Suku Tayan Hilir di Kalimantan Barat hampir kehilangan tanahnya untuk dijadikan konsesi komersial karena arahan yang tidak jelas dan tumpang tindih. Untuk menyelamatkan 300 hektar lahan mereka, masyarakat Tayan Hilir beralih ke teknologi drone dengan hasil yang luar biasa. Drone mungkin menjadi hobi bagi sebagian orang, tetapi bagi suku di Kalimantan, drone telah menjadi penyelamat hidup mereka. Dalam waktu kurang dari setahun, masyarakat Tayan Hilir bisa memetakan tanah mereka — berkat foto yang diambil dengan drone. Data tersebut menjadi dasar gugatan mereka di Mahkamah Konstitusi yang mengesahkan bukti-bukti yang dihasilkan dari gambar yang diambil dengan drone. Mereka diharapkan dapat memberikan lebih banyak bukti kerusakan lingkungan di kawasan hutan. Laporan Tempo Inggris.
Bidikan udara Bukit Sebayan, zona subur perbukitan hijau di kawasan hutan rakyat Tayan, Kalimantan Barat, bisa dilihat di laptop. Kepala Desa Sejotang, Kecamatan Tayan Hilir, Pius terburu-buru menyelesaikan pemetaan tanah adat. “Dari 300 hektare sudah 100 hektare yang sudah dipartisi,” ujarnya kepada Tempo tiga pekan lalu.
Menurut pria berusia 35 tahun itu, menyelesaikan pemetaan adalah hal yang mendesak: sebagian besar hutan telah dibagikan kepada perusahaan kelapa sawit dan penambang, juga penambangan bauksit yang merajalela telah mengubah danau menjadi gurun yang sesungguhnya.
Sigit Nugroho, Kepala Divisi Pengembangan Wirausaha Dinas Energi dan Pertambangan Kalimantan Barat, mengakui pelepasan izin konsesi lahan menjadi masalah. “Ini akibat pemetaan yang tidak lengkap dan minimnya koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat,” ujarnya.
Awalnya, sulit bagi warga untuk memetakan lahannya. Area hutan terlalu besar. “Batas wilayah adat dulu dianggap remeh oleh masyarakat suku,” kata Julian, sekretaris Dewan Adat Dayak. Pada awal tahun 2014, dewan mulai menerima bantuan dari Swandiri Institute, sebuah organisasi penelitian nirlaba yang berfokus pada lingkungan yang berkelanjutan. Sekarang, dengan menggunakan drone jenis helikopter atau sky-walker, sepertiga penuh dari tanah adat di daerah itu telah dipetakan.
Hermawansyah, direktur Swandiri Institute, mengatakan drone mampu membuat pencitraan lapisan tanah yang lebih jelas dibandingkan pencitraan satelit. “Drone bisa terbang rendah, sehingga tercatat daratan bisa dengan baik. Jika pencitraan satelit digunakan, Anda hanya dapat melihat dari ratusan meter dari atas, ”katanya.
Kasmita Widodo, yang pernah menjadi ketua Jaringan Pemetaan Masyarakat Indonesia (JKPP) dan ketua dewan jaringan adat nasional atau daerah adat terdaftar (AMAN-BRWA), setuju bahwa drone dapat mempercepat proses pemetaan wilayah adat, meskipun itu tidak dapat menggantikan diskusi intens antar komunitas. “Bagi saya, menggunakan drone untuk membuat peta membantu membuat peta dasar beresolusi tinggi dengan cepat, tetapi tetap penting agar masyarakat lokal mengidentifikasi titik-titik budaya penting di darat,” katanya.
■ ■ ■
Semuanya berawal dari penelitian yang dilakukan oleh Irendra Radjawali, atau Radja, pada tahun 2012. Calon Ph.D dari Institute for Oriental and Asian Studies di Universitas Bonn ini kemudian melakukan penelitian tentang politik ekologi di DAS Kapuas. Bersama dua rekannya, pria berusia 39 tahun itu melakukan perjalanan perahu pertama mereka menyusuri sungai sepanjang 1.400 kilometer, untuk mensurvei lokasi penelitian.
