JAKARTA – Isu transisi energi menjadi salah satu pembahasan utama dalam skala nasional dan global dalam dua tahun terakhir.

Pembahasannya bahkan diikutsertakan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, pada November lalu.

Hasilnya, beberapa dokumen kesepakatan negara anggota menunjukkan komitmen menuju transisi energi, yakni G20 Chair’s Summary Energy Transitions Minister Meeting 2022 dan Decade of Actions: Bali Energy Transitions Roadmap.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho menyebutkan, dalam dokumen kesepakatan Negara G20, perlu memperhatikan sejumlah hal dalam penerapan menuju transisi energi.

“Kami coba (melihat) dokumen hasil G20 yang dilakukan sepanjang G20, ketemu istilah mineral supply chain itu di dalam G20 Chair’s Summary Energy Transitions Minister Meeting 2022. Ini persetujuan dan komitmen mencari solusi untuk ketahanan energi dengan memperkuat supply chain, termasuk mineral,” kata Aryanto dalam Webinar Transisi Energi Berkeadilan dalam Kebijakan Rantai Nilai Mineral di Indonesia secara daring, Rabu, 21 Desember.

Ia mengatakan, dalam mendorong energi bersih atau energi baru terbarukan (EBT), supply chain harus diamankan karena dunia membutuhkannya.

Peralihan penggunaan batu bara menjadi mineral membuat kebutuhan terhadap mineral akan meningkat, sehingga penting bagi setiap negara untuk menjaga pasokannya.

“Misalnya, nikel untuk kebutuhan energi bersih, baterai, di Indonesia, upaya untuk segera memproduksi mobil listrik sangat luar biasa. Supply chain ini penting untuk didiskusikan,” ujar Aryanto.

Aryanto menekankan, kebutuhan mineral untuk teknologi energi bersih juga harus memperhatikan proses menuju ke arah sana.

Artinya, ekstraksi sumber daya seperti nikel tidak boleh berseberangan dengan tujuan dari climate goals itu sendiri.

Menurutnya, tujuan perubahan iklim dan sustainable development harus tetap menjadi tujuan utama, sehingga prosesnya tidak melawan tujuan itu sendiri.

“Karena kebutuhan baterai, mobil listrik, maka (negara) akan mengekstrasi nikel luar biasa sehingga berseberangan. Investasi enggak green, pelaksanaan operasi juga jauh dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Apakah ini cukup adil untuk daerah seperti Indonesia yang punya sumber daya nikel luar biasa? Ini harus in line dengan sustainable development,” jelasnya.

Pengimplementasian transisi energi, kata Aryanto, perlu dipertimbangkan dengan matang.

“Persiapan di Indonesia sendiri harus dilakukan dengan serius agar hasilnya tidak berlawanan dengan tujuan menuju penggunaan energi bersih,” tambahnya.

Selain itu, kata Ary, penerapan standar ESG juga dibutuhkan dalam proses transisi energi.

Hal ini menjadi perhatian dan refleksi menuju energi bersih, sehingga perusahaan bisa menerapkannya ketika menjalankan operasionalnya.

“ESG sebagai sebuah standar lingkungan sosial, didorong dalam konteks operasional perusahaan yang melakukan ekstrasi mineral. Yang diharapkan dari G20, perusahaan mengacu pada standar ESG,” pungkasnya.

Sumber: VOI