Gelombang transparansi di sektor industri ekstraktif telah berdampak pada pembukaan data di sektor yang sarat akan ketertutupan, baik itu data penerimaan maupun kontrak. Pembukaan data tidak serta merta menjamin terwujudnya akuntabilitas, namun perlu pengolahan lebih lanjut agar data tersebut bermakna. Financial modelling dapat menjembatani gap tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Johnny West, founder Open Oil, lembaga konsultansi keterbukaan di sektor ekstraktif yang berbasis di Berlin, dalam PWYP Knowledge Forum bertajuk Financial Modeling dalam Sektor Indutri Ekstraktif, Juli lalu di Jakarta.

Sebagai pengantar, Johnny memaparkan pentingnya penyusunan financial model dalam sektor industri ekstraktif, khususnya migas dan tambang. Ia menjelaskan bahwa kedua industri tersebut diatur oleh kontrak. Namun perlu diingat bahwa kontrak berlaku di “lingkungan” yang kompleks dan karenanya negosiasi bersifat permanen yang mana uang selalu menjadi pembahasan utama. Sangat umum ditemukan di media bagaimana pemerintah berdiskusi alot dengan pelaku usaha terkait tarif royalti maupun ketentuan perpajakan.

“Padahal kontrak sendiri adalah jaringan kusut, bagian di dalamnya saling terkait satu sama lain. Inilah yang banyak diabaikan oleh pembuat kebijakan. Wacana kenaikan royalti biasanya diusung oleh pemerintah dengan dalih meningkatkan penerimaan negara. Padahal menaikkan tarif royalti berarti menurunkan pendapatan pajak, karena pembayaran royalti termasuk biaya dan menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Pada akhirnya, mungkin penerimaan negara tidak banyak berubah,” jelas Johnny.

Johnny memandang pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dalam diskursus ini dan financial model dapat menyajikan bukti yang dapat digunakan oleh masyarakat sipil serta dapat diakses oleh publik. Dibutuhkan pandangan alternatif yang tidak serta merta memusatkan pembahasan pada tingkat keekonomian semata.

Forum sharing ini dilanjutkan dengan demonstrasi financial model untuk tambang tembaga dan emas Batu Hijau di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) oleh Rizky Ananda, peneliti PWYP Indonesia. “Melalui financial model ini, publik dapat mengidentifikasi berapa volume tembaga dan emas yang telah dikeruk. Publik juga dapat mengetahui berapa yang didapatkan pemerintah dari proyek ini. Meski banyak parameter dan asumsi yang digunakan, akurasi financial model ini relatif tinggi mengingat gap yang rendah antara harga benchmark dan realisasi. Karenanya analisis yang dihasilkan dalam financial model ini cukup valid,” kata Rizky.

Rizky melanjutkan bahwa, temuan terkait potential lost juga diungkap melalui financial model ini. Akibat kebijakan hedging yang diterapkan oleh perusahaan dalam kurun waktu 2004 hingga 2006, pemerintah Indonesia diperkirakan mengalami kerugian sebesar USD 388 juta.
“Tak hanya mampu menyajikan angka yang selama ini hanya menjadi ranah diskusi pemerintah dan pelaku usaha, financial modeling juga menjadi dorongan bagi pemerintah untuk menggunakan data sebagai dasar penyusunan kebijakan, khususnya di sektor industri ekstraktif”, pungkas Rizky.