Jakarta, Gatra.com – Gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada 15-16 November lalu turut membahas mengenai isu transisi energy. Hasilnya, beberapa dokumen kesepakatan Negara anggota menunjukkan komitmen menuju transisi energy, salah satunya yaitu Background Note on Mitigating Corruption Risks in Renewable Energy.
Koordinator Nasional organisasi masyarakat sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho mengatakan bahwa terdapat beberapa catatan penting dalam background note ini. Hal ini harus menjadi perhatian, terutama bagi Indonesia yang memiliki sumber daya mineral sebagai pengganti sumber daya batu bara nantinya dalam menuju energy bersih.
“Meskipun judulnya mitigasi risiko korupsi di energy baru terbarukan, catatan penting yang kita baca dari dokumen background note ini ada beberapa. Pertama, industry mineral kritis berperan penting dalam pengembangan energy terbarukan. Kedua, teknologi rendah karbon membutuhkan mineral lebih intensif dibandingkan dengan teknologi bahan bakar fosil,” terangnya dalam diskusi bertajuk “Refleksi Agenda Transisi Energi Berkeadilan dalam Kebijakan Rantai NIlai Mineral Indonesia”, Rabu (21/12).
Ia juga menjelaskan bahwa peningkatan penerapan teknologi energy terbarukan modern akan meningkatkan permintaan unsur tanah jarang dan input mineral lainnya. Ini harus menjadi perhatian penting karena berpotensi dieksploitasi.
“Kalau kita mau mendorong teknologi yang lebih bersih, kita lebih banyak butuh mineral, artinya mengembangkan energy bersih sama dengan mengekstrasi mineral. Apalagi, permintaan terhadap tembaga, besi, timah, neodymium, dan seng, diperkirakan meningkat lebih dari 200% pada 2050 mendatang,” paparnya.
Selain itu, produksi grafit, litium, dan kobalt juga harus ditingkatkan lebih dari 450% pada 2050 demi memenuhi permintaan dari teknologi penyimpanan energy. Adanya kemungkinan ini sesuai dengan scenario upaya membatasi kenaikan suhu global rata-rata.
Ary menyebutkan bagaimana kondisi di Indonesia dalam menghadapi proses transisi energy ini. Ia mengatakan bahwa Indonesia perlu memperhatikan kesiapannya dalam hal ini. Menurutnya, Indonesia adalah pemilik cadangan mineral luar biasa. Namun, perlu diperhatikan bagaimana transisi menuju energy bersih turut membutuhkan infrastruktur yang tepat untuk bisa menghasilkan energinya.
“Ada upaya untuk mengeksploitasi besar-besaran mineral. Jangan sampai, atas nama energy bersih ini, eksploitasi dilakukan secara besar-besaran. Kalau Indonesia menuju ke negara industri, pertanyaannya bukan kebutuhan mineral ini bukan untuk energy bersih saja tapi untuk industry lain,” ujarnya.
Catatan menarik menjadi perhatian Ary dalam dokumen ini. Hal ini terkait dengan bagaimana peran swasta dalam mengatasi risiko korupsi di bidang energy. Di Indonesia sendiri, berdasarkan temuan KPK, permasalahan korupsi di sektor pertambangan meliputi ekspor illegal, ketidaksesuaian bayar pajak, hingga ketiadaan kontribusi bagi ekonomi lokal yang membawa kerugian bagi Negara.
“Risiko korupsi tidak hanya dicegah pemerintah saja, tapi memerlukan sektor swasta untuk mencegah korupsi atau risiko korupsi,”
Dengan adanya potensi korupsi yang cukup tinggi, ia mendorong upaya pengawasan dilakukan berbagai pihak. Dorongan bagi perusahaan untuk bersikap patuh terhadap hukum yang ada juga harus terus dilakukan agar mitigasi korupsi bisa terjadi.
“Kita bicara apa yang harus harus dilakukan KPK, kepolisian, penegak hukum di Indonesia. Mereka harus didorong untuk melakukan pencegahan dan penindakan. Swasta juga didorong sebagai aktor penting dalam mencegahnya,” pungkasnya.
Sumber: Gatra