Jakarta, law-justice.co – Ada sederet kejanggalan dalam sejumlah proyek PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN dalam memasok gas bumi. Muara dari kejanggalan menyebabkan performa keuangan anak usaha dari Pertamina itu tidak sehat. Dalam operasionalnya hingga 2022 tercatat pendapatan PGN mencapai hanya US$3.569 juta, sedangkan nilai liabilitasnya lebih besar tembus US$3.753 juta. Setidaknya ada tiga proyek yang justru mendatangkan rugi bagi PGN, alih-alih untung. Mulai dari proyek akuisisi tiga blok migas yang terlalu mahal, kerugian dalam fasilitas penyimpanan dan regasifikasi terapung atau floating storage regasification unit atau FSRU di Lampung dan mangkraknya terminal gas alam cair di Teluk Lamong, Surabaya.

Proyek-proyek yang merugi itu menjadi temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Auditor negara menduga ada fraud atau penyimpangan dalam penggunaan anggaran untuk sejumlah proyek tersebut sehingga berujung pada kerugian keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK ihwal kepatuhan atas pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi 2017-2022 PGN yang terbit pada April 2023 menunjukkan ada 16 temuan. Namun, yang siginifikan potensi fraud-nya terdapat pada tiga proyek tersebut.

“Setelah kami dalami, ternyata benar ada masalah. Rekomendasinya, sudah diserahkan ke aparat penegak hukum,” ujar Hendra Susanto, Wakil Ketua BPK, Juli 2023.

Kabarnya, laporan BPK telah masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, pihak KPK hingga saat ini belum mau berkomentar soal laporan itu. Begitu pun dengan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) yang justru tidak mengetahui adanya laporan BPK teranyar. “Saya belum dapat infonya,” begitu kata Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana saat dikonfirmasi, Rabu (16/8/2023).

Janggal akuisisi 3 blok migas

Laporan BPK mengungkapkan bahwa nilai akusisi tiga wilayah kerja atau blok migas oleh PT Saka Energi Indonesia (SEI) terlalu mahal, yakni US$ 56,6 juta atau sekira kurang lebih Rp865 miliar. Dua blok migas berada di Ketapang dan Pangkah di lepas pantai Jawa Timur. Satunya lagi ada di Fasken Texas, Amerika Serikat. Auditor negara mencatat kerugian dari akuisisi tiga blok migas itu mencapai US$ 347 juta atau setara Rp5,3 triliun.

Saka Energi sendiri merupakan anak usaha dari PGN yang dibentuk pada Juni 2011. Hingga 2021, tercatat Saka Energi memiliki 10 ladang migas, enam diantaranya sudah berproduksi, sisanya masih dalam tahap eksplorasi.

Baru setahun berdiri, Saka Energi melakukan akuisisi pertama atas blok migas di Ketapang sebesar 20 persen atau US$ 71 juta dari Sierra Oil Services Limited melalui perjanjian jual-beli pada November 2012. Perjanjian ini juga diketahui dan disetujui oleh pihak Kementerian ESDM. Akuisisi hak partisipasi blok itu dilakukan oleh entitas bisnis Saka Energi bernama PT Saka Ketapang Perdana.

Indikasi fraud mulai mengemuka ketika PGN dalam laporan tahunannya tidak pernah menyebut secara gamblang bahwa ada relasi bisnis dengan Sunny Ridges yang terafiliasi dengan Sierra Oil Services. Laporan BPK pun menyebutkan bahwa transaksi terkait akusisi blok itu berlangsung dengan Sunny Ridges.

Menukil data terbuka terkait perusahaan cangkang lintas negara, muncul nama Sunny Ridge dengan dua entitas. Yang pertama adalah Sunny Ridge Offshore Limited yang terdaftar di negara suaka pajak British Virgin Islands. Tak ada informasi detail soal pemilik, alamat maupun pengurus perusahaan itu. Hanya saja, muncul nama Portcullis TrustNet yang berdomain di Singapura sebagai agen sekaligus perantara operasional.

Entitas kedua bernama Sunny Ridge Group Limited yang tercatat di negara suaka pajak lain, Seychelles. Sejurus dengan entitas pertama, Portcullis TrustNet disebut sebagai agen.

