Berdasarkan Laporan Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah dari Industri Ekstraktif atau Laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia yang terbit 31 Maret 2021, disebutkan penerimaan dari sumber daya alam (SDA) tahun 2019 berkontribusi sebanyak 7,90% pada total penerimaan negara.
Laporan EITI merupakan salah satu bentuk komitmen Indonesia dalam perbaikan tata kelola tambang dari sisi transparansi. Namun, tantangan lain muncul dari aspek akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam tata kelola pertambangan yang tampak dari realita yang terjadi terutama di wilayah yang memiliki penerimaan dari sumber daya ekstraktif.
Dalam upaya mendorong perbaikan tata kelola pertambangan di daerah, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia melalui proyek Akuntabilitas Sosial Sektor Pertambang yang didukung oleh Program Global Partnership for Social Accountability (GPSA) dan Bank Dunia, mengadakan pertemuan virtual selama 3 hari, pada 19, 22, dan 24 Maret 2021 untuk memetakan pemangku kepentingan dari akar rumput hingga pembuat kebijakan dengan mitra di tiga daerah pilot, yaitu Provinsi Aceh, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara.
Pertemuan secara virtual ini sekaligus membuka wawasan terkait praktik pertambangan di daerah dan bagaimana dampaknya terhadap berbagai lapisan masyarakat, yang selanjutnya dikategorikan ke dalam pihak yang memiliki kepentingan dan pengaruh dalam berbagai tingkat, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.
Pemetaan para pemangku kepentingan menjadi alat penting sebelum memulai proyek GPSA. Inilah yang akan menentukan pihak-pihak yang berpengaruh dan seberapa besar pengaruhnya dalam tata kelola pertambangan dari pelaksana di lapangan hingga pembuat regulasi.
Analisis dari pemetaan nantinya akan menjadi tolak ukur dalam pelaksanaan proyek Akuntabilitas Sosial Sektor Pertambangan hingga 12 bulan ke depan.
Secara garis besar, pihak yang berkepentingan dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu kabupaten, provinsi, dan nasional, masing-masing terdiri dari masyarakat sekitar pertambangan, kelompok perempuan, masyarakat adat, pemerintah desa, pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, badan legislatif setempat, mitra organisasi masyarakat sipil, asosiasi pekerja tambang, perusahaan, pemerintah pusat, lembaga non-pemerintah, jurnalis, dan akademisi.
Proses pemetaan diawali dengan pemaparan identifikasi pihak terkait, karakteristiknya, tingkat kepentingan dan pengaruh, isu yang melingkupinya, media yang efektif, rencana pelibatan, tantangan, dan narahubungnya. Selama proses ini muncul diskusi, pertanyaan, dan masukan dari mitra-mitra lain, yang kemudian menjadi catatan bersama, dan pekerjaan rumah bagi mitra daerah terkait untuk menyajikan informasi yang lebih lengkap dan komprehensif.
Terdapat kesamaan terkait isu tata kelola tambang di Aceh, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara, yaitu minimnya akuntabilitas sosial, berupa keterlibatan masyarakat sipil, hak atas informasi dan pelayanan publik, serta transparansi perizinan dan pemasukan dari tambang.
Hal ini tergambar dari isu pemangku kepentingan pertambangan yang dipaparkan oleh mitra daerah GeRAK Aceh, bahwa masyarakat di sekitar tambang di atas kertas – secara hukum – memiliki pengaruh yang tinggi, tetapi kenyataan yang dirasakan justru sering dipandang sebagai objek, bukan subjek. Suara masyarakat/komunitas kurang didengar pihak perusahaan bahkan diduga perusahaan sering menciptakan kelompok tersendiri sebagai legalitas semata.
Pihak perempuan pun tak lebih baik nasibnya. Pada budaya patriarki yang masih kental di Indonesia, suara perempuan sering diabaikan dalam pengambilan keputusan di tingkat komunitas/desa, tak sedikit pula perempuan yang memilih diam karena tak berani menyuarakan aspirasinya sebagai pihak yang terdampak langsung.
Pokja 30 sebagai mitra daerah Kalimantan Timur memiliki pengalaman dalam mengadvokasi penggunaan dana publik, pengawasan penerimaan migas, pertambangan, dan kehutanan, serta keterbukaan informasi terkait perizinan, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kalimantan Timur. Pokja 30 memaparkan salah satu contohnya pada masyarakat sekitar tambang batubara yang dikelola oleh PT MULTI HARAPAN UTAMA (PT
MHU), terutama di Desa Sungai Payang, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang memiliki tingkat kepentingan tinggi, namun tingkat pengaruh rendah.
Masyarakat desa umumnya bertani dan berkebun yang lahannya dekat wilayah galian pertambangan, namun tak sedikit masyarakat yang ladang dan kebunnya tergusur oleh organisasi masyarakat yang bermitra dengan perusahaan.
Galian tambang PT MHU ini diduga memberikan dampak lingkungan, yakni merusak hulu Sungai Payang, hingga menyebabkan desa ini kerap dilanda banjir hingga ketinggian dua meter sejak diberikannya izin tambang.
Pemberian izin tambang dari awal pun dirasakan warga tidak transparan, terutama terkait hak atas tanah, dampak pertambangan, analisis dampak lingkungan (Amdal) yang tidak dikonsultasikan dengan masyarakat, hingga kegiatan tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan, sehingga tingkat kepentingan masyarakat yang tinggi ini tidak diimbangi dengan tingkat pengaruh yang tinggi. Padahal secara administrasi, masyarakat sekitar tambang seharusnya memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan keputusan tata kelola perizinan tambang, karena merupakan pihak yang terdampak langsung oleh aktivitas pertambangan.
Melihat permasalahan di masyarakat yang bingung dalam berjejaring karena minimnya informasi dan akses, menjadi penting bagi masyarakat untuk dilibatkan dalam kegiatan proyek, misalnya sosialisasi dan diskusi tatap muka, peningkatan kapasitas melalui pemanfaatan teknologi informasi (ICT), peningkatan akses atas informasi mengenai regulasi, aspek perizinan, penerimaan daerah, serta mengenai cara pelaporan jika terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan tata kelola tambang.
Banyak aspek pada pemangku kepentingan yang masih perlu digali dan dipetakan, terutama narahubung, saluran komunikasi yang efektif, dan rencana kegiatan pelibatan dalam proyek. Meski demikian, kegiatan ini merupakan langkah awal yang baik dan kontributif terhadap tata kelola tambang Indonesia yang lebih baik.
Meskipun baru berupa kerangka awal, proses pemetaan ini memakan waktu satu hari penuh. Mengupas secara mendetail pengaruh dan kepentingan pihak yang terlibat dari akar rumput dan kaitannya dengan isu tata kelola tambang, agar ditemukan alat dan metode yang tepat sebagai upaya perbaikan sistem, yaitu melalui penerapan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Ditulis oleh
Adzia Rizkika
Communication Specialist Awrago