WARTA PONTIANAK – Desakan kuat untuk memberlakukan moratorium izin tambang kembali disuarakan, kali ini berpusat dari Pulau Kalimantan, lumbung sumber daya alam ekstraktif Indonesia.
Meskipun pertambangan seperti migas, batu bara, dan bauksit menjadi penopang utama pendapatan negara, aktivitas ekstraksi yang masif di Kalimantan kini menimbulkan krisis ekologis dan dampak sosial-ekonomi yang merugikan masyarakat luas.
Suara urgensi ini mengemuka dalam diskusi media bertema “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan Tata Kelola Tambang Minerba dan Penertiban Tambang Ilegal di Pulau Kalimantan” yang diselenggarakan secara hybrid oleh organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Kalimantan di Pontianak, Kalimantan Barat, pada 28 November 2025.
Organisasi seperti Gemawan Kalimantan Barat (Kalbar) menyoroti ketimpangan manfaat dari praktik pertambangan.
Kepala Divisi Training and Learning Centre (TLC) Gemawan Kalbar, Arniyanti, menyatakan bahwa keuntungan pertambangan hanya dinikmati oleh segelintir korporasi, sementara komunitas lokal dan masyarakat adat justru menanggung dampak buruk berupa kerusakan ekologi yang meluas.
“Krisis ekologis yang terjadi di Kalimantan Barat saat ini mengharuskan Pemerintah untuk melakukan moratorium izin pertambangan. Moratorium setidaknya dapat menjadi ruang evaluasi agar pemanfaatan hasil tambang ke depan dapat dirasakan masyarakat lokal secara luas dan tetap menjaga keberlanjutan ekologi,” tegas Arniyanti.
WALHI Kalbar menekankan urgensi moratorium dalam konteks perlindungan wilayah kelola rakyat. Andre Illu, Kepala Divisi Wilayah Kelola Rakyat WALHI Kalbar, mengkritik pemerintah yang dinilai lebih sibuk menerbitkan izin baru tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang memiliki kemampuan mengelola sumber daya alam.
Menurut Andre, Pemerintah dinilai gagal dalam penataan ruang yang berkeadilan dan seringkali menjadi pengaman bagi investasi.
“Moratorium tidak menyelesaikan persoalan tambang. Tapi paling tidak, moratorium memberikan ruang penataan tambang untuk lebih baik, sembari memberikan ruang bagi komunitas untuk diselamatkan,” tambahnya.
Di Kalimantan Timur (Kaltim), Pokja 30 menyoroti dua masalah krusial: implementasi reklamasi tambang yang tidak optimal dan minimnya transparansi informasi publik.
Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo, mengungkapkan bahwa pengawasan yang lemah menyebabkan banyak perusahaan meninggalkan lubang tambang tanpa reklamasi yang menimbulkan korban jiwa, termasuk anak-anak.
Buyung juga mengkritik kebijakan yang mengutamakan investasi untuk mengejar pendapatan daerah dan nasional, padahal di lingkar tambang, kesejahteraan masyarakat tetap menjadi ilusi. Selain itu, akses masyarakat terhadap informasi pertambangan dinilai masih sempit dan lambat.
“Cukup sudah perizinan ini diberikan, saatnya moratorium izin-izin pertambangan. Yang tidak patuh ditindak tegas, sebagai bukti negara ini berdaulat,” tegasnya.
Isu krisis biodiversitas dan dampaknya pada masyarakat adat diangkat oleh Perkumpulan PADI Indonesia Kaltim.
Among, Koordinator PADI Indonesia Kaltim, menjelaskan bahwa deforestasi dan degradasi hutan akibat pertambangan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati.
Disebutkan, Kaltim yang memiliki 38 persen cadangan batu bara nasional, memiliki konsesi tambang seluas 1,5 juta hektare, di mana 29 persen di antaranya berada di ekosistem hutan primer.
Peneliti PWYP Indonesia, Ariyansah NK, menegaskan bahwa moratorium izin tambang merupakan suatu kebutuhan mendesak dalam tata kelola sektor tambang saat ini.
“Laju pemulihan lingkungan tidak sebanding dengan masifnya perizinan yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini diikuti dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum sektor ini. Yang terjadi, kerusakan atau kehancuran ekologis, yang tentu merugikan masyarakat,” tutup Ariyansah, menutup diskusi yang juga didukung perspektif dari organisasi masyarakat sipil di berbagai pulau lain di Indonesia.
Sumber: Warta Pontianak