Banda Aceh, Indonesia – Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Sumatera menyuarakan urgensi diberlakukannya kebijakan moratorium izin tambang.

Seruan moratorium tersebut disampaikan secara terbuka dalam diskusi media bertemakan “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan Pengawasan Tata Kelola Tambang Minerba dan Penertiban Tambang Ilegal di Pulau Sumatera” yang digelar secara hybrid dari Banda Aceh, Daerah Istimewah (DI) Aceh, Rabu, 29 Oktober 2025.

Koalisi PWYP Indonesia dari regional ini memandang Pulau Sumatera sebagai salah satu wilayahterkaya sumber daya alam di Indonesia, khususnya sektor pertambangan seperti batubara.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sekitar sepertiga cadangan batubara nasional berada di Sumatera, dengan volume mencapai 11.866,66 juta ton atau 37,34% dari total cadangan nasional.

Namun, praktik pertambangan di Pulau Sumatera tidak diimbangi dengan pengawasan yang memadai. Akibatnya, aktivitas tambang menyebabkan krisis ekologis, serta dampak ekonomi dan sosial yang meluas. Fenomena tambang ilegal masih marak di berbagai daerah, mencerminkan lemahnya pengawasan.

Di Aceh, Kepala Divisi Kebijakan Publik GeRAK Aceh, Fernan, menyoroti tata kelola tambang yang masih koruptif dan tidak adil. “Pendapatan daerah dari bagi hasil tambang tidak sebanding dengan dampak negatif yang dirasakan masyarakat. Ketergantungan pada harga komoditas dan kebijakan pusat membuat keuangan daerah rentan,” ujarnya.

Ia juga menekankan kerusakan lingkungan dan konflik sosial, seperti pencemaran laut akibat tumpahan batubara di Kabupaten Aceh dan Nagan Raya sejak 2017, yang mengganggu ekosistem pesisir.Fernan menambahkan, moratorium izin tambang di Aceh mendesak untuk perbaikan tata kelola sumber daya alam. “Pengelolaan tambang sesuai konstitusi, tapi kita tidak ingin sumber daya alam menjadi petaka. Moratorium memastikan pengelolaan yang adil dan bebas korupsi.”

Sementara itu, Anggota Badan Pekerja MaTA Aceh, Munawir, menyoroti kegagalan pertambangan dalam memberikan kontribusi fiskal signifikan. “Banyak perusahaan tidak patuh membayar pajak, sementara kerugian ekologis masif. Moratorium dan evaluasi seluruh Izin Usaha Pertambangan (IUP) bukan pilihan, tapi kewajiban untuk menghentikan pelanggaran dan memastikan keadilan bagi masyarakat Aceh.”

Di Riau, pemerintah dinilai tidak serius dalam transisi energi dari ketergantungan fosil. Aktivitas tambang skala besar menyebabkan deforestasi, pencemaran lingkungan, dan perampasan wilayah masyarakat. WALHI Riau mendorong moratorium sebagai langkah perbaikan tata kelola, disertai penegakan hukum.

Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau, Ahlul Fadli, menyatakan: “Moratorium nasional dan daerah diperlukan untuk melawan hegemoni korporasi. Izin sering diberikan tanpa keadilan, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Moratorium harus berbasis audit hukum, lingkungan, dan sosial untuk identifikasi pelanggaran seperti konflik lahan dan kerusakan ekosistem.”

Wakil Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), Muhammad Herwan, menambahkan: “Kekayaan sumber daya alam seharusnya meningkatkan kesejahteraan, tapi faktanya justru meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan. Moratorium adalah titik balik untuk pengelolaan efisien, efektif, dan berkelanjutan, dengan perencanaan cermat, pengawasan ketat, reklamasi pasca-tambang, dan penegakan hukum tegas.”

Direktur Lembaga Pemberdayaan dan Aksi Demokrasi (LPAD) Riau, Ikhsan Fitra, menekankanbahwa sumber daya alam di Riau belum optimal menambah pendapatan asli daerah. “Moratorium penting untuk keadilan dan penguatan otonomi daerah, membantu daerah mengatasi defisit anggaran secara kreatif.”

Koordinator FITRA Riau, Tarmidzi, menegaskan urgensi moratorium nasional untuk review menyeluruh atas malpraktik pertambangan. “Eksternalitas negatif seperti kerusakan permanen, konflik sosial, dan korupsi sistemik berisiko hilangkan generasi mendatang. Pemerintah harus hentikan izin baru, lakukan audit forensik, dan libatkan masyarakat sipil dalam reformasi.”

Di Bengkulu, aktivitas tambang menunjukkan kegagalan pemerintah melindungi ekosistem. Direktur AKAR Bengkulu, Erwin Basrin, menyatakan: “Tambang merusak lingkungan dan merampas hak masyarakat adat. Moratorium bukan pilihan, tapi keharusan etis dan konstitusional untuk hentikan kehancuran dan pastikan keadilan. Pemerintah harus hentikan izin baru dan cabut yang bermasalah.”

Koalisi PWYP Indonesia Regional Sumatera mendesak pemerintah pusat dan daerah segera menerapkan moratorium, evaluasi IUP, dan reformasi tata kelola untuk keberlanjutan sumber daya alam Pulau Sumatera!

Narahubung,
GeRAK Aceh : Fernan (0812-7425-0152)
MaTA Aceh : Munawir (0822-1349-4443)
WALHI Riau : Ahlul Fadli (0853-3339-2091)
FITRA Riau : Tarmidzi (0852-7817-5515)
LPAD Riau : Ikhsan Fitra (0821-3639-0456)
FKPMR : Muhammad Herwan (0812-7516-374)
AKAR Bengkulu : Erwin Basrin (0813-6740-1020)

Privacy Preference Center

Skip to content