Jakarta — Dalam konteks transisi energi menuju ekonomi rendah karbon, Indonesia dihadapkan pada tantangan serius: Bagaimana memastikan bahwa rantai pasok mineral kritis, khususnya nikel dikelola secara adil dan bertanggung jawab? Pertanyaan ini menjadi inti dalam Dialog Pemangku Kepentingan Menuju Rantai Pasok Nikel yang Lebih Bertanggung Jawab, yang diselenggarakan pada 24 April 2025 di bilangan Jakarta Pusat oleh Sekretariat Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia bekerja sama dengan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, International Institute for Sustainable Development (IISD) atas dukungan Viriya ENB. Dialog ini mempertemukan lebih dari 25 instansi/organisasi untuk membahas tantangan keberlanjutan dalam industri nikel Indonesia, yang menjadi pilar penting dalam transisi energi global.
Sebagai produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia memainkan peran kunci dalam memenuhi permintaan mineral kritis yang melonjak untuk baterai kendaraan listrik (EV), teknologi energi rendah karbon, dan sistem penyimpanan baterai. Menurut International Energy Agency (IEA), permintaan global untuk mineral ini diproyeksikan meningkat empat kali lipat pada 2040, dengan sektor mineral kritis Indonesia diperkirakan melampaui USD 30 miliar per tahun pada 2030. Namun, ekspansi cepat pertambangan dan pengolahan nikel menimbulkan kekhawatiran tentang deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, dan pelanggaran hak masyarakat lokal, terutama perempuan dan kelompok rentan.
Lokakarya sehari ini menjadi wadah untuk berbagi praktik terbaik dalam standar Environmental, Social, and Governance (ESG), mendorong dialog antara pejabat pemerintah, pemimpin industri, organisasi masyarakat sipil, dan mitra internasional. Chrisnawan Anditya, Kepala Sekretariat EITI Indonesia, menyampaikan pidato kunci yang menyoroti peran strategis Indonesia dalam transisi energi global. Ia menekankan perlunya praktik pertambangan berkelanjutan, termasuk reklamasi, restorasi pasca-tambang, dan teknologi pemurnian ramah lingkungan, untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan tanggung jawab lingkungan dan sosial.
ESG kini menjadi standar internasional yang dituntut oleh pasar dan investor global. Sayangnya, implementasinya di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Standar ESG tersendat di berbagai regulasi, tidak ada satu panduan yang sama, dan belum semua perusahaan memiliki kapasitas untuk mengimplementasikan terutama pelaku tambang berskala kecil.
Tubagus Nugraha, Direktur Eksekutif Sinkronisasi Kebijakan Program Ekonomi Prioritas menegaskan potensi mineral Indonesia yang besar dan meningkatnya permintaan global untuk mineral transisi energi kritis, seperti nikel. Ia mencatat bahwa adopsi ESG meningkatkan akses pasar dan daya saing, sejalan dengan standar seperti EU Battery Passport dan U.S. Inflation Reduction Act.
Cecep Mochammad Yassin, Direktur Pengusahaan Mineral, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti upaya Kementerian ESDM untuk meningkatkan tata kelola melalui alat digital seperti Minerba Online Monitoring System (MOMS) serta inisiatif pemberdayaan masyarakat dan reklamasi lahan, dengan 25.089,21 hektar telah dipulihkan hingga 2023. Cecep mengakui bahwa proses tata kelola perizinan masih kewalahan, apalagi setelah pelimpahan kewenangan ke pusat. Di saat yang sama, belum ada insentif konkret bagi perusahaan yang menerapkan praktik tambang berkelanjutan.
“Perusahaan tambang besar mungkin sudah mendekati comply, tapi bagaimana dengan penambang kecil atau koperasi yang belum familiar dengan ESG?” tanyanya
IISD dan PWYP Indonesia mempresentasikan studi scoping yang mengungkapkan bahwa meskipun kebijakan larangan ekspor telah meningkatkan pendapatan negara 15 kali lipat dari 2016 hingga 2023, smelter bertenaga batubara menimbulkan risiko lingkungan yang signifikan. Studi tersebut menemukan bahwa 60% perusahaan kesulitan dengan indikator ESG, menegaskan perlunya regulasi yang lebih kuat dan penyelarasan dengan standar global seperti Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA). Rekomendasi kebijakan mencakup insentif fiskal hijau, pengungkapan ESG wajib, dan pelarangan pembuangan tailing ke laut untuk memastikan rantai pasok nikel yang berkelanjutan. PWYP dan IISD juga menggarisbawahi pentingnya keterbukaan informasi, pelibatan masyarakat terdampak, dan pemberlakuan sanksi atau insentif berbasis kinerja sosial dan lingkungan.
“Transparansi dan keadilan sosial harus jadi fondasi kebijakan ESG Indonesia, bukan hanya penyesuaian teknis semata,” ujar Azil dari PWYP Indonesia.
Perwakilan sektor swasta dari Harita Group, PT Vale Indonesia, dan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) berbagi pendekatan mereka dalam mengadopsi standar ESG sukarela, didorong oleh permintaan pasar dan kebutuhan efisiensi operasional. Sementara itu, organisasi internasional seperti IRMA, Responsible Critical Mineral Initiative, dan Intergovernmental Forum on Mining mendorong penyelarasan regulasi Indonesia dengan kerangka global, seperti pedoman uji tuntas OECD, untuk meningkatkan transparansi dan keterlibatan masyarakat.
Dialog ini mengusulkan langkah-langkah nyata untuk memperkuat rantai pasok nikel Indonesia, termasuk mengintegrasikan ESG ke dalam kebijakan nasional, mewajibkan penggunaan energi terbarukan, dan menegakkan dana rehabilitasi tambang. Langkah sosial seperti Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) untuk komunitas adat dan model pembagian keuntungan ditekankan untuk memastikan manfaat yang adil. Adopsi platform digital seperti Minerba One Data dan analisis kesenjangan untuk menyelaraskan dengan standar IRMA dan Global Reporting Initiative (GRI) juga direkomendasikan untuk meningkatkan transparansi dan kepatuhan.
Para peserta sepakat bahwa standar ESG nasional yang selaras dengan tolok ukur global sangat penting untuk menjaga daya saing Indonesia dalam rantai pasok baterai EV. Pemerintah didesak untuk bertindak sebagai katalis dengan menawarkan insentif seperti pengurangan pajak dan perizinan yang disederhanakan untuk mempercepat adopsi ESG.