Makassar – Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menjadi Narasumber dalam Hearing yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) secara hybrid pada 9 Maret 2023 untuk mendapatkan masukan yang lebih luas dari masyarakat serta pemangku kepentingan terkait pemetaan kebutuhan hukum dalam persiapan penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2025-2029.
Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh hasil pemantauan BPHN terhadap perencanaan regulasi pada tahun 2022, dimana capaian target penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Rancanangan Peraturan Presiden (RPerpres) tahun 2022 masih belum mencapai 50% (lima puluh persen). Di satu sisi, Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 akan memasuki tahap akhir pada tahun 2024. Artinya, tahun 2024 adalah waktu terakhir penyelesaian daftar RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024. Terhadap hal ini BPHN telah melakukan rapat koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dalam rangka mengevaluasi capaian Prolegnas tahun 2020, 2021 dan 2022 sekaligus juga tindak lanjut penyelesaian RUU dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024. Pada tahun yang sama juga, Pemerintah juga harus menyiapkan konsep usulan Prolegnas Jangka Menengah periode berikutnya.
Oleh karena itu, BPHN menganggap perlu dilakukan dengar pendapat dengan masyarakat dan para pemangku kepentingan dalam persiapan penyusunan Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029 di lingkungan Pemerintah. BPHN juga mengharapkan adanya usulan lain terhadap kebutuhan hukum masyarakat, baik dalam konteks daftar ‘residu’ Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024, maupun hal lain di luar konteks daftar Prolegnas, yang perlu dipertimbangkan. Masukan ini akan menjadi bahan awal bagi BPHN dalam melakukan pemetaan terhadap perencanaan Penyusunan Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2025-2029.
Dalam kesempatan tersebut, Aryanto menyampaikan catatan terkait aspek transparansi dan partisipasi dalam penyusunan regulasi, diantaranya transparansi tidak boleh dimaknai hanya sebatas upload dokumen dalam website atau kanal Informasi lainnya, namun harus dimaknai bahwa informasi benar-benar dapat di-akses oleh masyarakat (khususnya masyarakat terdampak). Sulitnya masyarakat mendapatkan dokumen legislasi nasional dalam setiap tahapanny, misalnya Naskah Akademis, Daftar Inventaris Masslah (DIM), Jadwal Persidangan/Pembahasan, Catatan Pembahasan, Dokumen ter-Update dll, serta belum sinkronnya Kanal Legislasi Pemerintah dengan DPR. Selain itu partisipasi dalam penyusunan RUU, sejauh ini terbatas pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di parlemen (Jakarta), atau hearing di kota-kota besar dan sangat jarang melibatkan masyarakat di tingkat tapak atau masyarakat terdampat. Juga, belum adanya kanal partisipasi masyarakat yang mudah diakses oleh masyarakat luas untuk memberikan masukan kepada draft RUU, draft RPP atau draft Perpres.
Aryanto juga mengusulkan sejumlah saran masukan, diantaranya perlunya kanal (bisa di BPHN atau modifikasi platform yang sudah ada) untuk mempublikasikan dokumen RUU setiap tahapannya (NA, Draft RUU, Hasil Pembahasan dll); perlu adanya kanal bagi masyarakat luas untuk memberikan masukan usulan RUU atau masukan terhadap draft NA atau Draft RUU atau Draft RUU yang sedang dibahas. Kanal yang dibangun harus mudah diakses dan inklusif (memungkinkan kelompok difabel bisa mengakses). Serta model hearing atau sosialisasi melibatkan kelompok masyarakat terdampak, termasuk kelompok rentan maupun masyarakat di remote area.
Tak lupa secara subtansi Aryanto memberikan masukan perlunya mempertimbangan kaitanantara RUU satu denganRUU yang lain (menghindari ego sectoral); Prolegnas bukan list keinginan namun berdasarkan kebutuhan yang menjadi prioritas; serta Perlunya mempertimbangkan analisis gender framework (inklusi) dalam setiap NA atau Draft RUU
Penulis : Aryanto Nugroho