JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Publish What You Pay Indonesia yang dimotori oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) kembali menggelar diskusi berseri terkait usulan draft RUU Migas versi masyarakat sipil. Pada diskusi yang dilangsungkan, Jumat (15/8) lalu di Pomelotel itu terdapat dua concern isu yang diangkat, yaitu kelembagaan hulu migas dan anggaran migas. Pemaparan mengenai kelembagaan migas dipaparkan oleh Giri Ahmad Taufik (PSHK), Firdaus Ilyas (ICW) dan Ridaya Laodengkowe (Mantan Koordinator Seknas PWYP Indonesia). Sedangkan, pemaparan mengenai anggaran migas dipaparkan oleh Lukman Hakim (Seknas FITRA). Sejumlah wakil masyarakat sipil yang juga hadir diantaranya berasal dari Natural Resources Governance Institute (NRGI), Transparency International Indonesia (TII), Institute for Essential Service Reform (IESR), Article 33.
Diskusi mengenai kelembagaan menjadi salah satu pembahasan yang menarik dalam diskusi tersebut. Beberapa perbedaan pandangan yang muncul antara lain terkait dengan model kelembagaan, yaitu seperti apa model kelembagaan dianggap cocok dengan migas Indonesia, siapa pihak yang diharapkan akan berperan untuk menjalankan fungsi pengelolaan dan fungsi bisnis dan sejauh apa peranan masing-masing pihak dalam kelembagaan tersebut.
Hasil dari perdebatan diskusi tersebut dirumuskan model kelembagaan migas versi koalisi PWYP Indonesia adalah: Negara/Pemerintah (Legislatif dan Eksekutif) sebagai pemegang fungsi Policy, Badan Usaha Milik Negara (satu atau beberapa) sebagai pemegang fungsi regulatory dan Badan Usaha Milik Negara dapat mengerjakan sendiri atau berkontrak dengan pihak swasta nasional maupun asing dalam rangka pengerjaan bisnis migas.
Untuk tema anggaran migas yang menjadi pembahasan dalam diskusi tersebut antara lain mengenai keterkaitan aspek kelembagaan negara dengan keuangan negara, pentingnya asas terbuka, akuntabilitas, profesionalitas dan proporsionalitas. Selain itu, kepentingan untuk generasi mendatang dimasukkan juga dalam draft RUU migas, letaknya di dalam salah satu pasal mengenai pemerataan daerah. Sedangkan untuk earmarking penerimaan negara, sovereign wealth fund (SWF) dan penerimaan negara harus dibuka menuruti UU KIP. Selain itu, diskusi mengenai anggaran migas juga menyoroti pentingnya pemetaan dan pencatatan aset migas. Hal itu, menjadi poin penting untuk dilakukan agar dapat terlihat realisasi jumlah migas yang diangkat, terjual,dan yang terkonversi menjadi pendapatan. Rencana Tindak lanjut dari diskusi ini adalah, menghadirkan pakar dalam industri migas pada diskusi selanjutnya.