Bandung – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia selenggarakan Diskusi Kelompok Terfokus bertajuk “Pentingnya Inklusivitas dan Kesetaraan dalam Transisi Energi di Indonesia” pada 14 April 2023 di Bandung. Kegiatan ini menghadirkan sejumlah  narasumber dari organisasi masyarakat sipil yaitu Meiki W Paendong (WALHI Jawa Barat), Moehammad Dehya Affinas (Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon/KARBON), dan Darwinih (Saya Perempuan Anti Korupsi/SPAK). Kegiatan yang menghadirkan sejumlah peserta perwakilan komunitas dari daerah di Jawa Barat yang terdampak dalam proses transisi energi, misalnya Cirebon dan Garut, bertujuan untuk memetakan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dari penerapan kebijakan transisi energi Indonesia dan pembangunan proyek energi bersih, mengidentifikasi indikator untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan bagi masyarakat di tingkat lokal dan kelompok rentan, serta merumuskan rekomendasi agar inklusi dan keadilan gender dijadikan sebagai landasan dalam menyusun kebijakan dan perencanaan transisi energi.

Transisi energi menjadi isu penting yang sedang dihadapi oleh banyak negara saat ini, termasuk Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki proyeksi energi terbarukan 2030 sekitar 24 persen, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai nol emisi pada tahun 2050 di sektor energi. Namun, untuk mempercepat dekarbonisasi ini, Indonesia telah meluncurkan Energy Transition Mechanism – Country Platform (ETM-CP) dan Just Energy Transition Partnership (JETP). Inisiatif ini diharapkan dapat membantu mempercepat transisi Indonesia dari bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan dan membatasi emisi sektor ketenagalistrikan melalui rencana investasi yang komprehensif.

Namun, masalah yang harus diatasi dalam transisi ini, yaitu aspek inklusivitas dan kesetaraan. Seringkali transisi energi hanya diprioritaskan untuk pengurangan atau efisiensi karbon tanpa mempertimbangkan kesetaraan dan inklusivitas dalam perencanaan kebijakannya. Selain itu, ada juga masalah mengenai alih fungsi lahan untuk energi terbarukan dan ekstraksi mineral kritis yang membahayakan mata pencaharian perempuan dan ketahanan pangan rumah tangga di pedesaan.

Untuk mengatasi masalah tersebut, dialog sosial diperlukan dalam persiapan dan proses transisi energi. Pemerintah harus melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas, misalnya, masyarakat adat, perempuan, pemuda, dan kelompok marginal lainnya, serta memastikan keterlibatan mereka dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Kesetaraan dan inklusi sosial ini sangat penting untuk memastikan bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang ditinggalkan dan kelompok rentan memiliki akses yang adil terhadap peluang yang diciptakan dalam transisi berkeadilan.

Meiki, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, mengungkapkan meksipun Jawa Barat kaya akan sumber energi terbarukan, pemerintah daerahnya belum konsisten dalam melakukan transisi. Hal ini terbukti dari  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMD) dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang tidak selaras dan masih menunjukkan ketergantungan pada energi fosil. Energi yang berasal dari sampah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) merupakan solusi palsu karena bukan energi bersih. Selain itu, dalam perencanaan transisi, Ia menilai pelibatan masyarakat hanya formalitas (hanya melibatkan kepala desa/ketua RT/RW). Juga minimnya akses dan transparansi akan data dan informasi publik. Ketepatan dalam kebijakan yang diambil pun harus dipertanyakan, misalnya penggunaan motor atau mobil listrik. Daripada mendorong masyarakat untuk membeli moda transportasi ini, akan lebih baik jika memperbaiki kualitas transportasi publik sehingga tidak semakin banyak kendaraan pribadi di jalanan, atau lebih baik mendorong masyarakat untuk memasang solar panel, dengan catatan ada pengaturan terkait regulasi harga agar dapat dijangkau oleh masyarakat.

Dehya, aktivis lingkungan dari Cirebon, menjelaskan sejumlah dampak adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di Cirebon bagi lingkungan, kesehatan, sosial, dan ekonomi. Ia juga menyatakan bahwa perizinan untuk memperoleh data dan informasi cukup sulit. Sementara itu, Darwinih dari SPAK dalam paparannya menyatakan kelompok disablilitas di Jawa Barat termasuk yang paling rentan. GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial) diperlukan agar ada tindakan untuk menyeimbangkan kembali hubungan kekuasaan tanpa memandang kondisi sosialnya.

“Ketika berbicara isu energi, setahu saya PLTU di Indramayu itu dalam perencanaannya hanya melibatkan laki-laki, perempuan tidak diajak. Kami sepakat jika pendekatan GEDSI ini dimasukkan kedalam perencanaan kebijakan transisi energi. Saat ini cara pandang masih maskulin karena masyarakat tidak dihadirkan dan tidak diajak ngobrol serta tidak diedukasi”.

Oleh karena itu, penting agar ada strategi untuk mengurangi kesenjangan dan mencapai kesetaraan dan keadilan dengan mengintegrasikan GEDSI mulai dari perencanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di semua sektor. 

Selain narasumber, para perwakilan kelompok terkait juga berperan aktif dalam memberikan masukan dan pendapat terkait isu ini. Selanjutnya, acara ini ditutup dengan buka puasa bersama. Diskusi ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya inklusivitas dan kesetaraan dalam transisi energi di Indonesia.

Penulis : Raudatul Jannah
Reviewer: Aryanto Nugroho dan Mouna Wasef