JAKARTA, KOMPAS — Alih-alih mengelola tambang batubara yang banyak masalah, pemerintah disarankan memberi hak kelola pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas kepada ormas keagamaan. Pengembangan energi terbarukan pun selaras dengan tujuan pemerintah dalam program nol emisi bersih pada 2060 atau lebih cepat. Prioritas ormas keagamaan mengelola lahan tambang batubara masih menuai polemik di publik.

”Jika memang berniat baik kepada ormas keagamaan, seharusnya pemerintah memfasilitasi mereka untuk mengelola energi terbarukan berbasis komunitas. Hasil penelitian Celios dan 350.org Indonesia menunjukkan pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas berkontribusi terhadap produk domestik bruto sebesar Rp 10.529 triliun selama 25 tahun,” ujar Indonesia Team Lead Interim 350.org Indonesia Firdaus Cahyadi saat dihubungi, Minggu (9/6/2024), di Jakarta.

Firdaus mengingatkan, mengembangkan bisnis batubara sedang tak mudah di era dorongan mempercepat transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan sekarang ini. Pasalnya, tak banyak lembaga pembiayaan yang bersedia mendanai bisnis industri ekstraktif, terutama berbasis komoditas batubara. Batubara masih dituding sebagai salah satu penyumbang emisi global.

”Sebaiknya, ormas keagamaan tidak menerima jebakan pemerintah untuk mengelola tambang batubara. Tata kelola tambang batubara yang buruk telah menyebabkan kerusakan lingkungan, krisis iklim, yang ujung-ujungnya merugikan banyak rakyat di Indonesia,” katanya.

Ia menambahkan, dari penelitian Celios dan 350.org Indonesia, peningkatan pengembangan energi terbarukan di level komunitas dapat meningkatkan investasi, terutama di sektor energi bersih dan keuangan skala mikro. Pembukaan kesempatan kerja di sektor baru juga akan mendukung peningkatan standar hidup dan daya beli masyarakat, khususnya di daerah yang belum teraliri listrik, sebagian adalah daerah tertinggal, terdepan, dan terluar.

”Dari penelitian tersebut, dalam kurun 25 tahun akan ada serapan tenaga kerja di sektor energi terbarukan sebanyak 96 juta orang, mulai dari instalasi, pengoperasian, hingga perawatan energi terbarukan skala kecil. Selain itu, terdapat potensi penerimaan negara secara kumulatif sebanyak Rp 199 triliun,” ucapnya.

Sisakan polemik

Sementara itu, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan 29 organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional dan daerah, mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. PP No 25/2024 memberikan privilese bagi ormas keagamaan untuk mendapat penawaran secara prioritas mengelola lahan tambang batubara bekas pemilik perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). PP tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang No 3/2020 tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Sebaiknya, ormas keagamaan tidak menerima jebakan pemerintah untuk mengelola tambang batubara.

”Tidak satu pun dalam pasal di UU No 3/2020 yang memberikan mandat kepada pemerintah untuk memberikan prioritas pengelolaan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada ormas keagamaan. Ini jelas bentuk pelanggaran yang terang-benderang terhadap UU tersebut,” ucap Koordinator Nasional PWYP Indonesia Aryanto Nugroho, Minggu (9/6/2024).

Sisa-sisa batubara di dekat lubang bekas tambang di Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (22/1/2021). Kerusakan lingkungan di hulu Sungai Martapura ini membuktikan pemicu bencana alam karena kerusakan lingkungan.

Menurut Aryanto, UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memberi prioritas penawaran wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada BUMN, BUMD, baru kemudian kepada badan usaha swasta. Alasan kenapa prioritas pertama adalah kepada BUMN, hal itu sesuai dengan amanat konstitusi bahwa pengelolaan sumber daya alam harus untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

”Ini bukan soal apakah ormas keagamaan tidak punya kapasitas dan tidak boleh memiliki amal usaha. Sebab, dalam praktiknya, banyak ormas memiliki amal usaha dan berhasil dengan baik. Yang menjadi persoalan adalah pelanggaran atas UU dan mekanisme penawaran secara prioritasnya. Kami justru khawatir ormas keagamaan terjebak dengan aturan bermasalah ini,” ujarnya.

Sebelumnya, Jumat (7/6/2024), Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengatakan, izin bagi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk mengelola lahan bekas tambang milik PT Kaltim Prima Coal (KPC) itu ditargetkan keluar pekan ini. ”Setelah itu, kita akan kasih lagi ke (ormas keagamaan) yang berikutnya. Yang jelas kami menawarkan. Kalau ada (ormas) yang menolak, tidak bisa kami paksa,” katanya dalam konferensi pers.

Sejauh ini, dari berbagai ormas keagamaan yang ada di Indonesia, baru badan usaha PBNU yang dengan cepat mengajukan permohonan izin tambang dengan lokasi di Kaltim. Ormas lainnya belum mengajukan permohonan, bahkan menolaknya.

Beberapa yang tegas menolak di antaranya Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).

Sumber: Kompas