Dua pertiga perjalanan ke hilir, dekat Sanggau, Tayan, mereka melihat tumpukan besar tanah liat di tepian sungai yang berasal dari lokasi penambangan. Ketika mereka melangkah ke darat untuk menyelidiki, mereka disambut dengan tanda ‘akses terbatas’. “Menurut saya, adalah hak kami untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan sebagai peneliti. Kami tidak ‘memasuki’ daerah mereka. Kami hanya ingin datanya. Dan saya ingin tahu apa yang terjadi di sana,” katanya.
Di tempat lain, warga mengeluhkan lahan yang hilang. “Tanah di belakang rumah saya sekarang milik perkebunan kelapa sawit yang menerima konsesi,” kata seorang warga.
Bersama pencinta lingkungan dan temannya, Hermawansyah, dia mendirikan Institut Swandiri untuk membela kepentingan hutan masyarakat. Namun, dia ingin membedakan dirinya dari kelompok lingkungan lain yang tindakannya ia anggap hanya retorika. “Kami harus bertarung dengan data nyata,” jelasnya.
Hermawansyah memiliki pemikiran yang sama. Dia sangat ingin mencari tahu sumber kehancuran hutan. “Tayan merupakan salah satu sentra kegiatan industri ekstraktif, khususnya bauksit,” ujarnya. Di Kalimantan Barat terdapat 721 kuasa pertambangan seluas lima juta hektar. Di Tayan sendiri, 18 perusahaan memiliki izin untuk menambang.
Setelah mencapai kesepakatan dengan Dewan Adat Dayak, Radja mencari cara terbaik untuk memetakan wilayah yang luas tersebut. Ia teringat seorang teman yang pernah memetakan garis pantai Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan dengan kamera yang diikatkan pada layang-layang. Tetapi dia ragu-ragu. “Itu di laut. Sungai Kapuas terlalu panjang. Tali itu tidak akan bisa menutupi seluruh luas area.”
Cara termudah adalah dengan menggunakan Google Maps atau pencitraan satelit. Tetapi gambar yang tersedia secara gratis memiliki resolusi yang terlalu rendah untuk mendapatkan datanya. Dan untuk gambar yang beresolusi tinggi, ada paywall, dan datanya mungkin sudah lama. Setelah menelusuri internet, Radja mendapat ide tentang drone. “Awalnya saya mau beli langsung. Tapi begitu saya lihat harganya selangit, saya mundur, ”ujarnya. Saat itu, drone bisa terjual sekitar Rp 1 miliar.
Ia kembali menemui jalan buntu dalam diskusi dengan alumni Institut Teknologi Bandung dari jurusan teknik penerbangan. Drone yang mereka buat itu menelan biaya Rp 350 juta. “Tapi kemudian saya belajar di universitas terbaik di dunia, yaitu YouTube! Dari situ, saya menyadari bahwa Anda bisa membuat drone sendiri. “
Bersama Arif Munandar, seorang teman dan sesama peneliti Swandiri Institute, Radja membuat drone dengan menggunakan Styrofoam dan replika model AS. Dengan perakitan yang sangat cermat, keduanya mampu membuat drone hanya dengan harga Rp 6 juta. “Dengan gadget ini, akhirnya kami bisa memetakan wilayah yang sulit dijangkau dan menilai berapa banyak lahan konsesi yang tumpang tindih dengan hutan adat Tayan,” kata Hermawansyah.
■ ■ ■
Namun, memetakan hutan adat dengan drone bukanlah hal yang mudah. Daerah Tayan Hilir memiliki listrik yang terbatas dan jaringan sinyal yang kurang. Selain menggunakan dua drone, kebutuhan baterai, charger, dan ground control system (GCS) —program yang diunduh untuk memantau lokasi drone — mereka diwajibkan membawa pembangkit listrik sendiri. Baterai drone, terbuat dari lithium, yang hanya dapat bertahan selama satu jam.