Di Indonesia, nama Sunny Ridge Group terlacak sebagai bagian dari Northstar Group yang merupakan perusahaan investasi garapan pengusaha nasional bernama Patrick Walujo dan Glen Sugita. Patrick kini menjabat CEO GOTO, sedangkan Glen diketahui sebagai pimpinan klub sepak bola Persib Bandung.

Menurut Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP), Aryanto Nugroho, penekanan soal beneficial ownership atau status kepemilkan soal pihak mana saja yang berbisnis diperlukan karena menyangkut kemana saja dana akuisisi mengalir. Terlebih, jika akuisisi ini benar ada indikasi fraud dan layak diproses hukum.

“Siapa pemilik manfaat atau bosnya. Artinya ketika ada akuisisi ini, harus dikejar siapa beneficial ownership-nya. Ini penting untuk aparat penegak hukum ketika melakukan penelusuran untuk melihat kaitannya,” kata Aryanto kepada Law-justice, Kamis (17/8/2023).

Kembali ke laporan BPK, akuisisi Blok Ketapang disebutkan sudah janggal sejak awal. Soalnya, persetujuan tender akuisisi Blok Ketapang yang diberikan Dewan Komisaris PGN dan Saka Energi, menurut BPK, mendahului proses uji tuntas atau due diligence sehingga belum mencukupi untuk lanjut proses akuisisi. Adapun uji tuntas akuisisi ini bermula saat Saka Energi menyurati perantara akuisisi yakni Goldman Sachs pada Juni 2012. Termaktub dalam surat bahwa Saka Energi menyatakan kesiapannya untuk menebus hak partisipasi Sunny Ridges di Blok Ketapang minimal 10 persen dengan nilai transaksi US$ 3 juta per 1 persen.

Kemudian pada 25 Juli 2012, Saka Energi berkirim surat kepada Sunny Ridge yang isi pesannya soal kesediaan pembayaran 20 persen atas hak partisipasi di Blok Ketapang sebesar US$71 juta. Anehnya, ketika konfirmasi untuk menebus mahar akuisisi itu, Saka Energi justru baru menunjuk PT Procewaterhousecooopers Indonesia Advisory (PWC) sebagai konsultannya untuk melakukan proses kajian due diligence pada September 2012.

Hasil laporan dari PWC sendiri baru keluar pada 18 Oktober 2012. Saka Energi lantas menyewa jasa lembaga akuntan publik bernama Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP) untuk menguji hasil due diligence dari PWC.

Dalam laporan BPK, pihak Saka Energi mengklaim bisa mengajukan penawaran terkait akuisisi sejak beberapa bulan sebelum keluar hasil uji tuntas. Patokan penawaran nilai akuisisi berdasar pada data eksternal di luar PWC dan HPP. Manajemen Saka Energi saat itu justru menggunakan parameter dari konsultan minyak dan gas Wood Mackenzie yang kemudian datanya dianalisis kembali oleh internal Saka. Dengan kata lain, due diligence seolah dilakukan dan berdasar keputusan penilaian Saka yang mengabaikan uji tuntas dari dua instansi tersebut. “Saka mengusulkan penawaran ke PGN untuk pengambilan keputusan investasi. PGN memiliki tim kajian sendiri untuk harga,” tulis BPK

Dalam menelusuri kerugian negara dalam akusisi Blok Ketapang, BPK mengutip kajian dari Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung (LAPI ITB). Lembaga tersebut menyatakan penilaian atas aset Blok Ketapang menghasilkan net present value atau NPV US$10 juta, jauh di bawah harga yang dikucurkan Saka Energi sebesar US$71 juta. Berarti potensi kerugian kentara dalam transaksi berdasar indikator NPV di bawah 0. “LAPI ITB menjelaskan bisnis migas berisiko sehingga nilai NPV harus naik,” tulis BPK.

Menurut BPK, jika rasio keuntungan NPV terhadap harga beli sebesar 1, maka ada keyakinan kuat investor mendapat keuntungan. Berdasar perhitungan, nilai akuisisi yang dapat memberi keuntungan adalah sebesar US$40,5 juta saja, tidak sampai harga akuisisi oleh Saka Energi yang mencapai US$ 71 juta. Artinya ada pemborosan anggaran akuisisi karena kemahalan US$30,5 juta atau setara Rp543 miliar.

