan PDB Arab Saudi bisa tumbuh dua kali lipat di 2030.
Berdasarkan data dari World Bank, nilai PDB Arab Saudi pada 2014 sebesar US$ 746 miliar. Artinya jika tumbuh dua kali lipat pada 2030 bisa mencapai US$ 1,5 triliun.
China dan Indonesia
China boleh jadi negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, tetapi kutukan SD juga membayangi. China memang salah satu importir komoditas terbesar di dunia, tetapi juga diberkahi dengan SDA yang melimpah.
Untuk batu bara misalnya, pada 2021 China memproduksi 3,7 miliar ton batu bara, jauh lebih tinggi ketimbang Indonesia sekitar 500 juta ton, melansir data Worldometer. China merupakan produsen batu bara terbesar, sekaligus juga importir terbesar. Artinya, kebutuhan di dalam negerinya memang sangat besar.
Perekonomian China dalam beberapa dekade terakhir memang meroket, menjadi yang terdepan. Namun belakangan mulai menujukkan pelambatan yang signifikan. Banyak yang memprediksi China tidak akan mampu menembus pertumbuhan dua digit lagi, rata-rata jangka panjang bahkan diprediksi sekitar 4% saja.
Sebuah riset jurnal yang dipublikasikan Elsevier mencoba kutukan SDA yang melanda China. Jurnal dengan judul Is China Affected by the Resource Curse? A Critical Review of the Chinese Literature tersebut meneliti 44 tulisan studi yang diterbitkan di tingkat provinsi dan kota pada periode 2005 hingga 2017.
Hasilnya, mayoritas studi tersebut menyatakan kutukan SDA itu memang ada, terutama di wilayah tengah dan barat China. Meski demikian, beberapa studi juga menyatakan sebaliknya. Sehingga kutukan SDA disebut masih ambigu.
Sama dengan China, kutukan SDA juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dalam rilisnya pada September 2020 lalu menulis ada beberapa daerah yang terkena kutukan SDA.
Sebelumnya, PWYP Indonesia mengadakan Knowledge Forum (PKF) bertajuk “Resources Curse, Korupsi dan Tata Kelola SDA (Indeks Resourse Curse Daerah Kaya SDA Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia) pada 6 Agustus 2020 yang dihadiri Dr. Hania Rahma.
Harian merupakan pemerhati isu SDA sekaligus akademisi dari Universitas Indonesia, dengan disertasi terkait fenomena kutukan SDA. Disertasi tersebut berusaha menjawab apakah ada kutukan SDA di Indonesia dan seberapa besar.
Ia menggunakan indeks Regional Resource Curce Indonesia (RRCI) untuk mengukur derajat kutukan SDA di 33 provinsi di Indonesia.Hasilnya, wilayah atau provinsi yang memiliki tingkat kutukan SDA tinggi ada di Kalimantan Timur, Papua Barat, Papua, Riau, dan Aceh.
Sumber: CNBC Indonesia