Pada 12 Februari 2020 lalu, pemerintah resmi menyerahkan kepada DPR Draf RUU Cipta Kerja, salah satu RUU Omnibus Law yang belakangan mengundang kontroversi, karena prosesnya yang dianggap tertutup dan terlalu ambisius. Seiring dengan perkembangan isu tersebut, PWYP Indonesia menyelenggarakan PWYP Knowledge Forum (PKF) pada Senin (17/2) lalu, bertajuk “Implikasi Omnibus Law terhadap Upaya Penataan Ruang dan Pencegahan Korupsi Sektor SDA”. Hadir sebagai pembicara yakni Prof. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, dan Muhammad Isro, selaku wakil dari Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (STRANAS PK).
Melalui paparannya, Prof. Hariadi menilai Omnibus Law merupakan suatu bentuk perubahan yang luar biasa, sehingga masyarakat harus mengetahuinya. Namun sayangnya, perhatian publik yang berkembang masih bersifat inkremental. Hal ini tidak terlepas dari ketidakjelasan informasi selama ini terhadap Draf RUU maupun Naskah Akademiknya.
Lebih lanjut, Prof HK menyatakan bahwa Omnibus Law memiliki implikasi yang serius terhadap penataan ruang. Hal ini dapat dilihat dari beberapa dimensi, di antaranya korupsi, yang menurut berbagai kajian dinilai menjadi alasan utama perginya investasi dari Indonesia, dan bukan karena prosedur sebagaimana pemerintah asumsikan selama ini. “Praktik korupsi di lapangan ini mencakup berbagai jenis yakni korupsi politik, korupsi penegakan hukum, korupsi perizinan, korupsi pengadaan barang & jasa, dan korupsi pelayanan publik.” Imbuhnya. Hal ini selaras dengan data KPK yang menunjukkan Kasus Penyuapan sebagai tertinggi dalam rentan waktu 2004-2017 dengan 340 kasus atau 55%.
Melalui hasil kajiannya, Prof HK juga menjabarkan adanya msalah politik yang bersifat struktural dari mulai benturan kepentingan dalam pendanaan Pilkada yang dilakukan antara donatur dengan calon kepala daerah, korupsi dalam alur Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), hingga modus dalam proses pemberian izin seperti manipulasi data, pemerasan, hingga jual beli dokumen seperti AMDAL maupun Izin Lingkungan yang marak terjadi di daerah. “Di Riau dan Papua Barat itu banyak beredar peta palsu, yang menimbulkan terjadinya pemerasan, tawaran penambahan luasan izin, dan biaya pengesahan dokumen.” Terangnya.
Penyusunan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini, simpul Hariadi, tidak didasarkan pada masalah nyata di lapangan, dan pemerintah seolah hendak mempertaruhkan proteksi lingkungan hidup demi investasi alih-alih melihat sumber daya alam sebagai ‘ruang hidup’.
“Akibat kepentingan, kegiatan pseudo-legal ini telah mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Padahal, situasi ‘bad governance’ memerlukan solusi menyeluruh, bukan hanya undang-undang” Tutupnya.
Di sisi lain, Muhammad Isro sebagai anggota Tim Stranas PK, menyampaikan bahwa berdasarkan Perpres 54 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Bersama, salah satu fokus dan aksi Stranas PK tahun 2019-2020 yaitu terkait perizinan dan tata niaga yakni melakukan perbaikan tata kelola data dan kepatuhan di sektor ekstraktif, kehutanan, dan perkebunan. Salah satu tools yang digunakan yakni melalui Kebijakan Satu Peta (One Map Policy).
“Pilot project implementasi One Map Policy ini dilakukan di Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Riau dan Papua, bekerjasama dengan lintas kementerian, Badan Geospasial, dan pemerintah provinsi setempat.” Ujar Isro.
Adapun tahapan kebijakan satu peta ini dimulai dengan berbagi pakai data, sinkronisasi, integrasi, dan kompilasi. Data-data tersebut di antaranya Surat Keputusan (SK), lampiran peta, dan peta digitalnya. “Setelah proses kompilasi selesai dan diintegrasikan dengan peta dasar, akan dilakukan sinkronisasi sehingga keluar PITTI IGT (Peta Indikatif Tumpang Tindih Informasi Geospasial Tematik).” Namun, menurut hasil evaluasi terdapat kendala utama yang ditemukan di lapangan yakni minimnya data baik SK, lampiran peta, maupun shapfile-nya
Berkaitan dengan Omnibus Law, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dikatakan menjadi kunci dalam mendorong perizinan. Hal ini otomatis masuk dalam fokus kerja Stranas PK karena RDTR ada di dalam kebijakan Satu Peta. “RDTR menjadi salah satu instrument debottlenecking pelaksanaan aksi, yaitu terkait Online Single Submission, Kebijakan Satu Peta, dan Penetapan Kawasan Hutan. Percepatan Penyusunan RDTR ini, sebut Isro, akan dipantau melalui laman https://jaga.id/monitoring.
“Kebutuhan RDTR berdasarkan Dirjen Tata Ruang hampir berjumlah 2000 RDTR. Sementara posisi saat ini RDTR baru ada sekitar 50. Sehingga menurut kami, ketika RUU CK ini berlaku dan dikaitkan dengan OSS, saya rasa kesiapannya masih belum.”
Kedua pembicara bersepakat, bahwa pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini adalah keharusan. Prof. HK menyampaikan masyarakat sipil dapat melakukan Corruption Impact Assesment (CIA) yakni memeriksa apakah di setiap pasal-pasal RUU CK ini berpeluang memberikan ruang korupsi. CIA ini dapat dijadikan bahan untuk memikirkan dampak negatif jika RUU CK diterapkan. Rekomendasi yang bersifat advokasi risiko juga penting disampaikan kepada pemerintah seperti kerentanan terjadinya konflik sosial pada suatu daerah jika rancangan undang-undang tersebut disahkan. Mengingat kondisi sosial di setiap daerah Indonesia beragam, bisa saja RUU CK cocok diterapkan di pulau Jawa, namun ternyata tidak cocok untuk Papua.
Sebagai informasi, pemerintah dalam perjalanannya hendak menyusun 4 (empat) Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law yaitu RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN), RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Saat ini paket RUU Omnibus Law tersebut telah masuk sebagai bagian dari 50 RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. (AA/WC)