Ujung dari kemahalan akuisisi ini membikin Saka Energi terus rugi. Sampai 2022, kerugian akibat investasi di Blok Ketapang tembus US$54,6 juta. Menurut BPK, pangkal kerugian karena Saka Energi menggunakan perkiraan pendapatan yang tidak realistis. Manajemen Saka Energi memperikrakan harga minyak mentah dunia US$100 per barel sepanjang 2014-2041. Tetapi, dalam kenyataannya harga minyak pada periode itu bersifat fluktuatif dan justru meleset dari perkiraan hingga setengahnya.

Merujuk penilaian BPK lagi, kerugian diakibatkan pemegang saham Saka Energi atau direksi PGN saat itu berpijak pada skenario yang salah. Celakanya, Direktur Utama PGN kala itu Hendi Prio Santoso yang kini Dirut Mind Id mengamini usulan akusisi Blok Ketapang yang merujuk skenario keliru itu.

Temuan BPK terkait akuisisi Blok Ketapang tak berbeda jauh dengan indikasi penyimpangan pada proyek akusisi Blok Pangkah dan Fasken. Akusisi Blok Fasken pada 2014 disebut BPK dilakukan sebelum uji tuntas rampung. Bahkan saat itu, Hendi Prio pun menyetujui akuisisi tanpa berdasar hasil uji tuntas.

Akuisisi Saka Energi atas Blok Pangkah pada 2013, pun disebut BPK tidak mengacu pada uji tuntas. Namun, lagi-lagi tidak dipersoalkan oleh Hendi Prio. BPK juga menyebut Hendi tidak optimal dalam melakukan pengawasan operasional sesuai rencana kerja dan anggaran perusahaan atau RKAP.

Tidak sesuainya mekanisme akusisi ini mengakibatkan pemborosan yang berdampak pada kerugian keuangan. Kemahalan akusisi Blok Pangkah mencapai US$51,1 juta, sedangkan Blok Fasken lebih besar, yakni US$14,8 juta.

Kami sudah berupaya menghubungi Hendi Prio untuk menanyakan ihwal temuan anyar BPK ini, namun yang bersangkutan tak kunjung merespons hingga berita dirilis.

Boncosnya proyek regasifikasi

Laporan BPK mengungkapkan kerugian keuangan PT PGN minimal sebesar US$131,27 juta atau sekira Rp1,97 triliun atas operasional FSRU Lampung pada periode 2020-2022. Pangkal kerugian karena tidak optimalnya regasifikasi secara kuantitas dalam menggenjot kinerja keuangan perusahaan.

FSRU Lampung sendiri adalah kapal yang dilengkapi fasilitas pengelolah gas alam cair atau LNG untuk dikonversi dalam bentuk gas bumi. FRSU itu mempunyai tangki berkapasitas LNG hingga 170 ribu meter kubik dengan kemampuan regasifikasi maksimal 240 juta kubik per hari.

Proyek pembikinan FSRU ini digagas oleh PGN pada medio 2010. Mulanya terminal terapung ini diproyeksikan beroperasi di Belawan, Medan untuk memasok energi sekitar kawasan Aceh dan dan Sumatera Utara. Keputusan pembuatan FRSU juga berdasar Inpres yang saat itu diteken Presiden oleh Susilo Bambang Yudhoyono.

PGN dalam proyek ini mengucurkan dana hingga US$250 juta atau setara Rp3,8 triliun merujuk kurs terkini. Dana dipakai untuk membayar sewa kapal milik korporasi asal Norwegia (Hoegh) dengan tenor pemakaian selama 20 tahun.

Namun, pada Maret 2012, pemerintah melalui Dahlan Iskan yang saat itu menjabat Menteri BUMN memutuskan pasokan energi gas industri untuk Aceh dan Sumut dikirim dari kilang LNG Arun.

