TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Penerapan desentralisasi yang telah berlangsung sejak kurun waktu yang lama di Indonesia, menuntut setiap daerah untuk mandiri dengan cara memberikan pemasukan untuk daerahnya sendiri. Hal tersebut mengharuskan setiap daerah agar dapat memanfaatkan potensi yang ada di daerahnya guna mendatangkan peluang ekonomi. Pemanfaatan potensi daerah memiliki pengaruh, baik dalam bidang sosial, politik terutama berpengaruh dalam bidang lingkungan.

Terdapat sebagian yang menilai bahwa desentralisasi di satu sisi membawa kemandirian untuk daerah dengan meningkatkan perekonomian suatu daerah. Namun di sisi lain banyak yang menilai bahwa pemerintah daerah memenuhi pendapatan daerah tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi terhadap sosial ataupun lingkungan. Contoh nyata dari dampak lingkungan yaitu terjadinya deforestasi hutan serta meningkatnya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.

Dampak desentralisasi terhadap deforestasi hutan saat ini tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Hal itu dapat dibuktikan menurut kajian Publish What You Pay Indonesia yang dilansir dari pwypindonesia.org berdasarkan kajian deforestasi dan degradasi lahan di Indonesia pada dekade ini mengalami fase yang tinggi. Menurut kajian tersebut daerah dengan ancaman kerusakan hutan yang tinggi berada di wilayah Pulau Sumatra dan Kalimantan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Global Forest Watch Indonesia menemukan adanya fakta bahwa sekitar 27 juta hektar lebih kawasan lahan dan hutan mengalami perubahan fungsi atau setara 17% terjadi dari kurun waktu tahun 2001 sampai 2019. Dampak langsung deforestasi hutan yaitu adanya banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan pada awal tahun 2021 yang menyebabkan ratusan ribu warga terdampak banjir besar.

Menurut data yang dilansir dari kompas.com bahwa hutan di kawasan tersebut sudah beralih menjadi kawasan pertambangan dan perkebunan monokultur. Pemerintah daerah cenderung memberikan kemudahan dalam perizinan usaha tambang yang sangat diminati oleh para investor hal itu sebagai upaya meningkatkan pemasukan daerah dan memberikan keuntungan bagi para elite lokal di daerah.

Pelaksanaan desentralisasi yang berdampak pada lingkungan tidak hanya masalah deforestasi hutan, namun juga menimbulkan masalah adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Tuntutan pemerintah daerah agar menjadi daerah yang mandiri mengakibatkan setiap daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan pembangunan fisik atau industrialisasi yang berakibat menyusutnya lahan pertanian.

Menurut penelitiaan (Nurhidayah, 2017) bahwa pemerintah daerah dituntut untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan sektor industri. Namun di sisi lain juga harus menjaga keberadaan lahan pertanian sehingga tetap mempertahankan kelestarian produksi pertanian dan menjaga keseimbangan lingkungan.

Salah satu daerah yang mengalami alih fungsi lahan pertanian tinggi yaitu Kabupaten Sleman yang berada di Provinsi DIY. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sleman, alih fungsi lahan sawah menjadi non sawah pada tahun 2019 sebesar 19.432,00 hektare (Ha), dan pada tahun 2020 mengalami peningkatan dengan laju alih fungsi lahan pertanian sebesar 19.913,00 Ha.

Hal tersebut sejalan dengan pembangunan yang terus gencar dilakukan oleh pemerintah daerah karena banyaknya investor yang ingin membangun usaha di Kabupaten Sleman, seperti pembangunan mall, hotel, apartemen, dan pabrik. Tentunya hal tersebut membawa dampak bagi ketahanan pangan dan kondisi sosial ekonomi terutama buruh tani yang kehilangan pekerjaannya.

Desentralisasi merupakan suatu sistem yang baik karena setiap daerah dituntut untuk mandiri sehingga tidak bergantung kepada pemerintah pusat. Selain itu setiap daerah dapat berinovasi dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang dimiliki.

Namun, faktanya implementasi desentralisasi di Indonesia dalam pemanfaatan potensi sumber daya belum berjalan sesuai yang diharapkan. Ambisi pemerintah daerah untuk meningkatkan pemasukan daerah masing-masing tanpa disertai dengan tanggung jawab yang mestinya dilaksanakan telah membawa dampak terhadap kerusakan lingkungan.

Perlu adanya seperti mekanisme izin yang sesuai prosedur, penegakan hukum yang tegas, transparasi dalam pemanfaataan sumber daya di daerah serta perlu melibatkan pengawasan dari masyarakat daerah sehingga kerusakan lingkungan dapat diminimalisasi. (*)

***

*)Oleh: Vinda Audi Noerraissa, Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Sumber: Times Indonesia


Bagikan