Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga yang berfungsi menyalurkan aspirasi masyarakat desa, sekaligus melakukan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa. Sayangnya, saat ini banyak anggota BPD yang belum memahami peran dan fungsinya berdasarkan UU no 6/2014 tentang Desa. Oleh karenanya, Seknas FITRA saat ini sedang berupaya mendorong transparansi anggaran dan pengembangan mekanisme pengaduan di desa.

Selama tiga tahun implementasi UU Desa, peran BPD dirasa kurang optimal. Keberadaan BPD hanya sebatas formalitas. Sebagai contoh, dalam penyusunan Peraturan Desa (Perdes) tentang Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDesa), BPD cenderung menyepakati begitu saja Rancangan APBDesa yang disusun oleh Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD jarang membahas dan bahkan tidak pernah membuat catatan atas APBDesa di internal BPD.

Demikian juga dengan proses penyusunan Perdes (Peraturan Desa). Berdasar pada pasal 62 huruf a dalam UU Desa, anggota BPD berhak mengajukan usulan rancangan Perdes, serta pasal 83 ayat 2 dalam PP no 43/ 2014 tentang Pelaksanaan UU Desa. Sebagai lembaga yang dekat dengan masyarakat, BPD seharusnya bisa memberikan usulan berdasarkan pengaduan dari masyarakat.

BPD juga masih lemah dalam menampung dan menyalurkan aspirasi warga. Bila ada aspirasi atau keluhan, warga desa terbiasa langsung berkomunikasi dengan kepala desa atau perangkat desa melalui kepala dusun. BPD secara kelembagaan ataupun perorangan biasanya hanya menampung aspirasi atau keluhan warga secara informal. Minimnya dokumentasi membuat peran BPD tidak terlalu progresif.

Sayangnya BPD belum mengembangkan mekanisme penyerapan aspirasi mandiri di luar proses formal perencanaan pembangunan melalui Musyawarah Dusun (Musdus), Musyawarah Desa (Musdes), atau Musyawarah Pembangunan Desa (Musrenbangdes). BPD juga tidak mempunyai kantor khusus di Balai Desa yang memungkinkan warga menyampaikan aspirasi dan keluhannya.

Pada desa-desa yang Ketua BPD-nya pernah menjadi kompetitor Kepala Desa terpilih, kontrol yang dilakukan oleh BPD cenderung ketat dan tidak kompromis, meski belum terstruktur dengan baik. Di desa-desa yang lain, pengawasan BPD relatif longgar.

Praktik atas Pasal 61 UU Desa yang menyebutkan bahwa BPD punya hak meminta keterangan atas penyelenggaraan pemerintahan desa seperti LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban) kepada Kepala Desa, belum berjalan optimal. Banyak desa yang belum melaksanakan Musyawarah LKPJ. Kalaupun dilaksanakan, kecenderungannya masih sebatas formalitas. Padahal, Pasal 51 Ayat 3, PP No. 43/2014 menegaskan bahwa LKPJ digunakan oleh BPD untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Pada ranah Supra Desa, Pemda dan DPRD belum secara serius melakukan penguatan kepada BPD.

Oleh sebab itu kedepan perlu adanya sosialisasi UU Desa. Selama ini sosialisasi UU Desa masih dikhususkan kepada Kepala Desa dan Perangkat Desa. Meski BPD telah memiliki pos anggaran dari APBDesa berupa tunjangan dan operasional, di kebanyakan daerah jumlahnya sangat kecil dan belum dapat digunakan untuk akselerasi peningkatan peran dan fungsinya.

Sementara, Dana Desa dan sumber-sumber anggaran desa setiap tahun meningkat dan seringkali penggunaannya tidak tepat sasaran, bahkan sudah banyak terjadi penyimpangan dan penyelewengan. Untuk memperkuat BPD dan masyarakat desa dalam mengawal anggaran desa, penting juga melakukan kerjasama dengan Pemda dan DPRD. Lahirnya Permendagri 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diharapkan dapat menjawab tantangan yang dihadapi oleh BPD tersebut.

Oleh: Gurnardi Ridwan, Manajer Riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)