Kemudian, FRSU yang semula ada di Belawan berpindah ke Lampung untuk mengisi pasokan gas industri di kawasan itu dan Jawa bagian barat. Berubahnya lokasi operasional mengubah juga kontrak atau perjanjian antara PGN dan Hoegh pada Oktober 2012. Hoegh menovasikan perjanjian ini kepada PT Hoegh LNG Lampung pada 2013, sedangkan PGN menovasikan kepada PT PGN LNG (PLI) pada 2014.

Seusai kontrak baru terbentuk, PLI lantas mengopersikan FSRU Lampung dengan mengolah LNG dari Kilang Tangguh, Papua. Namun perkembangan bisnis tidak bernasib mujur. Kontrak jual-beli gas senilai US$18 juta metrik yang semula berasal dari jasa mengaliri gas ke PLTGU Muara Tawar di Bekasi, Jawa Barat terhenti lantaran PLN meminta renegosiasi.

Selain mendapati pengoperasian proyek yang berjalan tidak maksimal, laporan BPK juga mengungkapkan ada klausul kontrak yang lemah antara PGN dan Hoegh dalam proyek FSRU Lampung. Soalnya, kontrak itu mengharuskan PGN membayar harga sewa untuk kapasitas maksimal 27 kargo per tahun. Padahal, intensitas regasifikasi hanya berkisar 10-15 persen dari kapasitas maksimal sehingga realitanya kapasitas tidak pernah tercapai. Alhasil, proyek FSRU ini justru jadi buntung lantaran pendapatan yang diterima sangat kecil dibanding bengkaknya biaya operasional.

Soal meruginya proyek tersebut sempat diusut oleh Kejaksaan Agung pada 2016. Kasus ini bahkan sampai masuk ke tahap penyidikan, meski tidak ada penetapan tersangka. Sejumlah petinggi PGN saat itu termasuk Hendi Prio sempat diperiksa penyidik.

Akan tetapi, Kejagung memutuskan penyidikan disetop pada 2017. Alasan penyidik saat itu tidak menemukan bukti yang dapat mengemukakan adanya unsur pidana korupsi dalam proyek FSRU Lampung.

Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan celah korupsi dalam sektor energi gas memang terdapat pada proses regasifikasi. Kata dia, celah terbuka lebar lantaran tidak ada standar biaya yang bisa dihitung saat proses perubahan LNG menjadi gas bumi.

Fahmy bilang proses regasifikasi tidak berbeda jauh dengan proses blending atau pencampuran minyak bumi yang kerap kali jadi modus dalam produksi BBM di Pertamina. Dari kajiannya semasa bergabung Satgas Antimafia Migas, proses blending menjadi celah korupsi.

“Barangkali regasifikasi yang dilakukan PGN itu membuka peluang moral hazard,” ujar dia saat dihubungi Law-justice, Rabu.

Celah lain korupsi, kata Fahmy, bisa terjadi saat alur distribusi. Potensi korupsi di PGN terbuka lebar di saat internal perusahaan bermain mata dengan pihak yang mendistribusikan gas bumi ke industri. Pihak yang dimaksud adalah penjual yang kerap kali sebenarnya tidak memiliki pipa untuk pendistribusian. Namun, tetap dipaksakan mendapat jatah dari PGN. “Para trader ini biasanya memiliki hubungan dengan kekuasaan, apakah itu di level legislatif maupun eksekutif,” ujar dia.

Aryanto memiliki perspektif lain dalam melihat celah korupsi di PGN. Ia menitikberatkan adanya permainan dalam klausul kontrak. Dugaan adanya kongkalik ong dalam menyusun kontrak patut dikemukakan lantaran minimnya transparansi soal kontrak PGN dengan pihak lain dalam sejumlah proyek. Di saat yang sama, proses uji tuntas juga bisa menjadi ‘arena’ para aktor yang bermain dalam proyek.

“Kalau bicara kontrak antara PGN dan vendor ini justru pada prosesnya jadi celah. Saat due diligence, apakah data-data yang digunakan dimanipulasi (atau) ada deal-deal tertentu dengan vendor, itu kan bisa saja terjadi karena perjanjian itu kan dibuat tanpa pengawasan publik,” tutur Aryanto.

Sumber: Law Justice.co


Bagikan