Kondisi cuaca sangat penting. “Sebelum kita merilis drone, kita harus memastikan cuaca benar-benar cerah,” kata Arif. Jika cuaca mendung, sinyal Global Positioning System (GPS) dari drone ke GCS akan mengalami masalah. Drone bisa terbang keluar rute, jauh dari koordinat yang ditentukan. Dalam sekali operasi, tim bisa memetakan sekitar 60-70 hektare lahan.
Di sesi pertama mereka, tim Institut Swandiri kehilangan jejak drone mereka karena gangguan sinyal. “Tiba-tiba cuaca berubah buruk dan drone terbang keluar jalur,” kata Arif. “Apa yang dapat kami lakukan jika sinyal tidak lagi tersedia? Tidak mungkin mencari drone yang hilang di tengah hutan lebat. “
Menentukan koordinat merupakan bagian penting dari pemetaan. Institut Swandiri melatih anak-anak desa untuk menandai mereka menggunakan GPS. Mereka juga mendokumentasikan lokasi dengan kamera digital dan telepon kamera. Lokasi dihubungkan bersama dan diubah menjadi rute terbang untuk drone. Foto dikumpulkan di komputer sebagai gambar digital utuh.
Lembaga tersebut telah melatih sekitar 20 pemuda. “Meski sudah familiar dengan telepon seluler, mereka tetap membutuhkan waktu untuk menguasai teknologi yang lebih canggih seperti GPS,” kata Hermansyah. Baru setelah tiga kali pertemuan mereka diberangkatkan ke lapangan.
Namun, dalam hal drone terbang atau pemetaan, Swandiri Institute yang mengambil kendali. Peneliti Happy Hendrawan berharap pemetaan partisipatif bisa diadopsi oleh pemerintah daerah.
Dalam waktu dekat, warga akan bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sanggau untuk membahas nasib hutan adat Desa Sejotang dan Desa Subah. “Syarat pengakuan hutan adat itu ada peraturan daerah,” kata Happy. Sigit mengatakan, pemerintah kemungkinan akan mendukung pemetaan hutan adat dengan drone. “Itu [juga] membantu kami mengawasi pertambangan di daerah itu,” katanya.
Kemenangan kecil diraih warga Tayan ketika peta hutan diterima sebagai bukti dalam kasus Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) dan kewajibannya membangun smelter sesuai dengan UU No. 4/2009 tentang mineral dan batubara di Mahkamah Konstitusi.
Salvius Seko, Ketua Dewan Adat Dayak Kalbar yang dihadirkan sebagai saksi, menuturkan Danau Semendu di Hutan Adat Tayan telah menjadi tempat penyimpanan limbah bauksit karena minimnya smelter. Foto-foto itu, katanya, menjadi bukti.
Pengadilan menyetujui, dan foto-foto itu menjadi dasar keputusan penolakan uji materi yang diminta Apemindo. “Foto sebagai alat bukti sudah sering digunakan dalam perkara di Mahkamah Konstitusi, tapi mungkin ini pertama kalinya foto drone digunakan,” kata Hermansyah.
BERITA putusan hakim menyebar hingga ke Kayong Utara, sekitar 500 kilometer dari kawasan Tayan Hilir. Pemerintah setempat meminta bantuan Swandiri Institute untuk menggunakan drone-nya untuk membuat video promosi pariwisata jelang acara Sail Karimata 2016, yang diharapkan dapat menarik wisatawan dengan berbondong-bondong.
“Pembuatan video yang berdurasi tiga hari itu dibatasi di Pulau Maya dan Karimata,” kata Arif. Tujuannya sederhana: menampilkan keindahan alam pesisir. Bupati Kayong Utara Hildi Hamid berharap menggunakan drone untuk memetakan pulau-pulau terpencil di kabupatennya dalam waktu dekat.